Chereads / Sekretaris Pipi / Chapter 14 - Digebet Supervisor

Chapter 14 - Digebet Supervisor

Tok..tok..tok...

kreek (seseorang membuka pintu)

Terlihat seorang laki-laki masuk tidak asing bagiku. laki-laki itu mengenakan kemeja biru, bersepatu hitam formal dan berambut klimis, masuk ke kamar ayahku. Lelaki ini adalah pak Dimas salah satu spv di kantor PT Gemilang Sejahtera tempatku magang. aku dan Pak Dimas sudah sempat bertemu. kala itu kami bertabrakan di dekat toilet, saat aku terburu-buru akan ke toilet. lalu aku pertemuanku kedua dengan pak Dimas saat aku di lobi menunggu Frans mengantar pulang.

"Loh pak Dimas,kok bapak kesini gak kasih kabar saya dulu?" Aku kaget melihat pak Dimas ada di depan mataku saat ini.

"Iya vir, saya mau menjenguk ayah kamu. Setelah mendapat kabar dari ine sekertaris pak Frans. ternyata kamu tidak masuk magang. Karena sedang merawat ayahmu yang sedang sakit. bolehkah saya menjenguk ayah?."

"Oh begitu, silahkan pak." Aku mempersilahkan lelaki berbadan sedikit gemuk itu untuk bertemu dengan ayah.

Seperti biasa aku selalu duduk di sofa kamar, jika sedang menunggu ayah. Aku heran melihat ayahku ngobrol dengan pak Dimas begitu akrab walaupun baru pertama kali mereka kenal dan bertemu. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak mendengarkannya. Karena aku sibuk main ponselku. Sepertinya ayahku tertawa riang ngobrol dengan pak Dimas. 

"Kok gak ada balesan dari mas Frans juga ya." Lirihku menghela nafas.

Tiba-tiba pak Dimas menghampiriku yang sedang duduk di sofa. "vira, kamu kenapa kok terlihat lungset gitu wajahnya?" Tanyanya kepadaku.

"Ah tidak pak, tidak ada apa-apa kok." 

"Kamu sudah makan siang?"

"Belum pak." jawabku singkat.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan dikantin. pasti kamu capek seharian nungguin ayahmu. Makan dulu ya." Dimas mulai memberi perhatian padaku.

"Terimakasih pak, atas tawarannya, tapi saya harus nunggu dokter sekitar 2jam lagi datang untuk memeriksa ayah. Karena hari ini ayah sudah boleh pulang."  Aku masih menjawab dengan sikap dingin karena aku merasa Dimas ini sok perhatian denganku.

"Oh syukurlah jika ayahmu boleh pulang. Yasudah nanti saja setelah pulang dari sini kita mampir untuk makan dulu ya." Tawarnya lagi kepadaku.

"Tapi pak…"

Belum selesai aku menjawab, ucapaanku dipotong oleh ayah yang tiba-tiba meng iyakan ajakan Dimas.

Aku mengerutkan alisku menjawab dengan nada sedikit ditekan "apa.an sih ayah, nanti kita bisa makan dirumah saja. vira yang masakin."

"Vira sayang,  rejeki tidak boleh di tolak nak, apalagi niat nak dimas ini baik." Mendengar jawaban ayahku seperti itu aku tidak bisa berkutip. Memang aku hanya menurut apa kata orang tua. Jika hal itu masih baik aku akan menurutinya.

"Yasudah pak, iya." jawabku lirih ajakan lelaki yang duduk disampingku ini.

"Aduh, jangan panggil pak dong, ini kan bukan kantor. Panggil saja Dimas." 

Aku menggaruk telinga, Entah kenapa aku tidak nyaman memanggilnya nama. Karena aku merasa beliau lebih tua dariku. Apalah aku hanya mahasiswa magang di kantor ia bekerja. Dan aku menganggapnya sebagai seniorku. Mau tidak mau aku harus menghormatinya. 

Kring..kring…kring

Sesaat ada telepon masuk dari mas Frans. Segera saja aku mengangkat nya. "assalamu'alaikum mas." Dengan sumringah terlihat diraut wajahku mendapatkan telepon dari mas Frans.

"Wa'alaikumsalam vira. Saya sudah membaca pesan yang kamu kirim. Saya ikut senang om hartawan bisa pulang hari ini." Jawab frans dari sebrang sana.

"Iya mas, ini juga berkat bantuan mas. Kalau pada malam itu mas Frans tidak ada. Aduh saya tidak tau lagi gimana nasib ayah saya sekarang." Terangku berkali-kali berterimakasih kepada Frans.

