Aku sudah siap dengan pakaianku setelah mandi. Seks benar-benar bekerja padaku dan rasa ketakutan itu menghilang. Setidaknya karena Hendrick yang saat itu berada di sana. Dan sekarang, aku harus kembali ke rumah dan bertemu dengan Mom juga Dad. Mereka sengaja tidak menjengukku karena Hendrick mengatakan bahwa ia bisa menanganiku.
Sebenarnya alibi Hendrick adalah omong kosong. Maksudku, agar waktu kami lebih banyak bersama tanpa ganguan. Dan aku tersenyum sendiri ketika mengingat momen-momen yang aku dan Hendrick lakukan beberapa hari ini.
Lalu seakan ditampar kenyataan, aku lupa akan ponselku. Aku belum menghubungi Steven sekali pun.
"Ponselku, di mana ponselku?" tanyaku saat Hendrick keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk menggantung di pinggangnya.
"Di sana. Ada apa? Kau terlihat panik."
Aku meraih ponselku yang tergeletak di meja yang sama sekali tidak kulihat beberapa hari ini. "Aku harus menghubungi Steven. Ia pasti cemas."
Aku menyalakan ponsel dan langsung mendapatkan banyak notifikasi. Kutekan nama Steven di layar dan memanggilnya.
"Steven?" panggilku ketika panggilanku terjawab.
"Ya?"
"Maaf, aku-"
"Aku sudah mendengarnya dari orang tuamu," katanya memotong ucapanku. Tidak biasanya Steven terdengar seperti ini.
Tiba-tiba Hendrick melingkarkan lengannya di pinggangku. Tapi aku berusaha fokus pada Steven.
"Maafkan aku, aku tidak memegang ponselku juga," kataku.
"Kalau kau sudah lebih baik, kita harus berbicara, Mayleen."
Belum sempat aku membalas ucapannya, panggilan ia matikan. Aku menatap diriku di cermin dan bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Dan, apa yang Mom katakan pada Steven mengenai aku? Ia sama sekali tidak terdengar panik atau khawatir saat kutelepon.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Hendrick mencium leherku.
"Sepertinya ada yang salah dengan Steven," kataku.
"Putuskan saja ia."
Kini aku menatap Hendrick yang masih menikmati diriku untuk diciumnya. Kujauhkan ia dan berkacak pinggang di bawah tatapannya.
"Ayo, pulang!" perintahku.
Sambil menunggu Hendrick bersiap-siap, aku mondar-mandir. Entah kenapa perasaanku merasa tak enak. Steven berbeda dan kurasa ia tahu aku sedang bersama siapa.
Sial! Hubunganku rusak karena diriku sendiri yang tak memiliki arah dan tujuan kepada siapa aku akan mencinta.
"Jangan terlalu dipikirkan, Mayleen," celetuk Hendrick tiba-tiba.
Kupicingkan kedua mataku padanya. Seakan Hendrick tahu sesuatu mengenai Steven. "Apa kau tahu sesuatu?" tanyaku.
"Kalau dia bilang dia tahu dari orang tuamu, dia berbohong. Sejujurnya dia tahu dari aku sendiri," katany terlihat santai.
Mataku membelalak. Kepalaku pusing seketika dan tentu saja Steven terasa berbeda karena ia bertemu dengan Hendrick.
"Apa yang kau katakan padanya?"
"Kau hampir dicelakai preman, aku menyelamatkanmu, dan membawamu ke apartemenku. Lalu aku menyalahkannya karena tidak bertanggumg jawab sebagai kekasihmu," jelas Hendrick.
"Hendrick, kau memperkeruh suasana!" kataku.
"Terserah kau saja menganggapnya apa. Yang jelas, dia tidak bertanggung jawab padamu sebagai kekasih!"
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan pada Hendrick. Ia benar-benar membuatku merasa terpojokkan. Hal-hal yang seharusnya aku jalani bersama Steven, sepertinya akan berakhir lagi.
"Antarkan aku ke rumahnya," kataku pada Hendrick.
"Tidak. Kau harus ke rumahmu dulu."
"Hendrick! Dia masih pacarku dan kau tak berhak apapun atasku!" seruku mulai kesal padanya.
Hendrick malah menatapku seperti mangsanya. Ia maju dan mendekat ke arahku hingga aku terkunci oleh dinding di belakangku.
"Dan kau sahabatku yang sudah bertahun-tahun bersamaku! Tentu saja aku berhak atasmu, Mayleen!"
Aku langsung membuat tanganku seakan memohon padanya. Ia harus diperlakukan lembut dan baru akan mengabulkan apa yang kumau.
