Seperti pagi biasanya Belle bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan, meski hari ini William tidak pergi sekolah tentu tidak mengubah apapun. Tugas seorang ibu akan tetap ada, memenuhi kebutuhan anaknya dan membersamainya dalam setiap waktu. Urusan hati dan pikiran yang kacau Belle enyahkan jika sedang berhadapan dengan William. Bagaimanapun caranya Belle ingin selalu terlihat ceria di depan sang anak, tersenyum dan tertawa gembira.
"Pagi, Sayang." Mengecup kening sang anak, sambil lalu Belle merapikan selimut yang bergelung.
"Mom, apa hari sudah siang?" tanyanya dengan sebelah mata mengintip, Belle pun mengangguk.
Sontak William bangkit, dan melotot.
"Kenapa kau tidak membangunkanku, Mom? Ada upacara bendera hari ini, dan aku harus datang lebih awal."
"Untuk sementara waktu William temani Mom di sini ya, dan libur sekolah." Dengan lembut Belle berkata, menatapnya sangat hangat. "Kau tidak keberatan kan?"
"Tentu saja tidak, Mom." William memamerkan gigi putihnya yang rapi, lalu tertawa.
Ah, sayang ...
Sesederhana itu saja sudah membuat hati Belle bahagia, William adalah cinta abadinya.
Sementara menunggu William mandi, Belle bergegas menata makanan serta minuman kesukaannya, stick daging dan susu cokelat. Semuanya Belle masak dengan rasa cinta, dan kesungguhan yang ada. Kebahagiaan William menjadi nomor satu di dalam hidup Belle, sehingga tujuannya sekarang bukan lagi mencari pasangan.
Memiliki William baginya sudah cukup, dan hanya menjadi ibu yang baik cita-citanya.
"Astaga! Rasanya enak sekali, Mom." Dari meja seberang William berkomentar, melahap hidangan stick yang menggiurkan.
Belle tersenyum mendengarnya, bangga.
"Rasa bumbunya meresap sampai ke dalam daging, manis, pedas, dan sangat empuk." Anak kecil itu terus berbicara, padahal Belle tidak menyahut apapun.
"Daddy pasti juga akan menyukainya, Mom." Tanpa beban William berkata, mulutnya terus mengunyah satu per satu potongan stick.
Mendengar itu hati Belle terentak, kembali teringat kejadian kemarin yang menyita segalanya. Wajah Marlon terpatri jelas di dalam pikirannya, membuat perasaan Belle yang hancur semakin hancur. Sekelebat memori berputar cepat, senyumannya, lalu gelak tawanya seakan-akan terngiang-ngiang di ingatan.
Belle sudah mencoba tegar, tetapi perasaan kecilnya terlalu sulit menutup rasa sakitnya sehingga air mata yang ditahannya sejak tadi mengalir bebas. Jantung Belle seperti ditekan dan dadanya seakan diremas, dengan air mata yang melebur menjadi isak tangis.
"Mom, maaf." William berkata getir, tidak tega melihat ibunya menangis tersedu-sedu.
Tanpa banyak bicara Belle mendekap sang anak, memeluknya dengan erat. Tangisnya hari ini Belle percaya akan membawanya pada kebahagiaan yang hakiki. Hidup yang Belle impikan sejak kecil pasti menemukan titik terangnya, dia dan anak-anaknya akan berbahagia sekalipun tanpa paman Marlon.
"Maafin William, Mom," katanya lagi di sela isakan. Ternyata William juga ikut menangis.
"Ssh, sudah, tidak boleh menangis."
"Tapi Mommy menangis." Isaknya kencang.
"Tidak lagi, Mom janji ini adalah tangis yang terakhir." Dengan penuh keyakinan Belle berkata, lalu mengecup kedua pipi anaknya.
Lagi, Belle membawa anaknya ke dalam pelukan yang erat. Rasanya Belle tidak akan sanggup jika harus kehilangan William. Hatinya kuat karena kehadiran anaknya, dan suatu saat William pasti akan mengerti.
Di balik lemari hiasan Liam berdiri, matanya mengarah pada Belle dan anaknya yang sedang berpelukan. Liam tersenyum dalam diam, perasaannya sedikit lega melihat Belle yang bertambah kuat. Mungkin untuk saat ini Liam harus bersabar, menunggu waktunya tiba untuk mendapatkan balasan cinta yang dipedamnya sejak pertama kali bertemu.
"William juga harus janji pada, Mom."
"Janji?" tanyanya bingung.
"Ya, berjanji akan selalu bersama Mom dan mencintai Mommy sampai kapan pun."
"Janji." Mengarahkan kelingkingnya pada Belle, dengan wajah berseri-seri William tersenyum.