"Bolehkah saya berbicara dengan om Hartawan?" Pinta Frans 

Aku langsung memberikan ponselku kepada ayah. "Ayah ini mas Frans mau biacara." Ayahku dan Frans mereka memang sudah akrab sekali. hampir satu jam mereka ngobrol.

Dimas yang melihat perubahan raut wajah di vira. Awalnya ia terlihat murung, tetapi setelah mendapat telepon dari Frans raut wajahnya berubah seketika menjadi ceria. "Di telepon Frans aja seneng banget !" gumam dimas ngedumal dalam hatinya. Sepertinya Dimas tidak senang melihat keakraban Bosnya dengan Vira.

Setelah dua jam berlalu, akhirnya dokter dan perawat yang ku tunggu-tunggu datang juga. "Selamat sore, pak permisi saya mau cek keadaan bapak sebelum pulang ya." Kata dokter Hendrawan kepada ayahku.

" Baik dok. silahkan." Jawab ayah.

Dokter dan perawat memeriksa kondisi ayah sebelum diizinkan untuk pulang. Mulai dari tensi, tekanan darah, diperiksa detak jantung, infus, dll. Ternyata hasilnya sudah bagus dan stabil. Namun meskipun begitu, ayah harus tetap istirahat dan tidak boleh kecapekan serta harus berhenti untuk merokok. Itulah pesan dokter kepada ayahku sebelum diizinkan pulang. 

"Mohon diselesaikan administrasinya dulu, dan pengambilan obatnya di apotek ya." Jelas perawat itu, sambil melepas infus ditangan ayah.

"Baik, terimakasih suster. 

Aku segera mengurus semua administrasi kepulangan ayah dan mengambil obatnya, maka dari itu, aku menitipkan ayahku kepada pak Dimas sebentar saat ku tinggal ke  ruang administrasi. "Pak dimas, saya nitip ayah sebentar ya, saya mau ke ruang administrasi dan apotek." 

Akupun bergegas mengambil tas dan keluar kamar untuk mengurus kepulangan ayah. Sedangkan Dimas bersama ayah di dalam kamar. Di dalam kamar, Dimas membantu membereskan barang-barang untuk dibawa pulang tanpa ada yang meminta. "Nak dimas, tidak usah dibereskan biarkan nanti vira saja." Seru pak Hartawan kepada Dimas yang sedang packing barang dan membereskan kamar ayahku.

"Om, ngomong-ngomong vira itu udah punya calon belum." Celetuk Dimas mengagetkan ayahku.

"Haha, memangnya kenapa ?. Kalau setahu om vira belum ada cerita soal cowok selama ini." Terang ayahku sambil memakan buah jeruk kesukaannya.

" Serius om ? Vira kan cantik, baik juga, tidak mungkin dong kalau tidak ada cowok yang mendekatinya." 

"Om sendiri kurang tau ya. vira itu anaknya tertutup masalah hatu. dan Om tidak mau ikut campur masalah hatinya vira." Jelas ayahku.

"Kalau begitu, apakah boleh saya mendekati putri om ?" Tanpa basa basi Dimas melontarkan pertanyaan tersebut. 

Belum sempat sang ayah menjawab pertanyaan Dimas, sang ayah dikagetkan oleh vira membuka pintu kamar.

Kreeek… "Hayo ngomongin aku ya." Dengan percaya dirinya aku masuk mengagetkan ayahku dan Dimas yang sedang asik ngobrol.

ketika aku kembali ke kamar, aku kaget melihat barang-barang yang sudah rapih dan kamar yang sudah bersih. Padahal aku merasa sama sekali belum membereskan.

"Loh Ayah, siapa yang membereskan ini semua ?" Tanyaku heran melihat sekeliling kamar sudah sangat rapih.

"Tuh.."mata ayahku mengarah ke Dimas yang sedang duduk di Sofa.

"Loh, pak Dimas yang beresin ini semua ?.Aduh jadi ngerepotin kan. " aku merasa tidak enak dengan Dimas. Padahal ini adalah tugasku.

"Udah gapapa, aku juga pengen bantuin kamu. Kasihan kamu pasti capek wira-wiri mengurus ini itu kebutuhan om Hartawan."

"Ini kan sudah kewajibanku sebagai anaknya." Jawabku ngeyel.

"Sudah beres semua kan administrasi dan obatnya ? ayo sekarang kita pulang, biar saya yang mengantar." Pak Dimas menawarkan tumpangan mobilnya.

Kami bergegas meninggalkan kamar anggrek 1 yang selama beberapa hari menjadi kamar inap ayahku selama dirawat disini. Dimas membantu membawakan barang-barang dan aku menuntun ayah jalan.

"Dimas, kok malah disini, memang gak kembali ke kantor ?. Bukannya tadi kesini pas makan siang dan harus balik ke kantor lagi ya ?" Tanya ayahku.

