Dengan mata yang sembap akhirnya Belle bangun, semalaman ia sudah terjaga, dan kini jam telah menunjukkan pukul 10 siang. Hal yang pertama kali Belle pikirkan adalah William karena anaknya harus pergi sekolah. Tanpa membasuh wajah terlebih dulu Belle langsung beranjak menuju kamar sang anak, ternyata Marlon sudah membuka kuncinya sehingga ia tidak perlu repot berteriak.
Perlahan, Belle membuka pintu kamarnya William, lalu memanggilnya lantang. "Williaaam."
Hening. Tidak ada jawaban.
Apalagi ketika Belle tidak melihat William di tempat tidurnya, gadis itu langsung panik. Berlari mengitari ruangan kamar berukuran sedang itu, dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan Belle menangis dan berteriak. Wajahnya merah padam, sambil memegangi kepalanya tubuh mungil Belle pun tumbang.
"Aaaaah." Dengan frustrasi Belle menjerit, membayangkan segala sesuatu yang buruk.
Dari arah luar suara sepatu terdengar berlari cepat, Marlon terkejut melihat Belle yang kini tengah memukuli kepalanya membabi buta. Tanpa berkata apapun Marlon menghentikan aksi brutal istrinya itu, lalu memeluknya erat.
Bukannya diam sikap anarkis Belle semakin menjadi, di dalam pelukan Marlon dirinya mengerahkan seluruh tenaga memberontak. Kejadian dan peristiwa yang menyakiti hati Belle seakan-akan terulang kembali, yang seperti memboikot untuk terus mengingat.
"Heiii, Sayang, tenanglah." Semampunya Marlon bersikap manis, dan membujuk Belle.
"Brengsek, kau bajingan, lepaskan aku!"
"Bell, kumohon tenangkan dirimu," pintanya.
"AKU MAU KITA PISAH." Belle pun berteriak.
Marlon semakin mengencangkan pelukannya, sampai tubuh Belle yang mungil tidak dapat bergerak. Tidak diam saja kini Marlon mengecup puncak kepala Belle berkali-kali, seakan sayang untuk melewatkannya. Dada Belle bergejolak marah, bahkan amarahnya naik berkali lipat.
Sikapnya Marlon sangat membuat Belle jijik dan rasanya ingin muntah. Tidakkah lelaki tua itu malu? Sudah tidur dengan wanita lain di saat istrinya tengah mengandung.
"Lepaskan aku!"
"Tidak, kau akan tetap bersamaku, dan aku mencintaimu."
"Cinta? Omong kosong."
Air mata Belle mengalir deras, pernyataan Marlon sangat tidak sebanding dengan apa yang telah dia lakukan terhadapnya. Jelas Belle tidak terima dan menolak keras cinta yang Marlon katakan, kini semuanya sudah berbeda karena pengkhianatan.
Bahkan, mulai detik ini Belle berjanji pada dirinya sendiri akan menghapus seluruh rasa yang ada terhadap Marlon. Hatinya benar-benar sudah lelah dipermainkan oleh lelaki itu, yang Belle inginkan hanya berpisah.
"Aku melakukan padanya tanpa perasaan, yang aku cinta hanya kau Bell," bisik Marlon.
Jantung Belle seakan berhenti detak saat Marlon mencium bibirnya, bukan manis yang ia rasa, melainkan sakit yang mencabik-cabik hatinya. Untuk apa sebuah pernikahan jika berkhianat? Cinta itu mengasihi dan tanpa menyakiti, apalagi mempermainkan wanita.
"Anggap tidak ada masalah apapun, ini demi William, hidupnya akan hancur jika melihat orangtuanya berpisah." Marlon berkata pelan.
Teriakan dan bentakan Belle sama sekali tidak menyinggung perasaannya, karena Marlon tahu jika dirinya yang salah. Jadi, semaksimal mungkin Marlon terus bersikap lembut pada Belle, dan berusaha membuat tenang istrinya itu.
"Kau tahu, Bell?"
"Apa?" tanyanya di sela isakan.
"Jika aku tidak mencintaimu, tentu saja aku sudah melepaskan dirimu, dan membiarkan kau pergi tanpa mengharapkan pertemuan kita lagi." Menerawang jauh Marlon mengingat peristiwa beberapa tahun silam.
Mendengar itu Belle hanya menghela napas panjang, lalu mengusut dadanya yang sesak.
"Kau tentu tahu aku bisa mendapatkan apapun yang kuinginkan, termasuk wanita, dan jika aku tidak mencintaimu seharusnya kau tidak ada lagi di hadapanku sekarang."
Membuang muka, kedua pundak Belle pun bergetar kencang saat menahan isakannya, dan berkata, "Tapi kau tentu sadar apa yang telah terjadi padaku saat ini, sudah dua kali kau mengkhianatiku, dan aku sangat hancur."
