Chereads / Sekretaris Pipi / Chapter 17 - Hari Yang Penuh Amarah

Chapter 17 - Hari Yang Penuh Amarah

Semangkuk bakso dan jus jeruk didiamkan begitu saja oleh vira. Janya diaduk aduk sambil melamun. Selera makan hilang setelah ia mendapatkan pesandari frans. Vira tidak sabar menunggu malam tiba. Vira penasaran apa yang Frans akan dilakukan Frans.

"Udah kamu gk usah cemas dan takut begitu, percaya sama saya. Dia gak akan macam-macam denganmu. Temui saja Frans." Tangan wanita yang sedang menikmati bakso dihadapanku menggenggamku sedikit menenangkan kecemasan fikiranku. 

"Kok ibu busa seyakin itu, kalau pak Frans tidak macam-macam sama say ?" 

"Iya, karena saya mengenal betul Frans gimana. Frans dan aku itu udah lama bersahabat, dari dia masih ditahap nol."

"Oh begitu ya bu, semoga sajalah." Jawabku lirih masih merasakan cemas.

"Senyum dong,  makan dulu baksonya. Kasihan tuh dianggurin aja."

Setelah selesai makan siang, kami kembali ke ruangan dan mengerjakan tugas kami masing-masing. Sebelum kembali ke meja, aku ingin sholat zuhur terlebih dahulu. 

Saat di mushola kantor, kembali aku berpapasan dengan Dimas. Kebetulan juga ia baru saja menunaikan sholat zuhur. "Eh vir, mau sholar zuhur ya." Tanya Dimas sambil memakai kembali sepatu kerjanya. 

"Iya pak, bapak selesai sholat juga kan?" Tanyaku sembari melepas ikatan tali sepatu.

"Iya, ini baru saja."

"Oh ya, kalau boleh nanti pulang kantor saya mau antar kamu pulang boleh ? Sekalian ketemu om Hartawan."

Aku kembali mengerutkan dahi atas tawaran Dimas. "Tidak usah pak, saya bawa motor sendiri." Tolakku secara halus.

"Oh ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu ya." Dimas pergi meninggalkan mushola dengan senyuman genit kepadaku.

"Isshh…aneh !" Kataku sinis.

Aku lalu mengambil air wudhu dan masuk ke mushola untuk melakukan ibadah. 

Frans dan vira melakukan meeting dengan klien dari Perusaan besar di hotel kota Bandung. Klien kali ini seorang dari belanda yang mempunyai sebuah proyek di Bandung. Yang akan bekerjasama dengan perusahaan kontruksi milik Frans.

Frans tidak tau jika klien nya tidak bisa berbahasa indonesia. Untung saja, ia mengajak Jesica yang merpakan keturunan belanda. Ibu Jesica asli orang Belanda. Saat ayahnya ada bisnis di negara Belanda, ayah dan ibu jesica bertemu dan akhirnya menikah. Jesica pula kelahiran negara Belanda. 

Saat usia 10 tahun, ia mulai pindah ke Jakarta hingga sekarang. Tidak heran jika Jesica menguasi bahasa Belanda. 

Tidak ada ruginya Frans membawa Jesica ke Bandung kali ini. Jesica sebagai penerjamah bahasa atau translator antar Frans dengan rekan kerjanya. 

Frans melakukan presentasi dengan beberapa penjelasan yang sangat baik. Sehingga membuat partner kerjanya itu tertarik untuk bekerja sama dengan PT Gemilang Sejahtera. Setelah beberapa menit berdiskusi akhirnya menghadilkan sebuah kesepakatan bahwa perusahaan mereka akan bekerjasama dan menandatangi kontrak untuk beberapa bulan bahkan tahun kedepan.

Frans sangat senang tandernya akhirnya goal juga. Ia bakal mendapat profit yang sangat besar. Tidak lupa ia berterimakasih pada Jesica yang telah membantunya meeting tadi. 

"Jes, terimakasih ya, kamu sudah membantu saya mendapatkan tander ini. Ini salah satu tander yang saya impikan. Akhirnya goal juga." Senyum kebahagiaan terpancar di wajah Frans.

