Chereads / Pasangan Beda Usia / Chapter 39 - Bab 37

Chapter 39 - Bab 37

Tanpa memedulikan perkataan Marlon, dengan penuh keibuan Belle membangunkan William, lalu memeluknya erat. Marlon terus berkata dengan berbagai pembelaan yang tidak masuk akal, sedangkan Belle berusaha menenangkan William yang tampak terkejut. Hanya lewat tatapan anak berusia lima tahun itu sudah mengerti, jika terjadi masalah dan sang ibu hendak membawanya pergi.

Belle sangat bersyukur William menurut, dan bersedia ikut dengannya. Tidak membuang waktu lagi Belle pun menggandengnya, kerap kali menepis tangan Marlon yang ingin menjangkau dirinya serta anaknya William.

"Jangan sentuh aku dan anakku!" Belle berteriak, menyembunyikan Willi di balik punggungnya.

"Bell, kumohon, dengarkan aku."

"Aku sudah muak dengan seluruh sandiwaramu, kau tidak lebih seperti bajingan yang berhati monster."

"Silakan kau mencaci, atau bahkan menghinaku sepuasnya." Marlon bersikukuh menghentikan Belle, kedua tangannya kali ini memegang pundak gadis itu, "Tapi aku mohon, jangan pergi lagi."

"Kau memang jauh lebih tua dariku, Paman, tapi asal kau tahu aku ini bukan gadis muda yang bodoh. Kau bisa saja mengakali anak kita William, tapi kau tidak akan bisa seperti itu denganku." Belle membantah, air mata yang sejak tadi ditahannya keluar kembali.

"Bell, percaya padaku aku dijebak."

"AKU TIDAK PERCAYA." Menggeleng keras, akhirnya Belle berhasil menyingkirkan kedua tangan Marlon.

Berbalik cepat, dengan perasaan tidak keruan Belle memeluk William yang tengah menangis. Tidak seharusnya anak sekecil William melihat pertengkaran ini, tetapi Marlon sudah kelewatan sehingga Belle tidak bisa diam saja. Perasaannya selalu dipermainkan oleh Marlon, dan Belle harus bertindak demi mempertahankan harga diri.

Menggenggam erat tangan William, seakan tuli Belle mengabaikan panggilan Marlon yang terdengar menyedihkan. Langkah Belle semakin besar saat melewati pintu keluar, tetapi bukan Marlon namanya jika kalah dalam bertindak. Dengan sekali tarikan Belle sudah dalam berada pelukannya Marlon, mendekapnya sangat kencang dan penuh.

"William, masuk ke dalam kamarmu," pinta Marlon kepada anaknya, William pun mengangguk.

Mendengar itu kedua bola mata Belle melotot, jelas tidak terima, dan berkata. "Apa-apaan kau!"

"Ikutlah denganku dan aku akan menjelaskan semuanya," ujar Marlon dengan lembut, mengabaikan seluruh pemberontakan Belle.

"Brengsek! Lepaskan aku, lepaskan aku, kau tidak bisa bersikap sesukamu setelah apa yang kau lakukan padaku."

Marlon mengangkat Belle dengan mudah, membawanya ke dalam kamar mereka dan menguncinya cepat. Sebenarnya, Marlon tidak ingin bersikap kasar apalagi sampai mengunci Belle seperti ini, namun dia tidak mempunyai pilihan selain menahan paksa.

Kini, Belle sudah menangis keras, berusaha menghindari Marlon sejauh yang dia bisa. Tubuhnya bergetar hebat di sela isakan yang tidak biasa, karena rasa sakit yang Marlon torehkan saat ini memperdalam kekecewaan Belle. Hidupnya benar-benar seperti sebuah permainan yang berada di genggamannya.

"Seharusnya, kau mengerti Bell, apa yang aku rasakan selama ini." Marlon mulai bersuara, saat tangisan Belle sedikit mereda.

"Aku selalu mengerti dan selalu mengikuti apapun yang kau inginkan," balas Belle.

Marlon melayangkan tangannya ke udara, menyunggingkan senyuman yang sinis. "Tidak, kau tidak pernah mengerti."

Sontak Belle terdiam, dadanya bergejolak.

"Kau terlalu polos dan kekanakan, tapi aku tidak bisa memaksakan diri sendiri terhadap dirimu yang terlalu mudah untuk kuraih."

"Apa maksudmu?"

