Hari berganti hari, beginilah kehidupan Reina, hanya menjalani hari dengan Theo. Setiap Theo meminta jatahnya, maka setelah itu Reina pasti segera meminum pil anti hamil.
Namun, beberapa hari ini untungnya Theo tidak meminta jatah, Reina tentu saja senang, dia punya waktu yang bebas.
Tapi, akhir-akhir ini juga Theo terlihat seperti sedang mengalami masalah, Reina tidak ingin bertanya, karena pada dasarnya, apapun yang Reina lakukan akan salah di mata Theo.
Reina sering kali kesal, bukan sering, mungkin setiap hari pasti kesal, tidak ada kemajuan dalam hubungan mereka, rasanya Reina seperti sebuah boneka bagi Theo, bagaimana tidak, di saat Theo membutuhkannya Reina akan dapat belaian, tetapi saat tidak di butuhkan, Theo akan mendiami Reina, menganggap Reina seperti roh tak kasat mata di pandangannya.
Dan sama seperti sekarang, tetapi Theo akan bersikap manis jika mereka ada di hadapan Adya dan Safira.
"Aku berangkat sayang." Theo mengelus kepala Reina lalu menyematkan kecupan kecil.
"Iya." Begitu Theo pergi, Reina kembali fokus dengan sarapannya.
Sambil sarapan, kini pusat perhatian mengarah kepada Safira, bagaimana tidak, Safira yang biasanya bersikap ceria dan cerewet sekarang hanya diam.
"Sayang." Adya mengelus kepala Safira.
"Iya Mommy." Jawab Safira dengan bibir cemberut.
"Kamu kenapa?"
"Tidak apa."
Mereka kembali menghabiskan sarapannya, setelah sarapan, Adya akan pergi ke kebun yang berada di belakang mansion. Saat Reina ingin pergi ke kamarnya, Safira mengajak Reina untuk mengobrol di ruang tengah, Reina tau adiknya pasti ingin cerita.
Reina dan Safira duduk berdampingan.
"Jadi kenapa Safira?"
"Kak Reina." Safira menghadap ke arah Reina.
"Iya."
"Dia kenapa sih?"
"Dia siapa?"
"Pokoknya dia jadi dingin dan cuek begitu kami bertemu di sini." Jelas Safira.
"Maksudnya Nathan?" tanya Reina memastikan.
"Iya Nathan, dia kenapa sih Kak Reina?"
"Tunggu, maksud kamu NathanĀ berubah saat kalian bertemu waktu itu?"
"Iya Kak Reina." Safira makin cemberut.
Reina tampak bingung, "Kenapa bisa begitu?"
"Aku gak tau, apa aku salah yah karena menawari dia minum?"
"Bukan itu Safira." Reina tertawa mendengar penuturan Safira.
"Kok Kak Reina ketawa."
Reina menghentikan tawanya, "Pasti bukan itu alasannya, mau Kakak bantu?"
"Tentu saja mau Kak Reina."
"Ya sudah, kamu tunggu saja informasi dari Kakak."
"Siap, terima kasih Kak Reina." Safira memeluk Reina.
Setelah mendengar penjelasan dari Safira, Reina segera menghubungi adiknya Nathan untuk bertemu. Reina dan Nathan akan bertemu di taman yang biasa mereka kunjungi bersama dengan ayah mereka.
Beberapa saat kemudian, Reina sudah tiba di taman, Reina menunggu Nathan sambil menikmati suasana sekitar.
"Kak Reina." Suara Nathan terdengar di pendengaran Reina.
"Nathan." Reina melambai, lalu menyuruh Nathan untuk segera datang dan duduk bersamanya.
"Bagaimana keadaan di mansion?" Tanya Reina begitu mereka duduk bersama.
"Yah seperti biasa," jawab Nathan.
"Keadaan Ayah baik kan?"
"Ayah baik Kak."
"Lalu, kamu sibuk apa sekarang?"
"Sibuk main game, rencananya aku akan membuat sesuatu yang akan sangat mengesankan." Jelas Nathan kepada kakaknya.
"Kakak mendukung kamu Nathan." Reina mengelus kepala adiknya.
"Terima kasih Kak Reina, andai Ayah juga seperti itu."
"Ayah tidak setuju," tebak Reina.
"Ya begitu." Nathan bersandar di kursi.
"Nathan."
"Iya Kak Reina?"
"Bagaimana hubungan kamu dengan Safira?" Mendengar kata Safira, Nathan akui jika dia merindukannya.
"Jangan di bahas Kak." Nathan bangkit dan duduk dengan tegap.
"Kamu kenapa?"
"Sekarang aku hanya ingin fokus dengan game." Nathan beralasan.
"Bukan karena yang lain?"
"Tentu tidak Kak Reina."
"Nathan, Safira juga adik Kakak, Kakak tidak tau ada apa dengan kalian berdua, tetapi Kakak akan mendukung keputusan kalian." Ucap Reina sambil tersenyum.
"Apa Kak Reina akan mendukungku, jika tau kalau aku ingin membalas dendam kepada Abang melewati Safira," batin Nathan.
