Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

RANI

🇮🇩Yogi_Fernando_0309
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.6k
Views
Synopsis
Novel Rani ini dengan detail menguraikan seluk-beluk keadaan tiga macam keluarga: keluarga Uda Boby Tornado dan Mutia, di mana sang suami menyeleweng, keluarga Karenin di mana sang istri, Anna, tak mampu mengekang perasaannya dan memilih untuk memutuskan tali perkawinan mereka, dan akhirnya...." Lansung saja baca keceritanya ya gais
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB1

Keluarga yang bahagia yang mirip antara satu dengan lainnya, dan keluarga yang tak bahagia dan tidak bahagia dengan jalannya sendiri-sendiri. Semuanya menjadi kacau-balau di rumah Tornado. Sang istri telah memergoki suaminya punya hubungan asmara dengan bekas guru bahasa Inggris di rumah mereka, dan lalu ia menyatakan tak sudi lagi hidup serumah dengan sang suami.

Keadaan rumah tangga yang kacau-balau itu sudah berlangsung empat hari lamanya, dan terasa sangat menyiksa sekali bagi pasangan suami-istri itu sendiri maupun bagi seluruh anggota keluarga dan orang-orang lain yang tinggal di rumah itu. Semua sudah merasa, bahwa tak ada lagi gunanya mereka hidup bersama, dan bahwa orang-orang yang kebetulan berkumpul di tempat penginapan saja bisa lebih saling terikat ketimbang mereka, anggota keluarga dan orang-orang lain yang berada di rumah Tornado. Sang istri hanya berdiam diri saja di dalam kamarnya, sedangkan sang suami sudah lima hari tak juga pulang ke rumah. Anak-anak berlarian di pekarangan rumah seperti anak ayam yang kehilangan induknya; perempuan berdarah jawa bertengkar dengan pengurus rumah tangga dan menulis surat kepada teman akrabnya, ia minta dicarikan tempat kerja lain; kepala dapur sejak kemarin sore sudah pergi dari rumah, sewaktu makan siang; juru masak, yang berkulit putih, dan sopir pun minta keluar.

Di hari ketiga setelah bertengkar, anak sultan yang bernama Boby Tornado-biasa dipanggil Uda Boby di kalangan bangsawan-pada jam seperti biasanya, pukul setengah delapan pagi, ia terbangun dari tidurnya bukan di kamar tidur istrinya, melainkan terbangun di kamar kerjanya, di atas sebuah dipan yang beralaskan kulit biri-biri. Ia membalikan badannya yang berisi dan terawat baik itu di atas dipan berpegas tersebut, seolah ia ingin tidur nyenyak lagi, dan memeluk erat-erat bantal dan menekankannya ke pipinya; tapi tiba-tiba ia terkejut dan terperanjat, duduk di atas dipan dan membuka mata.

"Ya, ya, seperti apa dan bagaimana itu tadi?" dia mengingat-ingat akan mimpinya barusan. "Ya, bagaimana itu tadi? Ya, ya! Si Udin menjamu makan siang di Rumah makan; bukan, bukan di Rumah Makan Gumarang, tapi terdengar seperti nama Kota Padang. Ya, tapi Rumah Makan Gumarang itu di kota Padang Panjang Sumatera Barat. Ya, Si Udin menjamu makan siang di atas meja-meja kaca dan meja-meja itu menyanyi: kutang babendo, ah, bukan kutang barendo, tapi sesuatu yang lebih baik daripada itu, dan ada juga beberapa kendi-kendi kecil, dan kendi-kendi itu semuanya wanita," demikian yang diingatnya.

