"Astaga! Itu bukannya Hendrick?" tanya Grace berbisik ke telingaku.
"Iya. Biarkan saja. Kita nikmati saja acara kita," kataku pada Grace.
Jujur, aku menjadi salah tingkah karena Hendrick terus menerus menatapku seakan aku ada salah padanya. Padahal aku sama sekali tidak berbuat sesuatu padanya. Kan seharusnya aku yang marah padanya karena Sera yang melabrakku.
Aku berusaha untuk bersikap biasa, menganggapnya tak ada dan yah, aku berhasil melakukannya. Setidaknya saat aku dan rekan kerjaku benar-benar selesai dalam acara kami.
Kami saling berpamitan dan aku tidak benar-benar pulang bersama Grace. Hal itu hanya alibi untuk Steven agar tidak khawatir padaku. Sebab jarak dari restoran ini cukup dekat ke rumahku.
Malam yang semakin mencekam sebenarnya membuatku sedikit bergidik. Masalahnya jalanan yang kutuju memang sepi dan minim sekali orang yang berlalu lalang. Tapi aku mempercepat langkah kakiku agar bisa segera sampai.
"Hei, manis."
Tiba-tiba segerombolan laki-laki yang tak kukenal berhenti di depanku. Aku menatap mereka satu per satu dan tak hanya di depanku saja, tapi di belakangku juga ada, yang kemungkinan teman-temannya.
Sial! Aku bagaimana ini? Aku sama sekali tidak tahu cara membela diri. Tidak pernah terpikirkan olehku, aku akan menghadapi hal-hal seperti ini.
"Kau sendirian? Butuh teman?" tanya salah satu di antara mereka yang lebih tinggi dariku.
Ia mendekat dan aku mundur perlahan. "Jangan mendekat," kataku.
"Bagaimana bisa aku tidak mendekat jika kau semanis ini, huh? Aku sudah lama memperhatikanmu," katanya.
Aku merasa bingung. Ia sudah lama memperhatikanku? Artinya selama ini ia menguntitku? Astaga! Mengerikan sekali!
"Sekarang tak ada yang menghalangiku untuk mendekatimu," katanya.
"Berhenti! Atau aku akan teriak!" ancamku.
"Berteriaklah. Tidak ada yang akan mendengar."
Semua gerombolam itu tertawa. Lalu salah satunya meraih tasku dengan kasar. "Hei, kembalikan!" teriakku.
Tapi percuma, aku tidak bisa meraih tasku dan mereka terlalu banyak. Bodoh sekali aku di masa seperti ini. Tidak ada siapapun yang bisa kuandalkan.
"Jadilah pacarku, Mayleen," ucapnya. Dia bahkan tahu namaku dan itu terdengar mengerikan saat penguntit ternyata tahu namamu.
"Plakkk!" aku menampar pipinya.
Laki-laki di depanku menatapku dengan pandangan tajamnya. Kurasa ia tidak terima dengan apa yang baru saja kulakukan padanya.
"Pegang dia!" perintahnya.
Kedua tanganku di pegang oleh teman-temannya. Ia lalu semakin mendekat dan mulai menaruh bibirnya di leherku. Aku menggeliat dan berteriak sekencang mungkin.
"Tidak! Lepaskan! Tolong aku! Tolong!!!" teriakku.
Semakin aku berteriak dan menggeliat, mereka semakin memegangku dengan kuat. Aku menangis sejadi mungkin, tidak tahu apa yang akan terjadi padaku di saat seperti ini.
"Lepaskan!" aku mulai merasa lemas.
"Sialan, kau!"
Tiba-tiba suara yang kukenal muncul. Menghantam laki-laki yang menciumku dan teman-temannya juga memukul teman laki-laki itu. Aku hanya bisa meringkuk dalam tangisan. Merasa takut sekaligus jijik.
Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, tapi aku merasakan kedua tangannya meraihku dan membopongku.
"Mayleen ... kau baik-baik saja?" tanyanya dalam embusan napasnya yang tersengal-sengal.
Aku tidak baik-baik saja dan aku tidak bisa menjawabnya. Aku masih syok dan tetap diam dalam tangisanku.
"Hei, urusalah mereka ke kantor polisi. Aku akan membawa Mayleen lebih dulu ke rumah," katanya pada teman-temannya.
Aku merasakan ia menaruhku di dalam mobil. Menyelimutiku dengan jaketnya dan membawaku entah kenapa.
***
"Ya, jangan khawatir, Zhu. Aku rasa Mayleen butuh ruang sendiri di apartemen, jadi kubawa ia ke apartemenku. Aku sudah bilang juga pada Mom. Dan yah, para berandalan itu sudah kuurus juga ke kantor polisi."
