Chereads / As A Princess (Indo Version) / Chapter 29 - 29. Turun Salju

Chapter 29 - 29. Turun Salju

Setelah puas memandangi Diona dari seberang jalan, Avery mengarahkan kudanya untuk berputar arah. Karena Diona sudah selesai dari kegiatannya menata pot bunga di halaman rumah.

Kuda putih milik Avery kembali menyusuri jalan yang sama seperti yang dilalui saat berangkat tadi. Melewati perbatasan antara desa berlian dan desa mutiara.

Alice diam saja sedari tadi. Gadis itu hanya sibuk mengamati jalanan yang dilewatinya bersama Avery. Alice hanya bisa melamun sesekali.

"Ketika musim dingin selesai, aku akan mengajakmu pergi keluar lagi Alice. Mungkin aku akan memperkenalkanmu pada Diona." Kata Avery.

Mendengar perkataan tersebut, tentu saja Alice menolak secara langsung. "Tidak perlu pangeran. Aku lebih baik sibuk di dalam istana saja. Aku memahamimu pangeran. Silakan bertemu berdua saja dan beritahu dia tentang perasaanmu padanya."

Avery tersenyum. "Aku agak malu sebenarnya. Diona gadis yang sangat pintar dan sopan. Menurutmu, akhir minggu nanti aku harus memberinya apa?"

"Berikan saja bunga mawar seperti yang kau berikan pada puteri Ariadne."

"Ah, tidak. Jangan bunga. Diona tidak menyukai pemberian bunga. Mungkin aku akan memberinya kue. Dia suka kue."

Alice mengangguk saja dan gadis itu tersenyum tanpa menoleh pada Avery.

Mereka berdua sampai di depan aula kerajaan saat jam sudah menunjukkan waktunya makan siang. Langit tampak mendung dan suhu udara masih saja terasa dingin. Sepertinya memang benar nanti malam akan turun salju.

"Masuklah Alice, biar aku saja yang membawa mantelku sendiri. Aku berjanji akan memberitahu ibuku dan ibumu bahwa kau memang kuajak pergi keluar. Mereka tidak akan memarahimu." Kata Avery.

Alice tersenyum. Kemudian gadis itu memberikan hormat pada Avery dengan membungkuk sopan. "Terima kasih pangeran. Kalau begitu aku masuk ke dalam."

"Iya. Silakan."

Sambil mengarahkan kudanya untuk masuk ke dalam sebuah kandang spesial, Avery masih saja tersenyum. Pikiran lelaki itu masih memikirkan wajah Diona. Mencintai seseorang ternyata rasanya sebahagia ini. Meskipun Avery hanya sempat melihat Diona sebentar saja dan dari kejauhan.

Sementara Alice yang sudah sampai di lorong dalam istana menghentikan kedua langkahnya. Gadis itu menunduk mengamati syal rajut berwarna merah yang masih ia kenakan. Syal itu adalah milik Avery yang dipakaikan padanya tadi.

"Alice!! Dari mana saja kau?"

Agnes berjalan tergesa mendekati Alice. Wanita berusia empat puluh tahun itu berjalan cepat sambil sedikit mengangkat rok gaunnya.

"Ibu? Ah Ibu.. maafkan aku. Aku hanya keluar sebentar bersama pangeran Av---"

"Dia keluar bersamaku." Kata Avery. Lelaki itu tiba-tiba sudah berada di belakang tubuh Alice.

Alice tentu saja terkejut. Padahal dirinya sudah akan menerima pukulan dari Agnes.

Melihat Avery datang, Agnes langsung membungkuk sopan. "Maaf pangeran, telah membuatmu melihat tingkahku yang sedang marah pada putriku."

Avery tersenyum. Lelaki itu menggelengkan kepalanya. "Jangan memarahi putrimu. Aku yang mengajaknya keluar. Hanya sekedar memutari danau hijau dan melihat kondisi area produksi mutiara. Alice sama sekali tidak bersalah. Aku ingin memberitahumu hal itu."

"Ah, baiklah. Alice, pergilah ke dapur dan segera membaur dengan pelayan yang lain. Kau juga harus menyiapkan makan siang untuk Pangeran Avery." Kata Agnes.

Alice mengangguk saja dengan patuh. "Baik Bu.. Terima kasih, Pangeran."

Mendengar ucapan terima kasih dari Alice, Avery mengedipkan mata kirinya. Kemudian lelaki itu berbalik dan pergi untuk menuju ke kamar. Mungkin Avery akan mengunjungi Ratu Berenice dan menceritakan apa yang sudah ia alami tadi.

***

Makan malam Ariadne kali ini agak terasa sulit. Lengan tangan kirinya masih terasa sakit saat digerakkan. Untuk menggerakkan garpu saja rasanya sangat ngilu. Padahal seharusnya lengan kirinya itu tidak boleh banyak bergerak sampai jahitannya mengering.