"Iya sama-sama pak, saya juga ikut senang bisa membantu bapak."

"Oh ya tolong kirim nomor rekeningmu, akan kasih saya reward sebagai bentuk terimakasih saya."

Setelah jesica mengirim nomir rekeningnya, Frans langsung mengirimkan sejumlah uang yang lumayan besar ke rekening Vira.

"Oh ya sekarang kita packing dan langsung kembali ke Jakarta ! Ada hal penting yang harus saya selesaikan hari ini juga.Ayo cepat !."

Seru pada Jesica untuk segera packing dan cekout.

***

Hari ini kebetulan vira tidak terlalu sibuk dikantor. Sehingga ia dapat pulang lebih awal. Vira bergegas pulang untuk mempersiapkan kedatangan bosnya dirumah. Segeralah dia turun ke parkiran untung mengambil motor.

Tidak disangka vira mengalami kendala. Ban montornya bocor. Vira merasa aneh. Padahal sebelum berangkat, montor yang ia kendarai baik-baik saja selamat sampai di kantor. Vira kebingungan bagaimana dengan nasib montornya. Karena di sekitar tidak ada bengkel tambal ban.

Hingga sampai akhirnya seluruh karyawan pulang. Di tempat parkiran bertemulah dengan Dimas. "Vira,, kenapa kok belum pulang." Tanya Dimas menghampiriku.

"Ini pak, ban montor saya bocor." 

"Yaudah kamu pulang saya antar saja. Montor kamu nanti saya minta tolong teman untuk bawa ke bengkel." 

Perasaanku merasa tidak enak. Ada yang aneh dalam hal ini. Tapi entahlah yang ada difikiranku saat ini hanya, bagaimana caranya aku bisa cepat sampai rumah !.

Akhirnya dengan terpaksa aku meng iyakan tumpangan pak Dimas mengantarku pulang. "Iya pak saya mau. Tolong antar segera saya pulang ya." Aku dengan buru-buru menuju ke mobil pak Dimas. 

"Ayo pak cepat pak !" Gerutuku pada pak Dimas.

"Iya sabar dong. Kenapa sih buru-buru amat."

"Saya ada kepentingan mendadak."

Vira dan Dimas mulai perjalanan kerumah vira. Sembari menyetir, Dimas mengeluarkan ponsel untuk menelpon rekannya yang bekerja di bengkel.

"Halo bang, gw bisa minta tolong jemput montor matic warna pink di dekat pos satpam PT Gemilang Sejahtera ya !. Sepertinya ban belakang bocor. Kalau udah beres kabari saja. Thank's bang sudah merepotkan." 

"Dah kamu tenang aja, montormu aman kok. Nanti kalau sudah beres diantar keruamhmu." Dimas melempar senyum kemenangan kepadaku.

Aku harus sampai rumah duluan sebelum Frans yang datang dulu. Namun anehnya Dimas sengaja melajukan mobilnya dengan sangat perlahan, padahal ia tau jika aku segera ingin sampai rumah. "Pak tolong cepat sedikit ya. Saya harus segera sampai rumah dengan segera !" Kataku mengingatkan kembali dengan tegas.

Dia hanya membalas senyum atas peringatanku dan sepertinya masih menganggap remeh Sambil menyetel music di mobilnya. Aku semakin sebal. Amarahku serasa ingin meluap tapi aku menyadari jika disini aku hanya menumpang tidak enak jika menyuruhnya menambah kecepatan. Sudah sepertu sopir pribadi saya sendiri jika seperti itu.

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jam sudah menunjukan pukul 7 malam.

"Aduh sudah mau isya lagi, ini mobil sengaja dilambat-lambatin ! Semoga mas Frans belum sampai." gumamku dalam hati, dimana rasa amarah ingin sekali meluap.

"Eh vir, gimana kalau kita mampir ke toko buah dulu. Saya ingin membawakan buah-buahan untuk om Hartawan. Kan beliau baru keluar dari rumah sakit, harus makan buah yang banyak, supaya cepat pulih." Terangnya.