"Kumohon, kali ini saja," kataku.
"Damn it! Fine!"
***
Hari ini hari Minggu, sudah pasti Steven di rumahnya. Jadi aku menekan bel rumahnya berkali-kali dan Hendrick menunggu di mobil. Aku cemas dan khawatir, padahal seharusnya aku tidak merasakan ini, kan?
Tak lama pintu terbuka dan menampakkan Steven yang hanya berbalutkan celana jeans tanpa kaos. Tubuhnya berkeringat dan rambutnya basah. Napasnya pun terdengar memburu.
"Mayleen?" katanya tak percaya aku di sini.
Aku menelan ludahku. Aku tidak ingin menduga sesuatu yang buruk. Jadi aku berusaha terdengar biasa dan berpikir positif.
"Kau sedang olahraga?" tanyaku. "Aku datang untuk-"
"Siapa, Steven?" seorang wanita muncul dengan pakaian selimut membungku tubuhnya. Sama-sama berkeringat dan yang membuatku kaget, wanita itu adalah wanita yang kukenal. Rekan kerjaku.
"Grace?" kataku tak percaya.
Grace tampak terkejut pula. Ia lalu maju dan memegang tanganku yang mana diriku masih membeku. "Sandra, aku ... ini bukan yang kau pikirkan. Aku-"
"Diam," kataku terdengar syok dan menepis tangannya.
Steven tak mencoba menjelaskannya. Ia bahkan hanya menatapku dengan tatapannya yang menjadi kesal.
"Masuklah, Grace. Nanti kita akan lanjutkan," katanya pada Grace. Grace masuk ke dalam dengan ragu.
Aku menggeleng-gelengkan kepalanya karena tak percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar. Steven marah dan kesal padaku. Aku tahu itu. Dan aku juga tahu bahwa ini adalah karmaku.
Tiba-tiba aku menitikkan air mata. Ternyata sakit ketika melihat orang yang mulai kusayang, mengkhianatiku.
"Kau menangis. Apa sebegitu efeknya bagimu melihatku dan rekan kerjamu sedang bercinta?" tanya Steven.
Kutundukkan kepalaku dan aku merasa lemas seketika. "Kau jahat," kataku mendesis.
"Pikirmu aku tidak tahu bahwa kau juga bercinta dengan sahabatmu itu?"
"Huh? Sekarang siapa yang paling jahat, Mayleen? Aku atau kau?"
"Kenapa harus Grace? Dia ... bukankah dia punya Aaron?" isakku sambil bertanya.
Steven berdecak. Aku tak berani menatap matanya. Sebab aku tahu aku juga salah. "Aku dan Grace sudah lama melakukan ini. Asal kau tahu. Hanya sebatas ranjang dan saling memuaskan. Tidak ada perasaan terikat. Jadi kutegaskan padamu, aku dan Grace tidak seperti kau dan Hendrickmu itu!" jelasnya.
Kenyataan menohokku semakin dalam saat pengakuannya terdengar ke telingaku dan menembus jantung hatiku.
"Kurasa sebaiknya kita menyudahi hubungan ini, Mayleen. Pulanglah," katanya mengusirku sekaligus memutuskanku.
Perlahan aku mundur dan berbalik. Aku memang tidak mengemisnya. Tapi rasa sakit itu semakin dalam. Langkahku menjadi terseok-seok saat akan menuju mobil Hendrick.
"Woah, Mayleen ... kau baik-baik saja?" tiba-tiba Hendrick sudah menangkapku ketika aku akan terjatuh.
Kutatap wajahnya dan menangis sejadinya. "Bawa aku kembali ... bawa saja aku ke apartemenmu, Hendrick," pintaku dengan rengek.
Hendrick tak banyak tanya dan bicara saat mendengarku merengek. Jadi ia tetap menuruti kemauanku. Membiarkanku tenang dan aku bersyukur, walau bagaimana pun, Hendrick selalu di sisiku. Walau ia yang memulai perseteruan ini, ia tetap ada untukku.
"Aku putus dengannya. Dia yang ... memutuskan," kataku membuka suara.
"Dan dia bersama rekan kerjamu," Hendrick menambahi.
Aku langsung menatapnya, seakan ia cukup tahu apa yang dilakukan kekasihku, maksudku mantan kekasihku. "Kau tahu dari mana?"
"Aku datang ke kantornya untuk memberitahu keadaanmu, dan tak sengaja aku melihatnya bersama rekan kerjamu sedang bercinta di ruangannya. Maka dari itu, kukatakan saja semuanya apa yang kita lakukan selama ini, Mayleen. Jadi impas, bukan?" jelas Hendrick memberitahuku.