"Rose, di mana akal sehatmu?!" Marlon berteriak memasuki sebuah Apartemen.
Menoleh kaget Rose bangkit saat melihat pamannya datang, lalu bertanya bingung. "Ada apa kau menemuiku?"
"Aku tidak habis pikir kau membiarkan Liam membawa Belle pergi."
Urat-urat di wajah Marlon menegang, ini kali pertama Rose melihat pamannya sangat marah. Lelaki yang selalu memanjakannya dulu, sekarang berteriak seperti kesetanan. Menghela napas lelah akhirnya Rose berani membalas tatapan Marlon yang berapi-api.
Semenjak menikah pamannya itu memang tidak lagi seperti dulu, bahkan mereka jarang bertemu. Pertemuan keduanya terjadi karena acara keluarga atau ada keperluan yang lain, dan kali ini kedatangan Marlon khusus untuk memarahinya. Itu sangat menyebalkan.
"Salahmu sendiri, Paman, kenapa istrimu bisa mau diajak pergi dengan orang lain?!"
"Rose, aku bertanya kepadamu!"
"Aku tidak peduli." Rose balas berteriak.
Mengacak rambutnya yang gondrong dengan kesal, Marlon menunjuk wajah Rose yang murka. "Kau itu keponakanku, di mana sopan santunmu?"
"Sayangnya itu dulu, aku bukan keponakanmu lagi jika kau terus membuat masalah pada Belle sahabatku."
"Tapi kau harus tahu Liam membawanya pergi."
"Ya, aku yang menyuruh."
"Kau ..." ucapan Marlon menggantung, kaget mendengarnya, lalu melanjutkan. "Mereka pergi bersama kau membiarkannya?"
"Aku lebih percaya kepada Belle daripada kau Paman, jadi biarlah sekarang dia bahagia."
Mendengus berat rasanya Marlon sangat terpukul mendengar pernyataan Rose, tetapi dia juga tidak bisa tinggal diam. Marlon tidak akan membiarkan Belle pergi begitu saja dari hidupnya, karena gadis itu hanya miliknya seorang. Berulang kali Marlon tekankan pada semua orang terutama dirinya sendiri, jika hanya Belle satu-satunya gadis yang dia cinta dan tidak ada yang lain.
"Kau sahabatnya kan?" tanya Marlon berat.
Rose mengangguk, kedua matanya menyipit menatap Marlon yang bersedih. "Aku tidak akan membantumu lagi, rasanya aku sangat malu memiliki Paman sepertimu."
"Kumohon, bujuklah Belle supaya pulang ke rumahku." Marlon tampak frustrasi, tetapi Rose tetap pada pendiriannya.
Menggeleng keras Rose berjalan mendekati sang paman, lalu berdiri tepat di hadapannya dengan wajah datar. Berulang kali Rose berusaha melupakan kesalahan Marlon, tetapi sebanyak itu pula rasa sakit menikam jantungnya. Victoria yang telah merenggut kebahagiaannya, dan di balik Miller masuk ke dalam bilik jeruji besi.
"Seharusnya, aku yang bertanya padamu, Paman. Tidakkah kau mengingat seluruh kejahatan Victoria kepada keluarga kita?"
Menutup wajahnya Marlon mengakui jika dirinya sangat malu, dan berkata lirih. "Semua kesalahannya tentu aku ingat, tapi kau tidak akan mengerti."
"Tentu saja mengerti, kalian sudah bermalam dan kau mengkhianati Belle sahabatku."
"Tidak, bukan itu, aku tidak mengatakannya padamu karena kau masih terlalu kecil."
"Astaga! Baru kali ini ada yang mengataiku masih anak kecil." Rose tertawa sumbang.
Tidak lagi menggubris Marlon mengeluarkan dompetnya, lalu menaruh beberapa kartu di atas meja belajar Rose. Kartu debit miliknya yang berisikan banyak uang dan tidak akan pernah habis. Untuk membujuk Rose harus rela berkorban dan menjadi loyal.
Mengetahui maksud Marlon bukannya takjub, Rose malah tertawa semakin keras. Uang bukanlah prioritas utama, Rose lebih suka kebaikannya dibalas dengan kebaikan juga, lagipula dirinya bukan sesuatu yang bisa dibayar.
"Aku bukan anak kecil lagi yang bisa kau sogok dengan mainan ataupun uang."
"Rose, kenapa kau berbeda?" tanyanya.
"Bukan aku yang berubah, Paman, tetapi kau." Dengan lantang Rose membalasnya, dan menunjuk wajah Marlon.
Tanpa berkata apapun Marlon mengumpulkan kembali kartu-kartunya, dan menyimpannya. Pikiran Marlon sedang kacau, dia tidak ingin Rose menjadi pelampiasan. Jadi lebih baik pergi lebih cepat, meninggalkan Rose yang masih menatapnya dengan raut sedih.