Kali ini Marlon yang menarik napas panjang, lalu membingkai wajah Belle yang manis. "Aku minta maaf untuk semuanya, aku tidak ingin kau pergi dari hidupku, Bell."
"Tidak ada kesempatan lagi, aku tetap ingin kita pisah." Gadis itu bersikukuh.
Ting! Tong!
Sontak Marlon menarik diri, melepaskan Belle yang sejak tadi ditahannya. Melangkah menuju jendela kamar kening Marlon mengernyit saat melihat mobil Liam yang terparkir di halaman.
"Kau memberitahunya?" tuduh Marlon pada Belle yang masih berdiri di tempatnya, lalu menjelaskan. "Liam ada di depan."
"Tidak." Belle menjawab tegas.
"Mau apa dia ke rumahku?" Marlon tampak tidak senang, Belle hanya mengendik acuh.
Marlon bergegas meninggalkan kamar, tetapi dia menoleh saat sudah di ambang pintu, dan berkata. "Kau tetap di kamar, biar aku saja yang menemuinya."
"Oke, di mana anakku?" tanya Belle lantang.
"Aku sudah mengantarnya ke sekolah."
"William ikut denganku, apapun alasannya kau mempertahankan hubungan ini, aku tetap ingin pisah." Belle berkata sangat tegas.
Tidak lagi menyahut Marlon berlalu pergi, perasaan dan pikirannya sudah tidak keruan. Kedatangan Liam benar-benar membuat Marlon bingung sekaligus marah. Urusan rumah tangganya adalah hal yang privacy, tetapi kenapa lelaki itu datang ikut campur. Jika Belle tidak mengadu dengannya, jelas Rose yang memberitahunya masalah ini.
"Ada apa kau ke rumahku?" Marlon langsung menudingnya, menatap Liam yang sudah duduk di ruang tamu.
"Aku ingin membawa Belle pergi."
"Kau ..." Marlon menggantung ucapannya.
"Semuanya sudah jelas jika kau telah menyia-nyiakan dirinya."
"Pergi dari rumahku, dan jangan ikut campur masalah rumah tanggaku."
Liam berdecih, terlalu muak dengan sikap yang Marlon berikan. "Marlon, di mana janjimu dulu?"
Sontak Marlon terdiam, menatap Liam dengan tajam.
"Kau berjanji akan membuatnya bahagia dan tidak akan menyakiti hatinya lagi." Dengan jelas Liam menyampaikan, mengingatkan Marlon ucapannya sendiri.
Tidak kehilangan akal Marlon mengambil ponselnya, mencari kontak Rose yang dia ketahui keponakannya itu berhubungan khusus dengan Liam. Namun, lelaki berseragam putih itu tampak tidak peduli, Liam hanya menatap Marlon dengan remeh.
"Aku akan menelpon Rose sekarang, dan memberitahunya jika kau masih sangat mengharapkan Belle istriku."
"Silakan, aku tidak peduli," jawabnya acuh.
Maju beberapa langkah Marlon menarik kerah baju yang Liam kenakan, amarahnya sudah memuncak, apalagi setelah dirinya mengaku jika masih mencintai Belle. Dengan geram Marlon memperingati Liam, matanya yang melotot seakan-akan menguliti Dokter Liam dan seperti hendak membunuhnya.
"Kau mengkhianati keponakanku?" tanyanya di sela gigi bergemelutuk.
"Apa bedanya dengan kau? Aku bersama Rose karena Belle yang memintanya."
"Brengsek!" Marlon menarik kerah baju Liam semakin kuat, "Kau tidak bisa merebut Belle."
"Jika Belle ingin pergi bersamaku, lalu kau bisa apa?" Liam menantangnya kian berani.
Bugh! Tanpa banyak bicara Marlon langsung meninju rahang Liam, merangseknya cepat, dan kembali melayangkan pukulan.
"Berhenti!" Suara pekikan Belle berhasil menarik alih perhatian Marlon.
Baik Marlon dan Liam keduanya menoleh, melihat Belle yang tampak sangat panik.
"Kenapa kau turun?!" Marlon membentaknya.
"Apa urusanmu?" Belle balik bertanya, lantas menghampiri Liam yang terduduk di lantai.
Tanpa memedulikan tatapan Marlon, dengan cekatan Belle membantu Liam berdiri, lalu memeriksa wajahnya yang banyak lebam. Baginya Dokter Liam adalah Hero yang telah menolong Belle selama ini, jadi melihatnya sekarang dalam kesusahan sudah kewajibannya membalas.
"Chambell, apa kau ikut denganku?"
Mendengar itu Marlon bertambah geram, ditariknya Belle dengan paksa dan menjauhkannya dari Liam.