Reina sudah sampai di mansion, begitu turun dari mobil, Reina melihat Nathan adiknya sedang bersandar di mobil, sepertinya Nathan menjemput Safira.
"Nathan."
"Kak Reina." Nathan menatap ke arah Reina.
"Kamu sedang apa? kenapa tidak masuk?" tanya Reina.
"Aku sedang menunggu Safira, kami mau pergi, makannya aku menunggu di sini," jawab Nathan
"Kakak habis darimana?" Kini Nathan yang bertanya.
"Dari kantor Theo." Nathan sekilas melihat bercak ungu di leher Reina.
"Kak Reina baik-baik saja kan?" Tanya Nathan memastikan kondisi kakaknya.
"Kakak sangat lelah." Terlihat dari wajah Reina, kalau Reina lelah.
"Pasti karena Abang Theo." Tuduh Nathan kepada Theo.
"Tidak."
"Kakak jangan membela jika Abang salah."
"Sudahlah Nathan, Kakak masuk yah, Kakak ingin istirahat."
"Iya Kak Reina." Reina masuk ke dalam mansion bertepatan dengan Safira yang keluar dari dalam mansion. Reina dan Safira sempat bertukar sapa, Safira lantas menghampiri Nathan.
"Kak Nathan ayo."
"Safira."
"Iya Kak."
"Bolehkan kita perginya nanti?" tanya Nathan.
"Loh kenapa Kak?" tanya Safira heran.
"Aku ada urusan mendadak, jadi kita perginya nanti setelah urusanku selesai, tak apakan?"
"Emm iya Kak, tak apa."
"Aku akan segera kembali." Nathan mengelus kepala Safira lalu segera pergi.
Nathan akan pergi ke kantor Theo, dengan kecepatan di atas rata-rata Nathan tiba di kantor TBN CORP dengan waktu yang cepat.
Nathan segera masuk untuk menemui Theo.
Di sisi lain Theo sedang sibuk dengan berkas juga laptopnya, tak berselang lama, suara kegaduhan terdengar dari arah luar ruangannya.
Brak!
Pintu ruangan Theo di buka paksa, memperlihatkan Farel sekertaris nya dan juga Nathan adik dari istrinya.
"Ada apa ini?" Tanya Theo menatap Nathan dan Farel bergantian.
"Maafkan saya Tuan, pemuda ini memaksa untuk masuk, saya sudah berusaha mencegahnya." Jawab Farel.
Nathan menatap Theo tajam, "Kamu pergi saja Farel." Perintah Theo.
"Baik Tuan, saya permisi." Farel pun pergi dan tak lupa menutup pintunya.
Nathan menatap Theo sengit, Theo pun bangkit dan menghampiri Nathan, namun begitu mereka saling berhadapan, dengan tiba-tiba.
Bugh!
Nathan memukul wajah Theo, Theo sedikit terhuyung lalu mengusap ujung bibirnya yang memerah.
"Dasar brengsek," teriak Nathan marah.
Bugh!
Theo membalas pukulan Nathan.
"Apa masalahmu Nathan?" Nathan menatap Theo remeh sambil berdecih.
"Jangan pura-pura tidak tau," bentak Nathan.
"Langsung intinya saja."
"Berhenti menyakiti kakakku."
"Menyakiti?" tanya Theo.
"Aku tau apa yang Abang lakukan kepada Kak Reina," jawab Nathan.
"Apa kakakmu menceritakannya?"
"Tidak, tapi aku tau pasti apa yang Abang lakukan meskipun Kak Reina tidak menceritakannya." Jelas Nathan.
"Lalu?" tanya Theo.
"Lepaskan kakakku, dia tidak bahagia bersama dengan orang brengsek sepertimu."
"Dia milikku."
"Tapi Abang menyakitinya."
"Itu hak ku, mau aku menyakitinya atau tidak." Ucap Theo terlewat santai.
"Yak! brengsek, lepaskan kakakku, kalau tidak aku akan merusak adikmu juga." Ancam Nathan dengan emosi yang menggebu.
"Memangnya kamu berani?" Tantang Nathan, Theo tau Nathan hanya berucap omong kosong.
"Tentu saja."
"Kamu tau pasti aku seperti apa, sayangilah hidupmu sebelum aku mengambilnya." Ucap Theo menepuk bahu Nathan.
"Sebelum aku mati, aku akan membunuhmu terlebih dahulu." Nathan menghempaskan tangan Theo di bahunya.
"Mari kita lihat."
"Aku tidak main-main dengan ucapan ku, dan aku pastikan, aku akan merusak Safira." Ucap Nathan penuh penekanan.
