Chereads / RANI / Chapter 2 - BAB2

Chapter 2 - BAB2

...beban kesalahan itu, dan merasa kasihan kepada istri, anak-anak, dan dirinya sendiri. Mungkin ia akan Iebih rapi lagi menyembunyikan dosa-dosanya sekiranya dia bisa menduga bahwa akibat surat itu demikian besar terhadap istrinya.

Jelaslah, bahwa Boby Tornado tak pernah sekalipun memperhitungkan akibat perbuatannya itu, tapi secara samar-samar ia pernah menduga bahwa istrinya telah lama mencium bahwa dirinya memang tidak setia, tapi hal itu didiamkan saja. Bahkan ia berpikir, sebagai perempuan yang sudah loyo, menua, tak cantik lagi, dan sebagai ibu rumah tangga tak istimewa, biasa saja, hanya baik bati, ditinjau dari rasa keadilan, seharusnya Mutia bisa bersikap rendah hati. Namun, ternyata yang terjadi benar-benar sebaliknya.

"Ah, mengerikan! Aih, aih, aih! Mengerikan!" Boby Tornado menegaskan pada diri sendiri, tapi tak juga ia bisa menemukan jalan

keluarnya. "Padahal sebelum ini keadaan kami alangkah baik, dan alangkah manis hidup kami! Mutia puas, bahagia dengan anak-anak, dan aku sama sekali tak mau mencampuri urusannya. Kuberi dia kebebasan untuk menyibukkan diri dengan anak-anak dan rumah tangga, terserah apa maunya. Memang tak baik juga bahwa dia jadi guru di rumah kami. Tak baik memang! Ada yang terasa rendah, tak senonoh, mencumbu guru sendiri. Tapi guru macam mana pula! (Maka dengan gamblang ia pun teringat mata Rafael yang hitam nakal beserta senyumannya.) Tapi kan waktu dia di rumah kami, aku tak berbuat macam-macam? Dan yang lebih buruk lagi, dia sudah .... Sepertinya semua itu disengaja! Aih, aih, aih! Tapi apa akal, ya, apa aka!?"

Tidak ada jawaban, kecuali jawaban umum yang diberikan oleh kehidupan atas pertanyaan-pertanyaan paling rumit dan tak kunjung terpecahkan. Jawaban yang hanya di dapatkannya itu adalah harus tenggelam dalam urusan sehari-hari untuk melupakan diri. Melupakan diri dengan tidur sudah tak mungkin lagi, paling tidak sebelum malam tiba. Tak mungkin lagi ia kembali kepada musik yang dinyanyikan kendi-kendi wanita itu; kalau begitu, maka ia harus melupakan diri dengan mimpi kehidupan.

"Nanti juga bakal selesai sendiri," kata Boby Tornado pada dirinya sendiri, dan setelah ia berdiri ia pun mengenakan baju longgar lengan panjang kelabu yang berlapis sutra hijau, ia mengikatkan talinya jadi satu simpul, dan setelah itu ia menghirup udara sepuas-puasnya ke dalam rongga dadanya yang lebar, dengan langkah tegap kedua kakinya yang agak pengkar, yang dengan ringan menyangga tubuhnya yang berisi. Lalu ia pun menghampiri jendela, mengangkat kain gorden, dan membunyikan bel keras-keras. Mendengar suara bel, seketika itu masuk sahabat tuanya, ia seorang pelayan kamar bernama Syaf Chenko, sambil membawa pakaian, sepatu bot, dan telegram. Di belakang Syaf Chenko menyusul seorang tukang cukur dengan berbagai peralatannya yang lengkap.

"Di dalam kantor ada kertas-kertas nggk?" tanya Boby Tornado sambil

mengambil telegram, lalu duduk menghadap cermin.

"Ada di atas meja," jawab Syaf Chenko sambil menoleh dengan nada

ragu, nada prihatin, kepada tuannya, dan sesudah menanti sejenak,

ia sambung dengan disertai senyuman cerdas: "Ada yang datang dari

pemilik kereta."

Boby Tornado tidak menjawab, ia hanya menoleh kepada Syaf Chenko

lewat cermin; dalam cermin itu tampak betapa mereka saling mengerti.

Tatapan mata Boby Tornado seolah bertanya: "Untuk apa kamu

katakan itu? Memangnya kamu nggak tahu?"

Syaf Chenko memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket, mereng-

gangkan sebelah kakinya tanpa mengucapkan sepatah kata, bersikap lunak,

dan sambil tersenyum sedikit melihat tuannya.