"Kerjaan sudah beres semua om." Terangnya dengan wajah tanpa ada beban pekerjaan.

Tapi setahuku ini sudah akhir tahun, dimana seluruh karyawan sibuk dengan kerjaan mereka masing - masing. Eh ini malah keluar kantor.

Aku merasakan perasaan tidak enak kepada Dimas. Ia meninggalakan kantor dari jam istirahat makan siang hingga sore. Apalagi posisi beliau adalah supervisor, tanggung jawabnya juga besar. Aku merasa tidak enak, hanya karena membantuku ia harus meninggalkan pekerjaannya.

Sesampai di parkiran mobil, dimas membukakan pintu untuk ayahaku dan aku. Serta memasukan barang-barang ke bagasi mobil. Melihat perlakuan seperti ini, entah apa maksud dia, benar-benar tulus atau ada maunya, aku menilai jika ia lelaki yang baik. Tapi entahlah penilaianku benar atau salah.

Kami meninggalkan rumah sakit pelita kasih tepat pukul 5 sore. "Mau makan di mana kita vir?" Tanya dimas sambil mengendalikan setir mobil hitam yang kami tumpangi.

"Saya ngikut bapak saja mau makan dimana. kan yang ngajak kita bapas." 

"Ok, kalau begitu ada tempat yang recomend pasti kamu suka. Btw Kok panggil bapak lagi sih. Kan saya sudah bilang, panggil saja Dimas !" Protesnya.

"Baik, Dimas." jawabku ketus

Entah kenapa, Ayah yang duduk disampingku mendengar percakapanku dengan Dimas hanya menggelengkan kepala dan senyum-senyum tipis.  

Sampailah kami di salah satu restaurant, terpampang tulisan kampung palm di plang depan restaurant. Dimas mencari parkiran serta membukakan pintu mobil untukku dan ayah. Kami masuk ke restaurant yang terlihat sederhana  dan mencari tempat kosong. Kesan awal aku masuk ke restaurant ini aku menilai restaurant ini berbeda dari restauran yang aku pernah datangi di Jakarta. 

Restaurant kampung palm bernuansa pedesaan meskipun letaknya ditengah-tengah kota. Pada pintu awal masuk, pengunjung di sambut oleh pelayan yang mengenakan pakaian seperti orang pedesaan yang akan pergu ke sawah mengenakan topi caping, membawa cangkul serta peralatan lainnya. Disampingnya terdapat orang-orangan sawah yang di atas tangannya terdapat burung-burungan. 

"Selamat datang."sambut ramah pelayan restaurant.

Ketika aku masuk, mataku di suguhkan oleh lukisan dinding pedesaan, seperti sawah, orang-orang yang sedang disawah, gunung serta lukisan pedesaan lainnya. Kami berjalan hingga belakang restauran hingga akhirnya menemukan gazebo yang terbuat dari bambu kokoh. "Sepertinya enak kalau kita makan lesehan disini." Kata Dimas kepadaku dan ayah.

Restaurant ini semakin terasa nyaman dan sejuk karena tempat makan kami berdekatan dengan sawah. Selain udaranya yang sepoy-sepoy alami, mataku juga di manjakan dengan pemandangan sawah dan matahari yang akan tenggelam. Disini terasa relax dan fikiran tenang.

"Mbak…" Dimas melambaikan tangan kearah pramisaji memanggilnya untuk melayani pesanan makan kami.

"Ya kak, ini buku menunya, mau pesan apa ?" Pelayan itu menyodorkan buku menu kepadaku dan Dimas.

Kampung palm terkenal akan makanan lautnya seperti ikan, kepiting, cumi, dll. Kita bisa menangkap ikan segar langsung sebelum dimasak. Besar atau kecilnya bisa kita sesuaikan sendiri. Hasil tangkapan nanti bisa di goreng, bakar atau dimasak apapun sesuai request pembeli. Selain itu ada makanan pedesaan seperti nasi tiwul, nasi jagung dan umbi-umbian.

Aku memesan bebek penyet, awalnya aku ingin makan kepiting. Namun aku malas jika harus memilih kepitingnya. Sedangkan ayah, memesan nasi timbel. karena ayah rindu dengan makanan khas dari kota kelahirannya yaitu salah satu desa di Jawa Barat. Dan untuk Dimas beliau memesan chines food.

"Udah pesan itu saja ya mbk. Nanti kalau ada tambahan menyusul saja." Kata dimas selesai memilih makanan. menyodirkan hasil makanan dan minusman yang sudah kami list.

"Baik kak, ditunggu orderannya ya." Kata pramusaji itu meninggalkan tempat kami.

*Besambung*