Chereads / RANI / Chapter 4 - BAB4

Chapter 4 - BAB4

... memeluk ayahnya, dan sambil ketawa menggelantung di leher ayahnya seperti biasa, senang mencium bau minyak wangi yang menyebar dari cambang ayahnya. Setelah akhirnya mencium wajah ayahnya yang memerah karena membungkuk dan berseri penuh kemesraan, gadis kecil itu pun melepaskan kedua tangannya dan berlari kembali, tapi sang ayah menahannya.

"Gimana Ibu?" tanyanya sambil membelai Ieher anak gadisnya yang licin dan lembut. "Selamat pagi," katanya lagi kepada sang anak lelaki yang menyapanya.

Ia juga sadar bahwa dirinya kurang mencintai anak lelakinya itu, walau pun ia senantiasa berusaha bersikap sama; dan anak itu pun juga merasakannya, sehingga ia tak membalas senyuman dingin ayahnya dengan senyuman.

"Ibu? Sudah bangun," jawab anak perempuan.

Boby Tornado menarik napas dalam-dalam.

"Jadi, ia tak tidur lagi sepanjang malam," batinnya.

"Bagaimana, Ibu gembira tidak?"

Anak perempuan itu sudah tahu kalau ayah dan ibunya sedang bertengkar. Maka karena itu, tak mungkin ibunya merasa gembira, dan sang ayah harus tahu akan hal itu. Ia tahu, dengan pertanyaan yang diajukan dengan enteng itu, ayahnya hanya sekedar berbasa-basi. Dan berubah memerahlah wajah anak itu karena melihat tingkah ayahnya itu. Seketika itu juga sang ayah mengerti, dan wajahnya jadi memerah pula.

"Entahlah," ucap sang anak. "Ibu tidak menyuruh belajar, Ibu hanya menyuruh pergi main dengan Miss Maria ke rumah Nenek."

"Kalau begitu, pergilah. 0, ya, tunggu," kata sang ayah yang masih memegang dan membelai tangan anaknya yang lembut.

Diambilnya kotak permen dari perapian tempat ia menyimpannya kemarin, dan diberikannya kepada sang anak dua buah, dipilih yang jadi kesukaannya, coklat dan yupi.

"Buat Tomas?" kata sang anak perempuan sambil menunjuk yang coklat.

"Ya, ya." Dan sesudah dibelainya lagi bahu sang anak, diciumnya akar rambut anak itu, baru dilepaskannya.

"Kereta siap," kata Syaf Chenko. "Tapi di luar ada tamu perempuan," tambahnya

"Sudah lama?" tanya Boby Tornado.

"Sudah setengah jam Tuan."

"Sudah berapa kali kuperintahkan kamu supaya segera melaporkan!"

"Tapi Tuan kan perlu waktu untuk minum kopi?" kata Syaf Chenko dengan nada kasar-bersahabat, nada yang tak bisa dibalas dengan kemarahan.

"Kalau begitu, cepat suruh dia masuk," kata Tornado sambil mengerutkan dahi karena merasa kecewa. Tamu itu, Komandan Bambang Kalinina, mengajukan permohonan tentang hal yang mustahil dan bodoh; tapi sebagaimana biasa, Boby Tornado mempersilakan dia duduk, dan tanpa menyela ia mendengarkan kata-kata tamu itu dengan penuh perhatian, lalu memberinya nasihat secara rinci kepada siapa dan bagaimana cara mengajukan permohonan, dan bahkan dengan cekatan dan rapi, dengan tulisan besar-besar, panjang-panjang, indah, dan jelas ia tuliskan nota untuk pihak yang kiranya bisa membantu sang tamu. Sesudah melepas komandan Bambang, Boby Tornado mengambil topi dan berhenti untuk mengingat-ingat apakah tak ada

yang terlupa. Ternyata memang tak ada, kecuali yang memang ingin ia lupakan-

sang istri.

