"Mutia!" ulang Boby Tornado dengan suara yang bergetar. "Rani akan datang hari ini.
"Lalu apa urusannya denganku? Aku tak bisa menerimanya!" Mutia memekik.
"Jangan begitu, Mutia .... "
"Pergi, pergi, pergi kau!" dia memekik lagi tanpa memandang suaminya, seolah pekikan itu akibat dari nyeri fisik.
Boby Tornado bisa saja tetap bersikap tenang bila memikirkan sang istri, berharap semuanya bakal cepat selesai seperti kata Syaf Chenko, dan dengan tenang masih bisa membaca koran dan meminum kopi; tapi kalau sudah melihat raut wajah istrinya yang tampak tersiksa dan menderita, seraya mendengar suaranya yang pasrah kepada nasib dan rasa putus asa itu, tersendatlah napasnya, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam tenggorokannya, dan matanya berkaca-kaca karena airmata.
"Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan! Mutia! Demi Tuhan!. .. Bukankah ... ," tak sanggup lagi ia melanjutkan kata batinnya; ratapannya mendadak terhenti di tenggorokannya.
Mutia membanting pintu meja laci, dan menoleh kepada Boby Tornado.
"Mutia, apa yang harus kulakukan? ... Hanya satu: maaf, maaf .... Ingatlah, apa hidup sembilan tahun ini tak mampu menebus menit-menit, menit-menit .... "
Mutia menundukkan kepalanya sambil menunggu apa yang bakal dikatakan oleh suaminya, seolah-olah ia berdoa agar suaminya membantah kenyataan yang ia temukan.
"Menit-menit asmara ... ," ujar Boby Tornado, dan ia hendak meneruskan kalimatnya, tapi mendengar kata itu, kembali kedua bibir Mutia terkatup, dan kembali otot pipi di sisi sebelah kanan wajah Mutia mulai menggeletar, seakan-akan karena nyeri fisik.
"Pergi kau, pergi kau dari sini!" Mutia memekik dengan nada yang lebih menghunjam lagi. "Dan jangan pernah bicara denganku tentang asmara dan kemesuman dirimu!"
Mutia hendak beranjak pergi dari situ, tapi ia terhuyung, lalu berpegangan pada sandaran sebuah kursi yang ada di dekatnya. Wajah Boby Tornado berubah mengembang, bibirnya mengembung, matanya basah.
"Mutia!" ujar Boby Tornado, kini ia sudah berkata sambil tersedu. "Demi Tuhan, pikirkanlah anak-anak kita, mereka tak berdosa. Akulah yang salah, hukumlah aku, perintahkan aku menebus semua kesalahanku. Apa yang bisa kulakukan, aku akan siap melakukan'.! Tapi, Mutia, maafkan!"
Mutia duduk. Boby Tornado mendengar napasnya yang berat, keras, dan ia pun merasa sangat kasihan kepada istrinya. Beberapa kali istrinya hendak bicara, tapi tak mampu. Boby Tornado menunggu.
"Kamu ingat anak-anak cuma untuk bermain, sedangkan aku ingat dan tahu bahwa mereka sudah mati sekarang," katanya mengucapkan satu dari kalimat-kalimat yang agaknya sudah tiga hari itu ia ucapkan pada dirinya sendiri.
Ia menggunakan kata "kamu" untuk Boby Tornado, dan Boby Tornado memandang istrinya dengan rasa terimakasih, lalu beranjak hendak memegang tangannya, tapi sang istri menjauh dengan rasa begitu muak.
"Aku sangat memikirkan anak-anakku, dan karena itu akan kulakukan segala yang mungkin di dunia ini untuk menyelamatkan mereka; tapi aku sendiri tak tahu bagaimana harus menyelamatkan mereka: apakah dengan menjauhkan mereka dari ayahnya, atau dengan meninggalkan mereka pada ayahnya yang cabul-ya, pada ayahnya yang cabul .... Coba katakan padaku, apakah sesudah ... yang terjadi itu, apa mungkin kita bisa hidup bersama lagi? Apa itu mungkin? Coba katakan, apa itu mungkin?" Mutia mengulang-ulang dengan suaranya yang ditinggikan. "Setelah suamiku, ayah anak-anakku, menjalin hubungan asmara dengan guru anak-anaknya sendiri .... "
"Lalu apa yang harus kulakukan?" kata Boby Tornado dengan suara mengibakan. Ia sendiri tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Dan ia semakin merundukkan kepala.