Apa boleh buat jika Ariadne menggerakkan lengan kirinya hanya untuk makan. Ia tidak boleh terlihat kesakitan di hadapan para pelayan, Elie, dan Darian. Mereka semua akan curiga kalau Ariadne merasa kesakitan.

"Apa bahumu sudah membaik?" Tanya Darian. Lelaki itu memakaikan mantel mewah khusus kerajaan ke punggung Ariadne. Suhu udara semakin dingin dan semua warga kerajaan sudah mengganti pakaikan mereka menggunakan pakaian yang berbahan tebal dan hangat.

Ariadne menganggukkan kepalanya saja. Sehari tadi ia terus menggunakan gaun lengan panjang. Untung saja suhu udara sedang dingin, jadi Ariadne tidak merasa gerah sama sekali.

"Tidurlah jika merasa lelah, puteri. Aku akan bilang kepada Marlyn dan Jason untuk mengurus beberapa dokumen yang baru saja kau kerjakan."

"Tidak perlu, Darian. Aku sudah selesai dengan dokumenku. Bisakah kau membantuku membawakan dua buku dokumen ini ke dalam kamarku?"

Tentu saja Darian mengangguk. Lelaki itu kemudian mengikuti langkah kaki Ariadne dari belakang.

Ariadne menyuruh Darian masuk ke kamarnya dan meletakkan dua buku dokumen ke atas meja kayu. Di atas meja kayu itu tersedia lilin dan tinta untuk menulis. Dan ada juga cap stempel kerajaan. Jadi jika Ariadne sedang sakit atau tidak enak badan, ia bisa mengerjakan dokumennya di kamar tanpa perlu menuju ke aula kerajaan.

"Apa kau memerlukan bantuanku lagi?"

Ariadne menggelengkan kepalanya. "Tidak. Terima kasih sudah membawakan dokumenku."

"Sepertinya bahumu sedang tidak bisa membawa barang. Apa perlu aku memanggilkan ibuku untuk memijat tubuhmu?"

"Tidak usah Darian. Aku bisa mengatasi masalah tubuhku sendiri. Mungkin aku akan tidur lebih cepat. Suruh para pengawal memperketat penjagaan."

"Baik, puteri." Kata Darian dengan patuh. Lelaki itu hendak pergi dari kamar Ariadne, namun Ariadne kembali memanggil.

"Darian.. kau akan memberitahu para pengawal sekarang juga?"

"Ya. Bukankah itu perintahmu barusan?"

Ariadne terkekeh pelan. "Tidak perlu kau lakukan sekarang juga. Biarkan mereka makan malam terlebih dahulu. Apa kau tidak ingin mengobrol denganku sambil melihat turunnya salju?"

"Ah, baiklah. Sudah lama kita tidak pernah mengobrol."

"Masuklah, temani aku berdiri di ujung balkon kamar."

"Tapi, suhunya sedang dingin Puteri. Aku tidak mau kau terkena flu."

"Berdiri di balkon kamar hanya beberapa menit tidak akan membuatku terserang flu, Darian. Hanya udaranya saja yang terasa dingin." Kata Ariadne.

Darian mengangguk dan tersenyum. Lelaki itu kini sudah berdiri di samping kanan Ariadne. Keduanya saling menatap langit yang berwarna abu gelap. Awan di atas langit terlihat sangat bergelung dan tebal.

Tidak ada pembicaraan di antara Ariadne dan Darian. Keduanya hanya menikmati suasana malam yang terasa sunyi. Menunggu jatuhnya salju pertama.

"Bagaimana hubunganmu dengan Pangeran Avery?" Darian bertanya dengan memberanikan diri.

Ariadne tersenyum. "Hubunganku dengan Avery sangat baik. Dia tidak terlalu pandai mengutarakan perasaan."

Darian mengangguk paham. Jika Ariadne baik-baik saja, maka Darian juga akan merasa baik-baik saja.

Salju pertama pun akhirnya turun. Membuat langit yang gelap kini dihiasi butiran-butiran putih salju. Tangan kanan Ariadne menengadah untuk bisa menangkap salju yang turun.

Gadis itu begitu kagum saat mengamati salju pertama yang turun. Satu butiran salju yang mendarat di telapak tangan Ariadne segera mencair begitu saja dan hilang.

"Puteri, apa kau sangat menyukai salju?" Tanya Darian.

"Ya. Aku sangat menyukai salju."

'Lalu bagaimana denganku? Apakah kau pernah menyukaiku?' Darian bertanya dalam hatinya sendiri. Lelaki itu menatap wajah Ariadne dari samping kanan. Wajah Ariadne sangat cantik. Sangat indah untuk dilihat.

***