Aku langsung bergeser setelah Hendrick mengatakan itu. Lalu aku kembali fokus pada wajahku lagi. "Bercinta saja dengan pacarmu," kataku terdengar kesal.
"Kau marah padaku," katanya setiap kali aku seperti ini.
Untungnya Hendrick tidak melanjutkan lagi permintaannya itu, karena jika ia meminta sekali lagi, maka aku akan pasrah.
"Aku mau istirahat, Hendrick. Kau pulanglah," kataku.
"Aku akan tidur di sini." Ia dengan keras kepala lantas melepas jaketnya serta kaosnya. Lalu Hendrick menjatuhkan dirinya di kasurku.
Aku mendesah karena Hendrick tak akan mendengarkanku. Jadi kubiarkan saja ia tidur di kasurku. Kuharap kali ini imanku akan kuat menahannya.
Setelah aku membasuh muka dan mengganti pakaian, aku bergabung dengannya di kasur. Kami berhadapan namun dengan jarak yang cukup jauh.
"Aku tidak berpikir Sera akan melabrakmu, Mayleen," katanya, kembali memulai.
Aku memejamkan mataku namun telingaku mendengarkan. "Yah, seharusnya kau sudah menduga itu, Hendrick. Dia tipikal yang cukup... berani."
"Maafkan, aku. Aku sudah memarahinya." Tangannya menarik tanganku, kemudian ia mengecup punggungku. Hal seperti ini terasa aneh saat aku bahkan sudah sadar bahwa perasaan ini semakin bertumbuh untuknya.
Kutarik perlahan tanganku dan membuka mataku. "Apa kau begitu mencintai Sera?" tanyaku menatapnya.
Untuk pertama kalinya Hendrick terlihat terkejut dengan pertanyaanku. Wajahnya seakan bingung dan ia berkedip seakan sadar dari lamunannya.
"Kenapa kau menanyakan itu?"
"Jawab saja."
"Aku tidak tahu," katanya dengan singkat.
Kini pengakuannya cukup membuatku kaget. Tidak pernah kupikirkan bahwa ia akan menjawab dengan tiga kata yang membingungkan itu. Bahkan ia mengatakannya seolah mudah untuknya, tanpa pikir panjang.
"Kenapa jawabanmu sangat aneh begitu?" tanyaku.
Hendrick menghela napasnya dan posisinya ia ubah dengan lurus menatap langit-langit kamarku. Kedua tangannya berada di belakang kepalanya.
"Entahlah. Aku bahkan tidak tahu sejak pertama mengenalnya. Aku hanya melihat bahwa ia cantik, seksi dan kau tahu selanjutnya."
Dia hebat di ranjang. Aku menelan ludahku karena hal yang ia maksud dapat kutangkap dengan jelas.
"Kurasa kau mencintainya," kataku.
"Tahu dari mana kau?"
"Kalau kau tak mencintainya, kau tak akan mati-matian membuatnya ikut denganmu ke Paris, walau Olive sudah melarangmu," jelasku.
Kudengar Hendrick terkekeh dengan nada kecil. Ia lalu kembali lagi menghadapku, posisi miring. "Aku ingin membuat seseorang cemburu, Mayleen," katanya.
Aku bingung mendengar nadanya berbicara seperti itu. Siapa yang ia maksud? Apakah aku tahu atau mengenalnya?
"Ayo, tidur! Kau besok masih harus bekerja," ajaknya dan ia mulai memejamkan matanya.
Sial! Belum sempat aku bertanya, ia sudah meninggalkan topik dengan memilih tidur. Sudah pasti aku enggan bertanya mengenai siapa orang yang ia maksud.
***
"Morning, Sweetheart, bagaimana tidurmu?" sapa Steven yang datang menjemputku ketika aku masuk ke dalam mobilnya.
Aku tersenyum dan mencoba membiasakan diri mencium bibirnya saat bertemu. "Sangat nyenyak. Bagaimana denganmu?" tanyaku.
"Sama sepertimu. Sepertinya aku tidak akan lama berada di kantor. Aku harus menemui klien untuk meeting," katanya.
Dahiku mungkin berkerut. Setahuku, Steven tidak ada jadwal untuk bertemu dengan klien. "Kau tidak ada jadwal, Steven. Apakah pertemuan itu di luar mengenai bisnis?"
"Tepat sekali, gadis cantikku. Aku akan menjemputmu saat selesai kerja."
"Oke."
Kamu sampai kantor dan berpisah. Aku ke mejaku sementara ia ke ruangannya. Kuhela napas sebelum benar-benar mengerjakan kembali pekerjaanku yang belum selesai.
"Mayleen, pulang kantor kami berencana barbeque di salah satu restoran sini. Apa kau mau ikut?" tanya Grace.
"Hmm, ajakan yang bagus. Aku ikut."
"Akhirnya!"
"Dalam rangka apa?" tanyaku.
