Entah aku harus merasa bersyukur atau sedih, yang jelas sekarang aku bingung. Perasaan tersakiti itu ada. Mungkinkah aku mulai mencintai Steven? Beginikah sakitnya ketika cinta sudah tumbuh lalu di waktu yang sama dikhianati pula?
Aku bahkan menangis yang tak membuatku berhenti. Mengingat Steven dan Grace bahwa mereka sejak dulu sudah melakukan itu tanpa perasaan, hanya kesenangan.
Bagaimana bisa aku tidak bisa berhenti memikirkannya? Bagaimana juga aku menganggapnya nanti saat berada di kantor?
"Kau harus bersyukur bahwa kau lepas dari laki-laki brengsek itu, Mayleen," ujar Hendrick. Ia menarik tanganku dan menggenggamnya.
"Aku tidak tahu."
"Beruntung kau dan dia hanya sebentar, bukan dalam jangka waktu yang lama," katanya lagi.
Hal itu ada benarnya. Tapi ternyata rasa sakit itu malah jelas lebih terasa ketimbang aku saat bersama Demico.
Sial! Bahkan jika aku ulang-ulang kebersamaanku bersama Grace atau pun Steven, mereka seperti tidak menunjukkan kecurigaan.
"Kau tidak ingin kita ke suatu tempat dulu?" tanya Hendrick.
"Bawa saja aku ke mana pun, asal jangan ke rumahku."
Tiba-tiba ponsel Hendrick berdering. Aku menatapnya dan ia menunjukkan bahwa Mom menghubunginya. "Kau mau menjawabnya atau aku saja?"
"Biar aku," kataku lalu meraih ponselnya.
"Hendrick, bagaimana Mayleen? Apakah ia baik-baik saja?" tanya Mom menyambar.
Kurasa apa yang kualami seakan membuat Mom jelas lebih terasa juga. "Hai, Mom," sapaku.
"Mayleen? Honey ... my sweetheart, apa kau baik-baik saja? Apa aku dan Dadmu bisa melihatmu?"
"Mom, aku baik-baik saja. Aku hanya butuh ... lebih banyak waktu," kataku seraya menatap Hendrick.
"Aku tidak bisa tahan jika tidak melihatmu, Sayang. Hendrick bisa ia bisa menjagamu dan aku percaya. Hanya saja ... aku merindukanmu," jelas Mom.
Aku tersenyum. Mendengar suara dan dukungan dari Mom ternyata cukup memberikan efek positif untukku.
"Jangan khawatirkan aku, Mom. Aku sedang butuh waktu saja. Kau tahu, aku baru saja putus dari Steven."
"Astaga! Apa yang ia lakukan padamu?"
Aku berbicara cukup banyak pada Mom melalui ponsel Hendrick. Hingga mobil tiba-tiba berhenti di apartemennya dan aku menatap Hendrick. Lalu panggilan kuakhiri saat itu juga.
"Kenapa ke apartemenmu?" tanyaku.
"Mandilah dulu. Kita akan pergi cukup jauh. Jadi, kita perlu persiapan yang cukup."
Aku rasa tidak ada salahnya menuruti perkataan Hendrick. Jadi aku mengangguk dan keluar dari mobil. Sementara itu Hendrick menyusulku segera.
Satu jam sudah aku dan Hendrick bersiap-siap. Tidak banyak yang kubawa karena aku memang tidak memiliki banyak pakaian di apartemen Hendrick. Jadi aku hanya bersiap seadanya.
"Bagaimana Sera dan Olive?" tanyaku pada Hendrick.
"Tidak usah memikirkan Sera. Dan Mom cukup tahu keadaanmu, jadi ia tidak masalah juga."
Aku tidak banyak tanya selain mengangguki apa yang Hendrick katakan. Aku yakin, apa yang Hendrick lakukan untukku adalah yang terbaik untukku.
Perlu diketahui, kenapa ia membawaku ke apartemennya, bukan ke rumahku atau rumahnya, melainkan karena memang biasanya aku lebih tenang saat berada di apartemennya ketika aku sedang dalam masalah seperti ini. Kedua orang tua kami tidak masalah selama mereka diberi kabar.
Kadang, aku sendiri heran, mengapa kedua orang tua kami begitu membiarkan kami bebas berduaan. Maksudku, gini ... Mom sudah pasti mengizinkan karena perasaanku pada Hendrick. Bahkan sebelum aku mengatakannya, ia sudah tahu. Sementara Olive, ia memang menyukaiku sejak dulu.
"Kau menangis, artinya kau sakit hati," ujar Hendrick saat mobil sudah berjalan meninggalkan apartemennya.