Aku terbangun dengan suara Hendrick yang kudengar sedang berbicara pada Mom. Lalu aku langsung teringat tentang apa yang terjadi padaku.
"Tidakkk!" teriakku kemudian.
Aku memberontak karena merasa diriku sudah kotor oleh sentuhan laki-laki yang tak kutahu siapa. Bahkan aku mengusap-usap tubuhku kasar, berharap hal-hal kotor yang tertinggal hilang dalam tubuhku.
"Mayleen ... hei, hei, Baby ... tenanglah," Hendrick datang dan berlari memelukku. Membuatku tenang walau kurasa ia susah payah karena aku masih berontak saat dalam pelukannya.
"Tenanglah, aku di sini. Aku di sini," katanya.
Aku menangis dan ya, aku sudah mulai tenang. Tapi ingatan semalam masih menghantuiku.
"Aku takut, Hendrick."
"Aku tahu."
"Dia bilang ... dia sudah lama ... memperhatikanku," kataku memberitahu.
"Dan ... Dan ..."
"Sssttt, semua sudah kuurus. Kau beristirahatlah. Tidak perlu dilanjutkan, ok?" katanya.
Aku mulai menenangkan diri. Tapi aku tidak tidur. Jadi aku hanya berbaring dalam pelukan Hendrick. Aku memeluknya sangat erat. Saking eratnya, aku sampai memiliki ide demi keegoisanku sendiri.
"Hendrick," kataku memanggilnya.
"Ya?" ia mengusap-usap rambutku.
"Please, bercintalah denganku. Aku ingin sisa-sisa sentuhannya hilang dari tubuhku," kataku meminta.
"Kau yakin?" tanyanya menatapku.
Kuanggukkan kepalaku bahwa aku benar-benar yakin dengan apa yang kuminta.
***
Setelah bercinta dengan Hendrick, aku cukup merasa benar-benar tenang. Perasaan takut itu hilang. Tapi memori yang kumiliki tidak. Setidaknya tubuhku hanya tersentuh oleh sentuham Hendrick seorang.
"Kau merasa baikan?" tanyanya.
Kuanggukkan kepalaku menatapnya. Kami masih telanjang dan dalam satu selimut. Ia memelukku dan masih memastikan bahwa aku sudah baik-baik saja.
"Seharusnya semalam kau pulang denganku, Mayleen," katanya.
"Aku tidak kepikiran."
"Apa yang membuatmu mengarah ke rumahku?" tanyaku.
"Aku merasa perasaanku tak enak saja saat itu."
Dan perasaannya menunjukkan kebenaran. Aku sedang tidak aman malam kemarin.
"Mom dan Dad?" tanyaku.
"Mereka tahu dan khawatir. Tapi mereka percaya bahwa aku bisa menjagamu. Dan maaf aku membawamu ke apartemenku."
Aku mengangguk. Tidak masalah ke mana pun Hendrick ingin membawaku, selama aku bersamanya, tentu aku tahu aku akan aman.
Kami diam selama beberapa menit sampai aku merasa birahiku naik lagi. Jadi kali ini aku memulainya sendiri karena keinginan, bukan karena ingin menghapus sentuhan laki-laki brengsek itu dari tubuhku.
Aku naik ke atas Hendrick dan ia terkejut. "Mayleen," katanya.
"Kau keberatan?" tanyaku.
"Ti-tidak. Tentu saja tidak."
Mudah saja membuat Hendrick juga merasa birahi. Ia bahkan sudah menegang dan menjadi kesempatanku untuk membuat miliknya masuk ke dalam milikku.
Hendrick mengerang dan aku senang. Aku pun mulai bergerak dan mengarahkan kepalanya pada payudaraku. Kubiarkan ia mengisapnya sementara aku terus bergerak untuk mendapatkan kepuasaku.
"Ya ... begitu, Hendrick. Kau sangat pintar!" kataku sedikit menjerit saat ia mengisapnya lebih kencang.
Semakin Hendrick membuatku puas, semakin cepat aku bergerak dengan ranjangnya yang berderit-derit. Napasku hampis habis, tapi tak benar-benar habis.
"Kau terlalu dini, Mayleen. Aku tak akan membiarkanmu," katanya dan tiba-tiba merubah posisiku menjadi di bawahnya. Aku hampir saja orgasme, tapi ia menggagalkannya.
"Hendrick!" lenguhku saat bibirnya ternyata mulai berada di area sensitifku.
Aku menjerit sebisaku. Jeritan kenikmatan yang membuatku lemas tak berdaya. "Kau sangat nikmat, Mayleen," katanya dengan senyuman nakal usai aku akhirnya orgasme.