Grace memandangku dengan pandangan 'apa kau serius bertanya seperti itu?' padaku. Aku mengedikkan bahu dengan pandangan sama sekali tidak tahu dalam rangka apa.
"Astaga! Otakmu pasti diisi penuh oleh Steven, ya? Sampai-sampai kau lupa rutinitas akhir bulan kita?"
Jantungku seakan meledak. Cukup terkejut juga karena aku melupakan bagian terpenting dalam kerja sama kami. "Ah, maaf. Tapi kau benar, otakku diisi oleh Steven jadi aku lupa," kataku sedikit berbohong.
Aku mencoba untuk hari ini dan barangkali di hari-hari berikutnya untuk bersikap bahwa Steven-lah satu-satunya yang harus kucintai, bukan laki-laki lain. Walau kesan memaksa dalam diriku terasa berat, tapi aku bersungguh dalam melakukannya.
"Omong-omong, soal wanita kemarin, dia siapamu, sih?" tanya Grace mulai mengulik informasi dariku sendiri.
"Hmm, pacarnya sahabatku."
Grace membelalak kaget. "Maksudmu, pacarnya Hendrick? Si wanita seperti itu adalah pacarnya Hendrick?"
Kuanggukkan kepalaku. Tak heran jika Grace terkejut. Ia cukup tahu tentang Hendrick, dan tak menyangka bahwa Hendrick akan memilih kekasih seperti Sera.
"Dia sangat tidak sopan!" rutuk Grace.
"Memang begitulah dia. Menyebalkan!"
"Kau juga berpikir demikian?"
"Kau pikir karena dia pacar sahabatku, lantas aku tidak berpikir demikian?" tanyaku.
"Well, siapa yang tahu. Terkadang seseorang menyembunyikan hal-hal seperti itu karena tidak mau menjelekkan pacar sahabatnya."
Aku hanya diam tak membalas ucapan Grace. Yang ia bicarakan ada benarnya. Bahkan kadang aku tidak begitu terbuka pada Hendrick mengenai sisi buruk Sera.
Aku masuk ke ruangan Steven sebelum ia benar-benar meninggalkan kantor. Setidaknya aku harus mengatakan mengenai acara akhir bulan yang beberapa rekan kerjaku adakan.
"Jadi kau tidak usah kujemput tidak apa?" tanya Steven setelah aku menyampaikan padanya.
"Iya. Tidak masalah. Biasanya aku akan pulang dengan Grace."
"Baiklah. Nikmati harimu, Sayangku. Kemarilah," katanya. Aku mendekat. Jarak yang sangat dekat. Hingga satu tangannya merengkuh pinggangku dan menarikku dalam tubuhnya.
"Kau wangi," katanya memuji.
"Kau boleh mencium jika itu yang kau maksud," kataku padanya dengan candaan.
Steven tertawa kecil, lalu perlahan ia memajukan bibirnya dan melumatku. Begitu dalam dan rakus. Ya, ciuman ini seakan berubah menjadi sebuah keinginan yang kuingini. Bagaimana jika aku melakukan seks yang cepat dengannya?
Tidak! Seks bersama Steven terlalu cepat. Aku tidak yakin aku akan siap memulainya. Jadi perlahan aku menghentikan ciuman kami dengam lembut.
"Untunglah kau menghentikannya... aku tidak yakin aku bisa menahannya jika kau tidak menghentikannya, Mayleen," katanya dengan napas memburunya.
"Aku harus kembali bekerja," kataku.
Steven mengangguk dan aku pun keluar perlahan. Aku duduk di kursiku dan mencoba bercermin pada kaca yang selalu tersedia di mejaku. Kulihat lipstikku sedikit memudar, aku pun memolesnya lagi.
"Kau habis berciuman, ya?" tanya Grace yang kini mendekat dan berbisik padaku.
Aku hanya bergumam karena rasanya malu jika aku menjawabnya dengan kalimat.
"Bagaimana rasanya dicium olehnya? Apakah-"
"Grace! Berhenti. Ayo, kita kerja. Hari ini juga kita harus penutupan," ujarku menghentikannya. Grace hanya terkekeh dan kembali ke mejanya.
Dan benar saja, kami belum tuntas menyelesaikan penutupan. Jadi kami pun akan melanjutkannya besok saja dan memilih berhenti bekerja karena jam kerja juga sudah cukup larut. Walau masih jam lima sore, tapi aku dan rekan kerjaku sudah sangat lapar.
"Kau di sini juga rupanya."
Tiba-tiba suara Hendrick terdengar di telingaku. Aku langsung menoleh dan membelalakan mataku.
Aku melihat ia sedang antre juga bersama teman-temannya yang tempo hari kuceritakan itu.
"Kau juga," balasku seraya menghapus keterkejutanku. "Aku duluan," tambahku.
Kuikuti teman-teman kerjaku ke meja yang mereka pilih sementara pandanganku tetap ke arah Hendrick yang ternyata masih memandangku.