***
"Apa rencanamu?" Liam duduk saat melihat Belle keluar setelah menidurkan William di kamar.
"Mungkin bekerja, aku masih muda dan kuat. Pekerjaan apapun aku akan melakukannya."
"Kau mempunyai anak yang masih kecil, dan tengah mengandung, Bell."
"Tidak ada pilihan, aku harus melanjutkan hidup dengan mandiri demi anak-anakku." Mengusap perutnya dengan searah Belle mencoba tersenyum, walau rasanya sakit.
Tidak ada yang Belle pikirkan selain sukses membersamai anak-anaknya kelak, menjadi orangtua tunggal yang tangguh. Kekayaan Marlon tidak Belle harapkan, karena baginya itu semua malapetaka. Cukup dengan jiwa yang sehat, hati yang tenang, Belle percaya hidupnya akan bahagia.
"Chambell, kau tidak perlu melakukan semua itu, karena aku selalu siap membantumu."
"Tidak lagi, Dokter, aku sangat malu padamu."
"Sungguh! Aku tidak merasa direpotkan, ini semua aku lakukan dengan perasaan tulus."
Untuk ke sekian kali Belle menggeleng, dan masih kekeuh menolak tawaran Liam yang sangat menjanjikan. Menyediakan tempat tinggal saja baginya sudah lebih dari cukup, Belle tidak ingin hatinya terlalu berat untuk memandang Liam sebagai seorang teman.
Apalagi, itu semua hanya akan menambah beban bagi Belle, karena Liam yang selalu mencintainya dan meminta kepastian. Semakin Belle menerima bantuannya, maka akan bertambah sulit untuk menolaknya.
"Aku hanya ingin mandiri, dan akan aku tunjukan pada orang-orang yang telah meragukan kemampuanku jika aku bisa."
Sekelebat perasaan bersalah hinggap di relung dada Belle, membayangkan kebahagiaan orangtua membuat hatinya sakit jika mereka tahu bagaimana nasibnya. Kebahagiaan mereka adalah kehancuran anaknya. Menikah dengan Marlon telah mengubah kehidupan keluarga Belle, karena lelaki itu terus memberikan tunjangan uang yang tidak sedikit.
Kepergiannya waktu itu juga tidak mengubah apapun, Marlon tetap menyantuni kerabatnya dengan sering berkunjung. Mungkin, setelah ini tidak adalagi bantuan darinya, keputusan Belle sudah bulat dan Marlon pasti memutus hubungan dengannya berikut keluarganya.
"Tapi, kumohon jangan tolak bantuanku." Liam berkata rendah, menatap Belle dengan kasihan.
"Kau sudah banyak membantuku, Dokter, tapi baiklah aku tidak akan menolaknya asal kau membiarkanku bekerja."
"Tunggulah sampai ada pekerjaan yang layak, setidaknya kau tidak bekerja terlalu berat." Dengan tegas Liam menyampaikan.
Tidak membantah Belle pun mengangguk, perlahan tangannya mengusap searah perutnya dan merasakan kebahagiaan yang melesat. Kehamilannya membawa Belle pada keadaan yang terburuk, tetapi rasa cinta terhadap calon anaknya tidaklah pudar.
Bagaimanapun Belle akan terus mempertahankan anak-anaknya, dan tidak membiarkan Marlon merebutnya. Belle tahu ini tidak mudah, Marlon orang yang besar dan berpengaruh. Membuat pasal dengannya tentu akan berjalan runyam.
"Dokter, sekali lagi terima kasih," kata Belle.
Liam tersenyum, bahagia melihat Belle yang merasa aman bersamanya, lalu bertanya. "Kau perlu pelayan?"
"Tidak, aku biasa melakukannya sendiri."
"Baiklah, aku mengerti, jika kau perlu sesuatu bisa mengatakannya padaku, Bell."
Mengangguk sekali Belle membalas tatapan Liam yang damai, dan tersenyum lebar. Kehadiran dokter Liam memang sangat membantunya, apalagi di masa sulit seperti ini, hanya dialah orang yang dapat Belle andalkan. Menjadi teman mengobrol, juga sebagai topangan hidup yang terpercaya.
Belle tidak tahu seperti apa jadinya jika tanpa dokter Liam, karena banyak sekali orang baik yang memanipulasi. Memberikan bantuan, lalu meminta imbalan yang setimpal, tetapi dokter Liam tidak. Dirinya sangat baik, dan sopan.
"Dokter Liam, apa ada yang ingin kau katakan lagi? Jika tidak ada aku ingin beristirahat."
"Aku mencintaimu, Bell." Liam berujar lirih.