Kali ini aku udah benar-benar habis kesabaranku. Amarahku terluap seketika kepada pak Dimas.

"Udah Stop pak ! tidak perlu dan terimakasih atas tawarannya !. Saya ini sedang terburu-buru agar sampai rumah. Namun dari tadi bapak sengaja mengolor waktu saya untuk sampai ke rumah. Kalau begitu saya turun saja naik taxi." Kataku dengan nada tinggi pada Dimas. Disini bukan bermaksud ngebentak, namun meluapnya amarahku karena Dimas .

Ketika aku mau membuka pintu mobil dan mencari taxi, seketika Dimas menarik tanganku. "Vira…vira..maaf.Yasudah ayo saya antar kamu kerumah. Saya janji saya akan mengantar kamu lebih cepat pulang. Tapi tolong jangan keluar mobil. Aku tidak tega membiarkan kamu sendiri dijalanan." 

Akhirnya akupun percaya dengan Dimas dan masuk ke mobilnya lagi. Kali ini memang dia mengendalikan mobil dengan kecepatan normal tidak seperti semula yang sangat lambat.

Karena tadi dijalan waktu termakan untuk debat, akhirnya sampai dirumah agak telat. Aku telah sampai dirumah. Terlihat dari kaca dalam mobil jika ayahku sedang duduk diteras rumah seorang diri sambil menikmati secangkir teh dan beberapa lembar koran. 

"Assalamu'alikum ayah." Sapaku mencium tangan ayah.

"Selamat malam om." Sapa Dimas.

"Waalaikum'salam, loh vira kok diantar pulang Dimas, montoe kamu mana ?" Tanya ayahku celingak celinguk mencari keberadaan montorku.

"Iya yah, tadi sebelum pulang, montor vira bocor. Yaudah diantar pulang sama pak Dimas."

"Yasudah sini Dimas duduk dulu. Temani om ngopi."

Aku berharap Dimas segera pulang agar tidak berpapasan dengan Frans nanti. Eh malah si ayah menyuruh duduk 

"Nak, tolong buatkan dia kopi." Ujar ayahku 

Aku tidak pernah membangkang permintaan ayah, lalu aku membuatkan Dimas secangkir kopi hitam. Tiba-tiba Frans mengirimku pesan jika dia sebentar lagi sampai rumah. Akupun mulai gelisah bagaimana cara menyuruh Dimas pulang. Aku merasa tidak enak jika mengusirnya. 

"Hmmm, entahlah.." gumamku pasrah sembari membawa nampan yang diatasnya secangkir kopi hitam.

"Ini pak kopinya." 

"Iya terimakasih, vira kamu disini aja temani saya ngobrol dengan ayah." 

"Iya." Jawabku singkat .

Saat akan duduk di kursi teras, aku kebingungan mencari tasku dimana. "ayah, tau tas vira gak ?." Tanyaku sambil mencari cari du kolong meja atupun kursi 

"Ayah tidak tau nak, dari tadi ayah tidak melihat kamu menenteng tas."

"Atau mungkin ketinggalan di mobil saya. Biar saya ambilkan ya." Saut dimas tiba-tiba.

"Emm tidak usah pak, biar saya aja. Tolong bukakan remote kunci mobilnya saja."

Saat ingin mengambil tas, karena aku tidak berhati-hati menurun anak tangga rumahku. Akhirnya aku terpeleset dan kesandung oleh kakiku sendiri.

Aaaaa..

Dimas dengan sigap menangkap tubuhku agar tidak jatuh. "Kamu hati-hati dong !" Kata Dimas menompang tubuhku, sedangkan tanganku melingkar di leher dimas untuk berpegangan.

"Vira.."

Aku seperti mendengar ada seseorang yang memanggilku. Suara itu tidaklah asing bagiku. Saat aku menoleh ke arah asal suara itu, ternyata ada lelaki gagah, putih berpakaian casual, kacamata hitam sedang berdiri dekat gerbang rumahku.

"Pak Frans.." dengan sigap aku melepaskan tangaku Dimas, dan merapikan bajuku yang acak-acakan.