"Aku seorang laki-laki normal, kebutuhanku akan seksual sangat tinggi, apalagi jika ada wanita yang tidur di sebelahku. Seharusnya aku tidak perlu memintanya padamu setiap kali ingin menyalurkannya, tapi kau tidak pernah sedikit pun sadar akan butuhnya aku terhadap dirimu. Semenjak awal menikah kau selalu saja menolak sesukamu, bahkan aku sering menahannya sampai merasakan sakit yang tidak pernah aku rasakan sebelum menikah. Karena aku bebas memilih wanita mana saja yang ingin aku tiduri. Tapi, sejak aku bersamamu tentu saja kehadiranmu sangat kuhargai, sampai aku rela berkorban."

"Kenapa kau baru mengatakannya?"

"Karena aku ingin kau mengerti, Bell."

"Persetan, dengan segala pembelaanmu itu, Paman." Bola mata Belle memanas, air matanya yang tidak pernah kering pun luruh. "Tidak ada alasan lagi untuk kita pisah."

Marlon tertawa hambar, ditatapnya Belle dengan angkuh. "Kau tidak akan bisa pergi, selama aku masih menginginkanmu."

"Egois sekali dirimu!" Suara Belle tertahan, tangisnya pecah dan tidak terkontrol.

Berbalik arah, tanpa hati Marlon pergi begitu saja meninggalkan Belle yang menangis hebat. Keegoisannya beberapa tahun silam bangkit kembali, Marlon pun tidak percaya dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Marlon akui Belle adalah cinta pertamanya, bahkan hingga detik ini perasaan itu tetap sama dan rasa cintanya semakin besar.

Mengunci pintu kamar dari luar, Marlon tidak ingin Belle sampai kabur seperti yang dulu. Dunianya akan berantakan jika tanpa Belle, karena hanya gadis itu satu-satunya yang dapat membuat Marlon jatuh cinta dan tersenyum bahagia.

[Paman, aku ingin bicara denganmu.]

Rose? Dahi Marlon mengernyit saat membaca pesan yang baru masuk, dan itu dari Rose Miller. Keponakannya memang bersahabat dengan Belle, tetapi tidak mungkin masalah ini sudah dia ceritakan. Tanpa berpikir panjang Marlon bersedia, langsung ke lokasi yang Rose kirimkan.

Di taman kampus Marlon duduk menunggu Rose yang sedang ujian. Marlon mencoba untuk tidak berprasangka, karena banyak kemungkinan Rose ingin bertemu dengan pamannya. Dari ujung koridor Rose berjalan menuju arahnya, menatapnya sangat tajam.

"Kenapa kau menatap Pamanmu seperti itu?"

"Seharusnya aku yang bertanya padamu, kenapa kau mengkhianati Belle, Paman?"

Telak, Marlon tidak membalas lagi.

"Kenapa kau berselingkuh dengan Victoria? Padahal kau tahu wanita itu sangat licik dan akan membahayakan perusahaan."

Rahang Marlon menegang, menahan emosi yang sudah di ujung tanduk. Rose Miller yang selalu bersikap manis dan manja padanya, kini sudah berani berkata kasar bahkan membentaknya. Jelas, Marlon geram.

"Apa yang ada di otakmu, Paman? Apakah ada yang kurang dari Belle, sehingga kau buat dirinya menderita? Hah?!"

Membuang muka, Marlon mendecih kesal. "Jika aku tahu kau menemuiku hanya untuk marah-marah, tentu aku tidak akan datang."

Rose mendelik, tidak percaya dengan jawaban Marlon yang sangat bertolak belakang dengan dirinya. Apa Victoria sudah mencuci otaknya? Paman Marlon yang penyayang dan selalu bersikap lemah lembut, kini malah sebaliknya bahkan lebih parah dari itu.

Marlon beranjak pergi begitu saja, meninggalkan Rose yang terdiam seperti patung. Sungguh! Kelakuannya Paman Marlon sangat aneh, apalagi ini adalah kali pertama Rose berselisih dengannya.

"Liam, aku perlu berbicara denganmu." Rose berkata saat teleponnya diangkat oleh Liam.

"Ada yang ingin aku ceritakan," katanya lagi.

Sambil berjalan Rose terus berbicara, kendati pikirannya sekarang tidak hanya tertuju pada tugas-tugas kuliah, tetapi juga kepada Belle. Sebagai seorang sahabat Rose tentu paham bagaimana keadaannya, pasti gadis itu sangat menderita atau bahkan lebih buruk.

Masa depannya sudah Belle korbankan untuk menikah, sekarang rumah tangganya sedang diterpa badai, dan Rose tidak ingin itu terjadi. Sahabatnya harus bahagia dengan Paman Marlon, jadi apapun masalahnya Rose akan menjadi orang terdepan yang membela.