"Ah, ya!" ia tundukkan kepala, dan wajahnya yang tampan pun memperlihatkan kesan memelas. "Ke situ atau tidak?" katanya pada dirinya sendiri. Suara batinnya mengatakan bahwa ia tak perlu pergi ke situ, bahwa selain kepalsuan tak akan ada yang bakal terjadi di sana, dan bahwa melempangkan dan memperbaiki lagi hubungan mereka sudah tak mungkin lagi, karena mustahil membuat wanita itu kembali memesona dan membangkitkan rasa cinta, atau membuat dirinya sebagai lelaki tua yang masih mampu mencintai. Selain kepalsuan dan kebohongan belaka, tak ada hal lain lagi yang akan muncul sekarang ini; dan kepalsuan serta kebohongan sangat bertentangan dengan nalurinya.

"Tapi memang perlu juga rasanya; kan memang tak bisa ini dibiarkan begitu saja," katanya mencoba untuk memberanikan diri. Ia menegapkan dadanya, menge-luarkan sebatang gudang garam surya, merokok, mengembuskannya dua kali, lalu melemparkannya ke asbak indung perak, dan dengan langkah yang cepat melintasi kamar tamu yang tampak muram dan membuka pintu yang lain, pintu kamar tidur sang istri.

Mutia yang mengenakan blus dan kepangan rambut yang bertusuk konde di tengkuk, dengan rambut yang telah jarang, rambut yang dulu pernah lebat dan indah, dengan wajah kurus-kering dan mata besar yang menonjol karena tirusnya wajah dan rasa takut, sedang berdiri di tengah-tengah barang-barang yang centang-perenang di depan meja laci yang terbuka karena ia sedang mencari sesuatu. Mendengar langkah kakisuaminya, ia berhenti sambil menoleh ke arah pintu dan dengan sungguh-sungguh menampakkan kesan keras dan benci di wajahnya. Ia merasa takut kepada suaminya, dan takut dengan pertemuan yang bakal berlangsung. Baru saja ia melakukan apa yang sudah sepuluh kali ia coba lakukan dalam tiga hari itu: mengumpulkan barang anak-anak dan barang-barangnya sendiri, yang akan dibawanya ke rumah ibunya-tapi sekali lagi ia tak sanggup memantapkan hati; sekarang pun, seperti sebelumnya, ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa perihal ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Ia harus segera mengambil tindakan, menghukum, mempermalukan sang suami, dan membalas dendam, sekalipun hanya untuk membalas sebagian rasa nyeri akibat perbuatan sang suami terhadap dirinya. Waktu itu ia masih mengatakan akan meninggalkan suaminya, tapi ia merasa tindakan itu sepertinya sangat mustahil; mustahil karena ia tak mampu melepaskan kebiasaannya menganggap Boby Tornado sebagai suami, dan mencintainya. Selain itu, ia merasa bahwa di sini saja, di rumah sendiri, ia hampir tak sanggup mengurus kelima anaknya, apalagi di tempat yang akan ditujunya bersama mereka semua. Dalam tiga hari itu pun, anaknya yang paling kecil telah jatuh sakit karena mendapat kaldu yang kurang baik, sedangkan yang lain-lain kemarin hampir tidak makan sama sekali. Ia merasa bahwa pergi sudah tak mungkin; namun dengan membohongi diri sendiri, ia toh mengemasi barang-barangnya dan berpura-pura akan pergi.

Melihat sang suami, ia segera memasukkan tangan ke dalam meja laci seolah-olah sedang mencari sesuatu, dan baru menoleh ketika sang suami sudah amat dekat dengan dia. Tapi kesan wajah keras dan angker yang hendak ia perlihatkan ternyata malah mengungkapkan kebingungan dan penderitaan.

"Mutia!" kata Boby Tornado dengan suara lirih dan takut-takut. Ia jatuhkan kepalanya ke bahu, dan ia ingin memperlihatkan tampang memelas dan patuh, tapi yang tampak malah kesegaran dan kebugaran.

Dengan cepat Mutia menatap Boby Tornado yang tampak segar dan bugar itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Ya, dia bahagia dan puas!" pikirnya, "Tapi aku? Dan, sikap baiknya itu sangat memuakkan; tapi justru karena sikap baiknya itu semua orang mencintai dan memujinya; aku benci pada sikapnya yang baik itu.," pikirnya. Mulutnya terkatup, otot pipinya yang sebelah kanan bergetar di wajahnya yang pucat dan resah.

"Kamu perlu apa?" katanya cepat dengan suara dada yang bukan suara sendiri.