"Kurasa begitu. Tapi aku jadi tahu pada akhirnya."
"Kau wanita hebat, Mayleen. Aku menyayangimu," katanya seraya mengusap-usap rambutku.
Kata-katanya barusan seperti memberi harapan padaku. Seperti memberi celah agar aku bisa memilikinya. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana atau memulainya dari mana.
"Omong-omong, kau akan membawaku ke mana?" tanyaku mengalihkan degup jantungku.
"Nanti kau akan tahu. Kejutan untukmu, tentunya."
"Terima kasih, Hendrick. Kau selalu ada untukku."
"Hmm ... bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" tanyanya tiba-tiba.
"Apa itu?"
"Bisakah kau berpindah dan duduk di pangkuanku?"
Kutelan ludahku susah payah. Duduk di pangkuannya sementara ia mengemudi? "Bukankah itu berbahaya, Hendrick? Kau sedang menyetir."
"Apa kau meragukan kemampuanku?"
Kali ini aku tak menjawabnya melainkan langsung berpindah untuk duduk di pangkuannya. Entah aku berat atau tidak, tapi Hendrick seperti menikmatinya. Ia bahkan mengerang ketika aku mulai berada di atasnya.
Siapapun yang dalam posisi ini, pasti akan merasa birahi.
Jarak wajahku dan wajahnya begitu dekat. Tapi aku memilih untuk menenggelamkan wajahku di lehernya. Sebenarnya aku merasa malu, tapi bukan hal yang buruk juga berada di pangkuannya.
"Kau wangi," katanya.
"Menyetir sajalah, Hendrick. Kau tak perlu memujiku."
"Tapi kau membuatku mabuk."
"Hendrick," kutatao wajahnya dan menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingin bercinta di dalam mobil dalam keadaan sedang mengemudi. Mungkin rasanya menantang, tapi keselamatan adalah segalanya.
"Ah, baiklah. Akan kutahan kalau begitu," katanya dengan lesu setelah tahu aku menolaknya.
Aku terbangun dan langsung mengangkat kepalaku. Kutatap sekitarku bahwa aku masih di mobil dan sudah berhenti. Sementara aku masih di pangkuan Hendrick.
"Apa tidurmu pulas, Cantik?" tanya Hendrick.
"Astaga! Maaf aku ketiduran. Apa kita sudah sampai?" tanyaku.
"Hampir. Tapi aku sengaja berhenti agar bisa bercinta denganmu."
Perasaan bangun tidur dan dibuat ingin bercinta mendadak tumbuh. Sial! Hendrick sangat sengaja melakukan ini padaku.
"Di-di sini?" tanyaku terbata-bata.
"Ya, di sini. Tidak akan ada yang melihat." Hendrick mulai melepas bajunya. Menampakkan bagian perutnya yang kusuka.
Sejenak aku diam. Jika aku terlalu sedih, maka hal kerugianlah yang kurasa. Jadi sebaiknya aku bersenang-senang bersama sahabatku. Tidak masalah jika pada akhirnya kami selalu melakukan seks. Lagipula, hal ini adalah yang menyenangkan.
Aku tersenyum dan menggigit bibirku. Lalu kubuka dresku hingga ke perut dan melepas celana dalamku. Akses untuknya dengan model pakaianku jelas lebih memudahkannya.
"Sepertinya kau sengaja memakai dres untukku, ya?" tanyanya.
"Seperti yang kau lihat," kataku seraya menyambar bibirnya.
Hendrick tampak terkejut dengan keagresifanku. Biarlah. Sesekali aku harus agresif mengingat ia selalu bersikap agresif padaku. Akan kutunjukan padanya bahwa patah hatiku karena laki-laki lain bukanlah hal besar, kecuali jika laki-laki itu adalah dirinya.
"Kau tampak bersemangat, Baby," katanya.
Aku melenguh ketika aku mencoba memasukkan miliknya ke dalam milikku. Well, aku sudah cukup basah dan memudahkannya untuk segera masuk.
"Bolehkah aku mengatakan hal-hal manis, Hendrick?" tanyaku mulai bergerak perlahan.
"Sepuasmu, Baby."
Hendrick menangkup dua payudaraku dan mengarahkan mulutnya ke salah satunya. Tentu saja hal itu menambahkan rasa nikmat untukku.
Ia membuat tanda di beberapa dadaku, seakan menegaskan bahwa aku adalah miliknya.
"Yeah, seperti itu ... aku adalah milikmu, Hendrick. Aku mencintaimu!" jeritku.