Mata Boby Tornado berbinar-binar dan gembira, dan sambil meng-ingat-ingat semua itu ia pun tersenyum-senyum. "Ya, sangat menyenangkan sekali, sungguh menyenangkan sekali. Dan masih banyak lagi yang sangat menyenangkan di sana. Dalam keadaan sadar tak mungkin semua itu diungkapkan dengan kata-kata atau sebatas pikiran." Dan ketika diintipnya cahaya menerobos masuk dari salah satu celah kain gorden, dengan perasaan gembira ia pun menurunkan kakinya dari atas dipan, dan dengan kaki itu ia mencari-cari sendal jahitan istrinya sendiri (hadiah hari ulangtahunnya pada tahun lalu), sendal yang dilapisi kulit biri-biri berwarna keemasan. Dan sesuai kebiasaannya yang sudah berjalan sepuluh tahun lamanya, langsung saja ia julurkan tangannya ke tempat gantungan di kamar kerjanya. Seketika itu ia pun jadi teringat bagaimana dan mengapa ia tak tidur di kamar tidur sang istri, tapi malah tidur di kamar kerjanya; senyuman pun langsung lenyap dari wajahnya; ia mengerutkan dahinya. "Ah, ah, ah! Aa!. .. " lenguhnya begitu ia mulai teringat semua yang telah terjadi. Dan dalam ingatannya itu tergambar kembali semua rincian akan pertengkarannya dengan sang istri, buntunya semua jalan penyelesaian, dan yang paling menyiksa adalah kesalahan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. "Ya! Ia tak bakal memaafkan, dan benar-benar tak sudi untuk memaafkan. Dan yang paling mengerikan lagi, dalam semua urusan ini akulah yang keliru-akulah yang keliru, tapi tak bersalah. Di titik inilah letak dramanya," demikian pikirnya. "Alt, ah, ah!" ucapnya dengan putus asa, sambil mencoba mengingat semua kesan pertengkaran yang paling berat bagi dirinya itu.

Yang paling tak menyenangkan dia adalah saat-saat pertama, ketika pulang dari seni bermain peran dengan rasa gembira dan puas, sambil menggenggam buah pir besar yang segar untuk sang istri, ia tak menemui istrinya itu di kamar tamu; dengan rasa heran ia pun juga tak menjumpai dia di kamar kerja, dan akhirnya ia melihat sang istri berada di kamar tidur tengah sedang memegang surat bencana itu, yang mengungkapkan segalanya.

Dia, Mutia yang menurut penilaiannya selalu penuh dengan perhatian, sibuk, dan tidak berpikiran jauh, yang saat ini sedang duduk bergeming sambil memegang sepucuk surat, dan dengan wajah seram, putus asa, dan marah menatapnya.

"Apa ini? Apa?" tanyanya sambil menunjukkan surat itu.

Dan mengenangkan hal itu, seperti sudah sering terjadi, dan yang menyiksa Boby Tornado bukanlah peristiwa itu sendiri, melainkan caranya menjawab kata-kata sang istri. Yang terjadi saat itu adalah keadaan yang lazim menimpa orang lain juga, ketika sekonyong-konyong rahasia yang sangat memalukan mulai terbongkar. Wajahnya benar-benar tak siap menghadapi situasi ketika berhadapan dengan sang istri setelah kesalahannya itu terbongkar. Ia bukannya merasa terhina, membantah, berdalih, meminta maaf, atau bersikap masa bodoh-dan semua itu tentu lebih baik ketimbang yang telah dilakukannya!-tapi wajahnya, tanpa disengaja sama sekali ("refleks otak," demikian pikir Boby Tornado yang suka fisiologi), benar-benar tanpa disengaja, kontan memperlihatkan senyumannya yang biasa itu, senyuman yang baik hati itu, dan senyuman itu jadi tampak terlihat bodoh.

Terhadap senyumannya yang terlihat bodoh itu, ia sendiri pun tak bisa memaafkannya. Melihat senyuman itu Mutia terhenyak, seolah ia seperti orang yang terserang nyeri fisik, dan kemudian mulailah kobaran yang memang sudah jadi sifatnya, banjir dengan kata-kata keji, dan ia pun langsung lari keluar kamar. Sejak itu Mutia tak sudi lagi melihat suaminya.

"Ini salahnya senyuman yang bodoh itu," pikir Boby Tornado. "Tapi apa akal? Apa aka!?" katanya dengan putus asa pada diri sendiri, tapi tak kunjung juga ia menemukan jawabannya.

Boby Tornado ialah orang yang jujur pada dirinya sendiri. Ia tak bisa menipu diri sendiri atau berusaha mendorong dirinya betapa ia sangat menyesali perbuatannya. Tak bisa untuk sekarang ini ia menyesal bahwa sebagai lelaki yang berusia tiga puluh lima tahun, berwajah tampan, dan mudah jatuh cinta, ia tak pernah jatuh hati kepada sang istri, ibu dari empat anaknya yang hidup dan dua sudah meninggal, yang usianya pun setahun lebih muda daripada dirinya. Ia menyesal terus karena tak bisa menyimpan rahasianya dari sang istri dengan lebih rapi. Tapi ia masih merasakan ...