Segera aku menghampirinya, "pak Frans sudah sampai ?." Tanyaku dengan nada lirih.

Dan dimas pun ikut menghampiri Frans "selamat malam pak Frans." Sapa Dimas kepada atasannya

Frans tersenyum seperti biasa tidak ada masalah apapun. "Selamat malam." 

.

.

" Vira, bisakah malam ini kamu ikut saya sebentar saja?. Ada hal yang saya ingin bicarakan." Kata Frans dengan wajah tegang

"Kemana pak ?" Tanyaku sedikit bingung.

"Nanti kamu juga tahu."

Frans menghampiri ayahku yang masih duduk di teras. "Selamat malam om, gimana keadaanya ? Sehat bukan. ?" Frans selalu mencium tangan ayahku ketika bertemu.

Menyeruput kopi yang sedikit airnya hanya tersisa ampasnya saja. Slruupp…Aahhh..

"Sehat alhamdulillah Frans, kamu sudah pulang dari Bandung ya ?"

"Iya om. Oh ya om saya mau ijin untuk mengajak vira keluar sebentar apakah boleh ?" Tanya Frans dengan senyum dan sopan

"Memang mau diajak kemana anak om ?" Tanya Hartawan memastikan keselamatan anaknya. 

"Hanya ke cafe, sekedar makan dan ngopi malam om."  Terang Frans meyakinkan ayahku.

"Oh boleh, silahkan. Tetapi ingat jangan pulang lewat jam sepuluh malam !" 

"Baik om terimakasih." 

Mendapat izin dari ayahku, Frans begitu riang segera ia menggandeng tangangku,lalu mengajakku pergi.

Namun saat di hadapanku dan Dimas, wajah Frans berubah menjadi tegang. Seperti seseorang dirundung amarah. 

"Dimas, terimakasih sudah mengantar vira. Vira mau keluar sama saya, jadi kamu boleh pulang !." Kata Frans dengan Tegas 

Frans menarik tanganku untuk menuju ke mobilnya. "Sebentar pak, saya mau mengambil taa di mobil pak Dimas." 

Entah malam ini aku melihat Frans tidak seperti biasanya yang periang murah senyum dan halus saat berbicara denganku. Namun sekarang ia memperlihatkan muka kaku nya kepadaku. Hanya saat berbicara pada ayahku saja dia murah senyum.

Frans menggandeng tanganku dan menyuruhku segera masuk ke mobilnya. "Pak sebenarnya kita mau kemana ?" Tanyaku kembali.

"Sudah kamu diam saja ! Jangan tanya terus" 

Lagi lagi ia tidak mau menjawab. Aku semakin resah dan takut. Di dalam mobil, kami hanya berdiam saja. Tidak ada pembicaraan apapun. aku masih tidak mengerti mengapa Frans begini. 

Gemerlap lampu kuning dan putih, menyoroti jalan raya, yang semakin malam semakin macet. Pedagang kaki lima, orang nongkrong pinggir jalan beserta aktivitas orang jakarta lainnya pada malam hari menghiasi sepanjang jalan yang kami lewati. 

Kemacetan di jakarta adalah suatu permasalahan yang hingga saat ini belum bisa terpecahkan solusinya. Karena Semakin bertambahnya penduduk dari jakarta sendiri atau penduduk yang merantau. Kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi kami yang tinggal di ibu kota. Tidak heran jika setiap pagi, siang, sore serta malam orang jakarta diuji kesabarannya oleh kemacetan.

Daru awal berangkat sampai saat ini, frans hanya terdiam tidak ada ocehan seperti biasanya keluar dari mulutnya. Aku sendiri tidak berani membuka omongan saat Frans sudah seperti ini. Hal ini membuat Sasana di dalam mobil sangat hening. hanya terdengar musik yang di stel oleh sopir Frans. Ditambah kemacetan jalan, membuat perjalanan terasa lama da aku semakin jenuh.

"sebenarnya aku mau dibawa kemana sih ?" kataku dalam hati. sudah satu jam tak kunjung sampai juga.

Bersambung