Luna memberikan hormatnya kepada pelayan yang telah mengantarkannya ke salah satu kamar di rumah tersebut. Sempat dia mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya memasuki ruangan yang terletak di lantai dua itu.
Namun kembali dia dibuat terpana. Karena saat melangkahkan kakinya ke dalam ruangan itu, lagi-lagi dia disambut dengan sesuatu yang tak bisa membuatnya menahan decak kagum.
'Wah… bahkan kamar ini hampir sama besar dengan kontrakan kami. Mana warna dekorasinya juga cantik, ruangannya wangi, elektronik langkap di dalam, dan juga… pemandangan di luar sangatlah bagus.' Luna berjalan menuju pintu yang ada di sudut ruangan, lalu segera membukanya. 'Dan… yang paling penting. Kamar mandinya ada di dalam. Jadi ketika tengah malam aku pengen ke kamar kecil, tidak perlu merasa takut saat keluar kamar.'
Gadis itu mengagumi seluruh isi kamar barunya itu selama beberapa menit. Hingga akhirnya setelah merasa lelah, dia mendudukkan tubuhnya di tepian tempat tidur. Memandang ke luar sana, di mana awan terbentang di antara biru sehingga terlihat sangat anggun dari sini.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Luna masih sedikit tak percaya kalau Rafael akhirnya mau menerima lamaran pekerjaannya ini. Karena seperti yang terlihat tadi, pemuda itu sangatlah angkuh. Bahkan selama wawancara tadi ia tak pernah mengubah ekspresi dinginnya itu sama sekali, sehingga membuat Luna jadi sedikit pesimis akan diterima – terutama di bagian terakhir saat dia menanyakan hal yang tak ada di internet.
Namun untunglah, ternyata dia dinyatakan lolos dalam tahapan tersebut. Walaupun tadi Bertha bilang keputusannya bisa berubah kalau Luna tak menunjukkan performa yang baik, tapi setidaknya kini dia bisa berfokus pada misinya yang sebenarnya. Sehingga dengan begitu barulah uang tiga ratus juta rupiah itu dapat dijadikan sebagai miliknya.
'Yah… aku perlu fokus dan berusaha lebih keras kini.'
Namun Luna ingin menepis hal itu dulu untuk saat ini. Dia bangkit dari tempat duduknya, berniat untuk membuka kemeja yang dikenakannya untuk membersihkan diri. Namun seketika gadis itu membeku begitu menyadari sesuatu.
'Oh ya, astaga. Perangkat-perangkat di tubuhku. Kini setiap mau mengganti baju atau melakukan hal yang bersifat privasi, aku harus selalu ingat itu dan berhati-hati. Karena kalau tidak bisa gawat.'
Luna menyentuh bagian belakang dari ear piece di telinganya.
"Aku harus mandi dan bersiap-siap. Perangkatnya akan aku matikan dulu."
'Ya. Tapi jangan lupa untuk selalu menghidupkannya ketika sedang bersama Tuan Rafael.'
"Ya, pastinya."
Luna melirik jam tangan yang tadi juga diberikan padanya. Ada perbedaan signifikan antara tombol itu dengan tombol jam biasanya. Guna tombol di jam tangannya ini bukan untuk mengatur waktu, sementara sebagai tempat untuk mematikan dan menghidupkan fungsi kerja perangkat di tubuhnya. Seperti saat ini di mana dia bisa menonaktifkan segalanya.
Setelah memastikan kalau dirinya sudah tak lagi tersambung dengan pihak operator, barulah Luna melepas barang-barang itu dari tubuhnya. Semuanya terdiri dari jam tangan pengatur sekaligus speaker tambahan untuk para operator, kacamata dengan kamera pengintai, earpiece yang memungkinkannya untuk berkomunikasi dari jarak jauh, hingga mikrofon yang diselipkan di dalam liontin kalung. Semua itu dia kumpulkan lalu dimasukkan ke dalam laci.
'Orang yang melihatku pasti berpikir aku sedang syuting film aksi. Karena memang ini semua berlebihan.'
Namun walau begitu Luna sadar mengapa Bertha membentuk tim itu. Karena memang harus diakui kalau mereka membantunya dalam penyelesaian misi-misi ini.
"Ya sudahlah. Pikirkan nanti. Sekarang saatnya aku mandi, lalu menyusun pakaian. Bu Bertha bilang hari ini aku boleh sedikit bersantai karena baru bertugas besok pagi."