"Sudah saya suruh dia datang Minggu depan, dan supaya di hari itu ia

tidak menyusahkan Tuan dan dirinya sendiri secara sia-sia," katanya dengan

kalimat yang sepertinya telah disiapkan terlebih dulu.

Boby Tornado mengerti bahwa Syaf Chenko hanya ingin berkelakar dan

minta perhatian. Dibukanya sampul, dibacanya telegram, dan setelah

mereka-reka makna kata-kata yang selalu diputarbalikkan seperti biasa, wajahnya pun berseri.

"Syaf Chenko, saudara perempuanku Rani Maharani akan datang

besok," katanya sambil menghentikan sejenak tangan tukang cukur

yang gemuk dan berminyak itu, yang tengah menyisir belahan merah muda

cambang Boby Tornado yang panjang dan lurus.

"Syukurlah," kata Syaf Chenko. Dengan jawaban itu ia menunjukkan

bahwa Rani Maharani juga seperti tuannya, ia pun memahami makna kedatangan itu, bahwa Rani Maharani, saudari tersayang Boby Tornado, diharapkan bisa merujukkan kembali suami-istri itu.

"Datang sendirian atau dengan suaminya Tuan?" tanya Syaf Chenko.

Boby Tornado tidak bisa menjawab, karena tukang cukur tengah sibuk mencukur bagian bibir atasnya. Maka Boby Tornado hanya mengangkat satu jarinya. Syaf Cenko lalu mengangguk, terlihat pada cermin.

"Sendiri. Tolong siapkan kamar atas?"

"Sampaikan pada Efri Nanda, di kamar mana dia perintahkan."

"Efri Nanda?" tanya Shaf Chenko seolah ragu.

"Ya, tolong sampaikan. Ini, ambil telegram ini, dan sampaikan, apa nanti katanya."

"Tuan mau coba-coba rupanya," Syaf Chenko membatin, tapi ia hanya mengata-

kan: "Baik, Tuan."

Boby Tornado pun telah selesai mencuci muka lalu bersisir, dan siap mengenakan pakaian ketika Syaf Chenko masuk kamar lagi dengan langkah perlahan, dan sepatu botnya berderit-derit, sambil membawa telegram. Tukang cukur sudah pergi.

"Efri Nanda memerintahkan untuk memberitahu bahwa beliau akan pergi. Biarlah dia melakukan apa yang baik buat beliau, artinya buat Tuan," katanya sambil ketawa dengan matanya, dan sambil memasukkan tangan ke kantong baju dan menundukkan kepala ke

samping, ia melihat tuannya.

Boby Tornado terdiam. Kemudian senyuman akrab dan agak

memelas tampak di wajahnya yang tampan.

"Ha? Syaf Chenko?" katanya sambil menggelengkan kepala.

"Tidak apa-apa, Tuan, semuanya bakal heres," kata Syaf Chenko.

"Bakal beres?"

"Begitulah, Tuan."

"Jadi begiitu pendapatmu? Siapa di sana itu?" tanya Boby Tornado ketika mendengar desir gaun wanita di balik pintu yang berada di sampingnya.

"Ini saya, Tuan," kata suara seorang perempuan yang tegas tapi menyenangkan, dan dari balik pintu muncul wajah keras dan bopeng Merlin, pengasuh anak.

"Ada apa, Merlin?" tanya Boby Tornado sambil menghampiri Merlin di pintu.

Betapapun bersalahnya Boby Tornado kepada sang istri, dan ia sendiri pun juga merasa demikian, dan juga hampir semua orang di rumah itu, bahkan pengasuh anak itu, yang jadi sahabat utama Efri Nanda, semuanya berada di pihak Boby Tornado.

"Ada apa ?" kata Boby Tornado dengan wajah yang terlihat murung.

"Sebaiknya Tuan segera meminta maaf, Tuan. Siapa tahu Allah berkenan. Sengsara sekali Nyonya, saya merasa kasihan melihat dia, apa lagi di rumah semuanya jadi kacau begini. Tuan harus kasihan pada anak-anak, Tuan. Minta maaflah, Tuan. Apa boleh buat! Kalau mau manisnya, mesti tahu pahitnya .... "

"Tapi sepertinya aku tak bakal dimaafkan ...."

"Cobalah dulu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, berdoalah pada Allah, Tuan, berdoa pada Allah."