"Berani kamu menyakiti Safira, maka jangan salahkan aku jika kakakmu akan semakin menderita."
"Brengsek!" Nathan ingin memukul Theo, namun pintu ruangan terbuka, memperlihatkan Farel dan juga dua bodyguard masuk ke dalam ruangan Theo.
"Tuan."
"Dasar pengecut," ucap Nathan.
Salah satu bodyguard mencengkram bahu Nathan, namun Nathan menghempasnya, lalu menatap Theo tajam.
"Aku bisa pergi sendiri."
Saat bodyguardnya ingin mencengkram Nathan lagi, Theo mengintruksikan bawahannya itu untuk diam.
"Biarkan adikku pergi sendiri."
"Aku tidak sudi menjadi adikmu."
"Kalau begitu, antar dia pergi sampai pintu utama." Perintah Theo.
"Baik Tuan." Nathan keluar dari ruangan Theo di ikuti oleh dua bodyguard.
"Saya permisi Tuan." Farel juga ikut pergi.
Setelah Nathan pergi, Theo hanya tertawa sambil mengusap lebam akibat pukulan Nathan dan Theo pun kembali bekerja.
Nathan keluar dari kantor Theo, dua bodyguard tadi menunduk lalu pergi begitu Nathan masuk ke dalam mobilnya.
"Sialan! dia memang pria brengsek." Nathan memukul stir kemudi.
"Bagaimana ini? haruskah aku menjalankan rencana ku." Nathan bimbang.
"Tapi aku tidak bisa menyakiti Safira." Nathan bersandar sambil menutup matanya.
Selain karena Nathan menyukai Safira, Nathan juga tau betul bagaimana Safira menyayangi Reina kakaknya, begitu pun dengan Reina yang menyayangi Safira. Reina pasti tidak akan memaafkan Nathan, begitu tau kalau Nathan akan menjalankan rencananya untuk membalas perbuatan Theo melewati Safira.
Saat Nathan sedang kesal, smartphone nya berdering, itu menandakan ada telpon masuk. Nathan melihat layar, nama Safira tercetak di sana, dengan santai Nathan mengambil smartphonenya lalu menekan tombol hijau.
[Halo]
[Halo Kak Nathan, apa urusan kakak sudah selesai?]
[Belum Safira, aku masih ada urusan dan sepertinya akan sangat lama]
[Ouh begitu]
[Aku rasa rencana kita sebaiknya di batalkan, maaf mendadak, hanya saja aku tidak bisa hari ini]
[Tidak apa Kak Nathan, aku mengerti Kakak pasti sibuk, kalau begitu aku tutup telponnya]
Begitu sambungan telponnya berakhir, Nathan mengeluarkan napasnya kasar, Nathan mengusap pelipisnya pelan. Setelah lama berdiam diri, Nathan menyalakan mesin mobilnya lalu melanjutkannya menuju mansion Zayn, Nathan memilih untuk pulang.
Setelah lama di perjalanan, Nathan tiba di mansion, Nathan memarkirkan mobilnya lalu masuk ke dalam mansion. Begitu masuk Edwin menegur Nathan.
"Tumben pulang awal."
Nathan menatap ayahnya tanpa ekspresi, saat ini mood Nathan sedang tidak baik.
"Bukannya kamu pergi ke mansion Nicholas, apa kamu bertemu dengan Reina, bagaimana keadaannya?" tanya Edwin.
"Iya, Kak Reina baik," jawab Nathan
"Kalau Theo?"
"Aku tidak peduli dengan makhluk satu itu,"
"Nathan, jaga ucapan mu." Nathan menatap ayahnya kesal, ayahnya akan mulai membela Theo, lantas Nathan langsung pergi ke kamarnya.
"Nathan." Panggil Edwin.
"Kenapa dengan anak itu? apa dia ada masalah dengan Theo." Edwin sendiri tidak tau kenapa Nathan sepertinya begitu membenci Theo, pasti ada sebab, tidak mungkin membenci seseorang dengan sebab tidak jelas.
Nathan masuk ke dalam kamarnya, Nathan mendudukkan dirinya di atas ranjang dengan emosi yang belum reda. Mendengar nama Theo, rasanya Nathan langsung emosi, apalagi jika dia dengar dari ayahnya Edwin. Ayahnya sedari awal memang sering membanggakan Theo, dan selalu membahas Theo sebagai pacuan agar dia mau bekerja. Seandainya ayahnya tau bagaimana sikap Theo kepada Reina, apa ayahnya akan bersikap seperti sekarang atau tidak.
Tidak ingin memikirkannya lebih lanjut, Nathan lebih memilih untuk bermain game, mungkin dengan main game emosinya akan hilang.