Barulah Luna hendak melepas kancing kemejanya, tiba-tiba ada lagi yang mengganggu. Hal itu membuatnya dengan terpaksa bergeser menuju pintu untuk membukanya.
"Ya…."
Sahutan gadis itu terdengar sedikit aneh dan menggantung, karena dia tak menyangka sama sekali siapa yang datang di depannya. Dia dengan cepat memperbaiki posisi berdirinya dan menyapa dengan lebih baik.
Karena kini Serra – tunangannya Rafael – berdiri di depannya. Di mana wanita dengan paras yang cantik jelita itu menatap Luna dengan tatapan yang masih sama dingin dan angkuhnya.
"Ada yang ingin kukatakan pada kamu. Apa aku boleh masuk?"
Luna tampak sedikit ragu pada awalnya, namun kemudian menganggukkan kepalanya.
"Y-Ya. T-Tentu. Silahkan masuk, Nona."
***
Serra langsung melenggang menuju salah satu sofa yang ada di kamar itu. Sementara si pemilik kamar malah mengikuti di belakang. Dengan canggung, memandang wanita itu menguasai tempat ini.
"A-Apa Anda mau sesuatu, Nona? Saya bisa ambilkan—"
"Nggak usah. Langsung duduk saja. Aku juga nggak punya waktu banyak untuk bicara."
Luna akhirnya hanya kembali menurut. Dengan canggung dia menduduki salah satu sofa yang berhadapan dengan wanita itu.
"Kebetulan saya udah dengar semuanya kok. Kamu itu… mantan pacarnya Rafael saat kalian masih SMA, benar? Lengkapnya… kamu itu cinta pertamanya."
"Begitulah."
Luna menyahut sungkan. Karena tentu saja, dia tak enak harus mengakui hal seperti itu dari calon istri orang yang dimaksud. Apalagi Luna menyadari kalau Serra sebetulnya tak terlalu suka dengan kehadirannya di rumah ini untuk memancing ingatan Rafael. Dia menyadari kalau Serra mungkin cemburu padanya.
"Omong-omong kamu lulusan tingkat berapa? Apa kamu satu tingkatan dengan Rafael?"
Luna mengangguk dengan cepat. "Ya. Kami memang satu tingkat. Bahkan sejak SMP, entah kenapa kami juga sering sekelas. Sehingga…."
Celotehan panjang Luna itu terhenti dengan sendirinya, begitu dia bertemu mata dengan Serra. Wanita itu tampak terus memandangnya datar, lalu terkesan sedikit tak suka begitu Luna menceritakan hal yang tadi.
"Maaf. Saya nggak bermaksud."
"Kalau kamu satu tingkat dengan Rafael, berarti kita juga satu tingkat. Karena aku juga pas sebaya dengan Rafael."
Luna mengangguk. Kalau begitu merasa semua sama-sama seumuran. Intinya itu, kan?
"Itu sebabnya… kamu nggak usah memanggilku Nona atau semacamnya. Panggil saja aku Serra, seperti seharusnya."
Luna langsung mengangkat mukanya. Tampak terkejut.
"Bagaimana mungkin bisa begitu."
"Tentu saja bisa. Lagipula kamu kan bukan pelayan di rumah ini. Tapi kenapa kamu terus bersikap sok sopan? Selain itu juga… kenapa kamu terus bersikap terlalu merendah di depan Mama? Walau kamu dipekerjakan olehnya, bukan berarti kamu pesuruhnya, bukan? Kalaupun kamu memang seorang pesuruh, setidaknya nggak perlu terus tunduk begitu sama Mama Bertha. Beliaulah yang paling membutuhkan kamu saat ini, jadi bersikaplah lebih berani."
Luna mengernyitkan dahinya. Siapa sangka Serra yang terlihat dingin, ternyata memberikan beberapa dorongan dan masukan seperti itu padanya. Padahal awalnya Luna pikir gadis itu ke mari untuk memaksanya untuk berubah pikiran.
'Tapi dia benar juga sih. Kenapa aku harus selalu seperti ketakutan di depan mereka semua? Aku sepertinya terlalu terbiasa bekerja untuk orang lain.'
"Tapi sebenarnya… ada hal lain yang ingin kuminta pada kamu, Luna."
***