Nathan terdiam, "Apa kamu mengerti Nathan?" tanya Reina.
Nathan tersadar, lalu menjawab, "Aku mengerti Kak Reina."
"Kalau begitu Kakak pergi, jaga diri baik-baik."
"Emm, Kak Reina juga."
Reina pergi setelah berbincang dengan adiknya.
.
.
.
Setelah bertemu dengan kakaknya, Nathan pergi ke game station yang ada di pusat kota. Nathan memiliki game stasion sendiri di rumah, hanya saja, jika di luar Nathan bisa sambil bertemu dengan teman-temannya.
Nathan sedang asik bermain, tangannya dengan lincah bermain di atas keyboard.
Tuk!
Tuk!
Tuk!
"Yeah." Nathan memenangkan permainan.
Nathan melepas earphone lalu bersandar di kursi, seseorang menarik kursi lalu duduk di samping Nathan, Nathan tentu langsung melirik orang yang ada di sebelahnya.
"Hai Kak Nathan." Seseorang itu adalah Safira.
"Emm." Nathan menatap Safira sekilas, lalu kembali menatap layar monitor.
"Woy Nathan." Felix datang menghampiri mereka berdua.
"Ehh, ada siapa ini?" Tanya Felix menatap keberadaan Safira.
"Halo." Sapa Safira.
"Halo, kenalin gue Felix, temennya Nathan." Felix menjulurkan tangannya.
"Aku Safira." Safira menyambut uluran tangan Felix.
"Ekhem, gak usah lama-lama." Ucap Nathan, Safira lantas menarik tangannya dari genggaman Felix.
"Kalau begitu gue pamit, gak enak ganggu orang yang lagi pacaran."
"Apaan sih elu." Nathan menatap Felix kesal.
"Bye Safira."
"Bye Felix." Felix mengedipkan sebelah matanya sebelum pergi, Safira tersenyum begitu Felix pergi.
"Ngapain kamu ke sini?" Nathan menatap Safira dingin.
"Mau ketemu Kak Nathan." Safira menatap balik Nathan.
"Ada apa?"
"Gak ada."
"Kalau gak ada, mending pergi aja." Nathan menatap layar komputernya.
"Kak Nathan kenapa sih, ko sekarang Kakak dingin sama aku?" Nathan memasang kembali earphone nya.
"Kak Nathan." Safira membuka earphone Nathan, Nathan lantas menatap ke arah Safira.
"Safira, mulai sekarang kita sebaiknya jaga jarak."
"Kenapa?" Safira menatap Nathan sendu.
"Aku gak mau kamu kena dampak buruk."
"Maksudnya?"
"Kamu gak bakalan ngerti."
"Bilang aja, Kak Nathan udah punya wanita lain, iya kan?" Tuduh Safira.
"Gak ada," jawab Nathan.
"Iya aku tau, gak seharusnya aku ikut campur karena kita cuma teman." Safira bergerak mundur untuk menjauhi Nathan.
Namun Nathan menarik kursi Safira, alhasil kursi mereka berdekatan, bahkan posisi Safira dan Nathan saling berhadapan. Safira mengedipkan matanya beberapa kali karena terkejut dengan tindakan Nathan.
"Yakin cuma teman?" tanya Nathan.
"Ya teman, terus mau apa?"
"Apa yah." Nathan mengerutkan dahinya.
"Nyebelin banget sih." Ucap Safira cemberut.
Nathan tertawa melihat ekspresi wajah Safira.
"Gak usah ketawa."
"Maaf, siapa suruh kamu lucu kaya gini." Nathan dengan sengaja mencubit kedua pipi Safira.
"Kak Nathan sakit." Safira melepaskan tangan Nathan yang mencubit pipinya.
"Jangan cemberut gitu Ra."
"Namaku Safira bukan Ra." Sewot Safira.
"Untung sayang." Bisik Nathan.
"Apa?"
"Gak."
"Kak Nathan bilang apa tadi?"
"Itu panggilan sayang aku buat kamu."
"Yang mana?" Safira pura-pura lupa.
"Yang mana yah?" Nathan malah ikut-ikutan.
"Ihh sebel." Safira marah sambil berkacak pinggang.
"Ya ampun." Nathan mengacak rambut Safira.
"Kok malah di berantakin sih." Ucap Safira tidak terima, dia sengaja merapihkan rambutnya lama karena ingin bertemu dengan Nathan, tapi Nathan malah merusaknya.
"Ya udah sini aku benerin." Nathan merapihkan kembali rambut Safira.
"Gimana bisa aku jauh dari kamu, kalau kamu selalu bikin aku jatuh kaya gini." batin Nathan.
Nathan menatap Safira tanpa berkedip, Safira yang di tatap tentu salah tingkah.
"Jangan lama-lama nanti naksir lagi," ucap Safira.
Seolah tersadar, Nathan pura-pura batuk lalu memalingkan wajahnya.
"Mau main?" Tanya Nathan mengalihkan pembicaraan.
"Aku liatin Kakak aja."
"Oke." Mereka pun asik bermain sambil bercanda.