"Kamu, bagi saya sekarang ini, adalah seorang pria mesum, menjijikkan!" Pekikan Mutia yang semakin lama semakin meluap.
"Airmata kamu itu hanya air mata palsu! Kamu tidak pernah mencintai saya; dalam diri kamu itu, tidak ada hati nurani atau kemuliaan sedikitpun! Kamu, buat saya, sangat menjijikkan, lelaki mesum, telah asing, ya, betul-betul asing!" ucap Mutia dengan rasa nyeri bercampur marah ketika mengucapkan kata asing yang baginya sendiri terasa sangat mengerikan.
Boby Tornado lalu memandangnya, dan kemarahan yang terpancar di wajah istrinya pun membuat dia merasa takut dan sekaligus merasa heran. Ia tak habis pikir bahwa rasa belas-kasihan kepada istrinya itu justru membuat sang istri semakin jengkel. Mutia melihat bahwa yang ditunjukkan oleh Boby Tornado kepada dia adalah rasa sesal. Bukan cinta. "Tidak, ia sepertinya sangat membenciku. Ia tak akan mungkin bisa memaafkan aku," pikir Boby Tornado.
"Ini benar-benar mengerikan! Sungguh mengerikan!" ujarnya. Pada saat yang sama terdengar seorang anak menjerit di kamar lain, sepertinya karena jatuh; Mutia mendengar-dengarkan, dan wajahnya pun tiba-tiba berubah lunak. Hanya saja, untuk beberapa detik, ia tak ingat dirinya sendiri, seakan-akan ia tak tahu berada di mana dan apa yang harus dilakukannya, tapi kemudian ia segera bangkit dan menuju ke pintu.
"Tapi dia sangat mencintai anakku," pikir Boby Tornado ketika melihat perubahan di wajah istrinya ketika mendengar jeritan anak itu, "anakku; bagaimana bisa ia membenciku?"
"Mutia, hanya satu kata lagi saja," kata Boby Tornado sambil membuntuti istrinya.
"Kalau kamu masih membuntuti saya, aku akan panggil orang-orang, dan anak-anak! Biar mereka semua tahu bahwa kamu itu adalah seorang bajingan! Mulai sekarang aku akan pergi, dan biar kamu puas tinggal di sini bersama selingkuhanmu!"
Dan dengan membanting pintu Mutia pun keluar.
Boby Tornado menarik napas dalam-dalam, mengusap mukanya, dan dengan langkah perlahan keluar dari kamar. "Syaf Chenko bilang: semua bakal baik-baik saja; tapi kenyataannya? Aku bahkan tak melihat kemungkinan itu sedikitpun. Ah, ah, mengerikan sekali! Dan dengan aangat kampungan sekali ia berteriak," katanya pada diri sendiri, teringat teriakan dan kata-kata istrinya: bajingan dan selingkuhan. "Dan barangkali anak-anak perempuan itu mendengarnya! Kampungan sekali, sangat mengerikan!" Setelah beberapa detik lamanya Boby Tornado berdiri seorang diri, mengusap mata, menarik napas, dan sesudah menegapkan dada ia pun keluar dari kamar.
Hari itu adalah hari Sabtu, dan di kamar makan seorang tukang arloji yang sedang memutar jam. Boby Tornado teringat leluconnya sendiri tentang tukang jam yang botak dan sangat teliti itu, katanya, "Orang tukang jam itu selama hidupnya selalu diputar agar bisa memutar jam," dan ia pun tersenyum. Boby Tornado sangat suka sekali dengan lelucon yang baik. "Tapi barangkali juga semuanya bakal baik-baik saja! Bagus juga kata-kata itu: semuanya bakal baik-baik saja," pikirnya. "Ini harus diceritakan."
"Syaf Chenko! Tolong siapkan bersama Nadia kamar untuk Rani Maharani," serunya kepada Syaf Chenko yang baru muncul.
"Baik, Tuan."
Boby Tornado lansung mengenakan mantel berbulu lalu keluar ke beranda rumahnya.
"Tuan tidak makan di rumah?" kata Syaf Chenko yang mengantarkan.
"Kalau terpaksa. Ambil ini buat bayar-bayar," katanya sambil memberikan uang seratus ribu! dari dalam dompetnya. "Cukup?" Tanyanya lagi.
"Cukup atau tak cukup, itu jelas perlu diatasi," kata Syaf Chenko sambil ...