Merasa jika sudah saatnya memunculkan diri Liam pun keluar menghampiri keduanya, dengan langkah bersemangat lelaki itu mendekati William yang tengah tertawa. Dari tempatnya Belle sudah melihat kedatangan dokter Liam yang diam-diam mengangkat William tinggi, dan menggendongnya.
"Ayaaah." Si kecil William terpekik.
"Hayoo, apa kau melakukan kesalahan?"
"Tidak." William berkata keras.
"Ayah tidak percaya."
"Tanyakan saja pada, Mom, jika aku tidak berbuat apapun dan kami berdua telah membuat perjanjian."
Liam melirik Belle yang tengah terkekeh, lalu berkata pada William. "Oh, ya, bisakah kita membuat perjanjian juga?"
Dengan cepat William mengangguk, tatapannya yang polos membuat Liam gemas.
"Berjanjilah pada Ayah jika kau tidak akan membuat Mommy menangis."
"Ya, aku berjanji," jawab si kecil William sambil menatap Belle penuh cinta.
Di lain tempat Marlon tampak frustrasi di meja kerjanya, berkas-berkas sudah menumpuk, tetapi satu pun belum ada yang dia tandatangani. Kepalanya sakit, Marlon sangat kehilangan semangat hidupnya yang pergi entah ke mana. Berulang kali Marlon menghubungi dokter Liam dan Rose, tetapi keduanya enggan menjawab.
Meremas rambutnya yang panjang Marlon merasa sebagian jati dirinya hancur, ketika ada Belle yang selalu berada di sisinya kini gadis itu hilang. Gelak tawa William pun juga Marlon rindukan. Dua hari ini harinya suram, bahkan makan saja Marlon tidak. Pikirannya kacau, sangat, sangat, sangat berantakan.
"Hei, Tuan, bagaimana kabarmu?" Suara halus Victoria menerpa wajah Marlon, dengan cepat lelaki itu membuang muka.
"Hmm, apa kau mau kubuatkan sesuatu?" tanyanya lagi saat melihat senampan makanan yang tidak tersentuh.
Victoria tahu semenjak Belle pergi dari rumah, sarapan berikut makan siang Marlon disediakan oleh pelayan kantor.
"Kau harus tahu jika aku juga pintar memasak." Victoria mengedipkan bulu mata palsunya yang lentik, lalu berkata lagi. "Akan kupastikan masakanku jauh lebih enak dari Belle."
Sontak Marlon menoleh, menatap Victoria dengan geram saat wanita itu menyebut nama Belle.
"Maaf," katanya, kemudian menutup mulut.
Masih tidak menyahut Marlon meraih gelas kopinya, dan menyesapnya lambat. Pahit sekali, sama seperti nasib cintanya kepada Belle yang belum jelas berakhir atau tidak? Jika mengikuti keinginannya Marlon tentu akan mempertahankan Belle, walau itu sulit dia tidak peduli.
"Apa aku perlu bertelanjang di depanmu, Tuan? Biar semangatmu kembali bangkit."
"Lakukan." Marlon melipat yang di dada.
Terus terang Victoria melongo, terlalu kaget mendengar jawaban Marlon. Niatnya hanya bercanda, tetapi sepertinya Victoria memang harus bertelanjang. Permintaan Marlon tentu sangat menyenangkan baginya, apalagi ini di kantor sehingga Victoria dapat mengakses lebih banya video yang sengaja direkamnya.
Perlahan, Victoria membuka blazer hitam yang digunakannya, lalu membuka satu per satu kancing kemejanya hingga tampak pakaian dalam merah jambu miliknya. Tanpa berkata apapun Marlon hanya menatapnya, memperhatikan wanita murahan itu yang terus datang menggoda. Hingga dorongan pintu sukses mengagetkan Marlon dan Victoria.
"Oh, bagus, jadi begini kelakuan Paman saat di kantor?" Rose memergokinya, bahkan Victoria nyaris menurunkan rok pendeknya.
"Astaga! Rose, ini tidak seperti yang kau lihat."
"Kau tahu Paman, aku semakin malu melihat kelakuanmu yang kotor."
"Rose, dengarkan aku dulu, kenapa kau tidak memberitahuku jika mau datang."
"Itu tidak penting, yang jelas aku sangat kecewa padamu." Napas Rose memburu kencang, menahan gejolak panas di dada. "Tadinya aku ingin memberitahu di mana keberadaan Belle, tapi setelah melihat ini semua jelas aku mengurungkannya."
Dengan cepat Rose balik arah meninggalkan ruangan Marlon, dan mengabaikan panggilan pamannya itu. Demi apapun Rose bersumpah akan membenci paman Marlon.