Juni 2006
"Bagaimana, Luna. Apa kamu menyukai bangunan sekolahmu yang baru?"
Ayah tersenyum dengan lebar padanya. Sesaat setelah mereka sampai di depan bangunan sekolah itu, dengan menaiki motor yang dikendarai oleh beliau.
Luna membuka helm di kepalanya. Lalu menengadah memandang bangunan di depan mereka. Sebuah gedung sekolah yang besar dan tampak luas berdiri dengan megahnya. Apalagi dilengkapi sebuah pagar berwarna hitam yang tinggi, sehingga semakin menunjukkan kalau tempat ini cukup terjaga keamanannya. Sama dengan prestasinya yang juga disebut-sebut menjadi salah satu SMP terbaik di kota ini.
SMP Negeri 01.
"Ayah benar-benar bangga karena kamu bisa masuk ke sekolah ini, Nak. Tetangga saja bilang kalau ini adalah SMP yang paling bagus di kota ini, di mana hampir seluruh penduduk di kota ini berebutan untuk mendapatkan satu bangku di sini. Tapi ternyata kamu berhasil menjadi salah satu yang beruntung dari jutaan orang yang bersaing."
Tentu saja ini patut untuk dibanggakan. Karena memang Luna bekerja keras untuk dapat masuk ke tempat ini.
Padahal aslinya Luna bukanlah anak yang berprestasi. Nilainya biasa-biasa saja, hingga bahkan membuatnya sering mendapatkan nilai yang merah. Namun begitu berada di kelas enam sekolah dasar, dia tiba-tiba belajar lebih rajin dari sebelumnya. Karena dia telah memilih sekolah ini untuk menjadi tempat menuntut ilmunya yang selanjutnya.
Apa alasannya?
Luna sedikit tersenyum malu begitu ditanya ini. Karena memang ada satu faktor yang mendorongnya untuk mengambil langkah ini. Hal yang mendorong dan membakar semangatnya hingga akhirnya berhasil menapakkan kakinya di sini.
Namanya adalah Leo.
Anak yang merupakan kakak kelasnya itu, adalah tetangga yang tinggal tepat di samping rumah Luna. Sejak kecil Luna senang bermain dengannya. Leo bagaikan seorang kakak lelaki, yang selalu membela dan melindunginya saat mereka berkumpul dengan anak-anak lain.
Tahun lalu Leo lulus lebih dulu, di mana dia berhasil masuk ke SMP nomor satu di kota mereka ini. Hal itulah yang mendorong gadis tomboy itu untuk belajar lebih keras daripada biasanya. Karena dia ingin menyusul Leo sekolah di sini, lalu terus bermain bersamanyaa seperti waktu mereka masih SD dulu.
"Ya udah. Kalau begitu Ayah pulang dulu. Kamu bisa masuk sendiri, kan? Tak perlu Ayah antar?" tanya Ferdi, ayah dari Luna.
"Tentu saja, Yah. Luna kan bukan anak kecil lagi. Lagipula kan Ayah harus lanjut bekerja." Luna menyahut dengan riang, lantas menyerahkan helm miliknya tadi kepada orang tua lelakinya itu. "Kalau begitu Luna masuk dulu ya, Ayah. Ayah berhati-hatilah di jalan. Bawa motornya jangan mengebut ya."
"Pasti, sayang. Tapi nanti kamu pulangnya gimana?"
"Tenang saja, Yah. Kak Leo kan juga sekolah di sini. Nanti aku bisa minta pulang bareng dengannya," sahut Luna bersemangat.
"Ya sudah. Kalau begitu kamu masuklah. Hati-hati ya. Selalu belajar yang rajin, serta berbuat baiklah pada teman-temanmu. Mengerti?"
"Baik, Ayah. Siap."
Setelah itu akhirnya Luna berjalan memasuki gerbang sekolah itu dengan pengawasan dari sang ayah. Hingga akhirnya setelah memastikan putrinya berada di dalam, barulah Ferdi menjalankan motornya lagi untuk meninggalkan tempat itu.
***
Padahal tadi Luna dengan yakin bisa melewati semua ini sendirian. Dia yakin hari pertama di sekolah barunya ini akan menjadi hebat, di mana dia akan membuat kenangan yang mengesankan serta punya banyak teman.
Namun begitu memasuki pekarangan tiba-tiba dia jadi merasa kecil. Karena ternyata lautan manusia dengan seragam SMP sudah bertebaran di mana-mana. Apalagi karena ini adalah hari pertama bersekolah, sehingga semua sedang heboh dan bersemangat. Apalagi karena banyak anak yang diantar oleh orang tuanya – kemungkinan anak baru.
'Wah, apa tadi seharusnya aku mengajak Bapak saja. Di sini ramai sekali seperti pasar. Aku takut malah tersesat.'
"Tidak apa-apa. Aku bisa masuk sendiri. Aku juga punya teman di sini kok."
Langkah Luna berhenti begitu ada suara yang cukup menarik perhatiannya. Di antara ramainya orang di sana, ada satu remaja laki-laki yang sedang berbicara dengan pria paruh baya.
"Aku nggak perlu dikawal. Sekarang Bapak pulang saja duluan."
"Tapi, Den. Saya disuruh oleh Nyonya—"
"Itu karena Mama terlalu berlebihan. Aku bisa sendiri kok. Aku bisa mengurusnya. Jadi Bapak tak perlu terlalu mengkhawatirkanku."
"Tapi saya bisa kena marah oleh Nyonya kalau tidak mengantarkan Anda, Den."
"Kan kita udah di sini. Bapak udah mengantar saya sekolah. Jadi apa lagi?"
Luna mendengus pelan. Dari pakaian serta gaya bicaranya saja, sudah jelas kalau di aini berasal dari kalangan keluarga berada. Apalagi dengan kenyataan dia punya pengawal saja untuk berangkat ke sekolah. Luna antara takjub dan prihatin dengannya.
'Ya sudahlah. Bukan urusanku.'
"Heyy, Aluna!"
Langkah Luna terhenti ketika anak laki-laki tadi memanggil namanya dengan tiba-tiba. Lantas tak lama kemudian dia mendekat, lalu merangkul pundak gadis itu.
"Lihat, aku bahkan menemukan temanku di sini. Kami ini juga ditempatkan di kelas yang sama lho. Jadi kami bisa pergi bareng." Anak lelaki itu terus tersenyum dengan lebarnya kepada pria paruh baya di depannya. Dengan nyaman merangkul Luna yang tak tahu apa-apa.
"Benar itu, Nona. Kau mengenalnya?"
Luna kebingungan dan melirik wajah pemuda di sampingnya. Anak itu langsung melemparkan kode berupa tatapan mata padanya.
'Mungkin tak ada salahnya kalau kutolong.'
Tak lama kemudian Luna mengangkat wajahnya untuk menatap pria di depan mereka, lalu memberikan senyuman kaku.
"Y-Ya, Pak. Di aini temanku. Kami berasal dari SD yang sama, serta memliki kelas yang sama di sini. Jadi Bapak tak perlu khawatir. Akulah yang akan menemaninya selama sekolah di sini."
***
Singkat cerita mereka berhasil membohongi pria yang ternyata seorang sopir pribadi itu. Walaupun terlihat berat karena sepertinya telah diwanti-wanti oleh atasannya untuk mendampingi Rafael, namun karena kedua remaja itu bersikukuh akhirnya beliau tak bisa melakukan apapun selain mempercayainya.
Omong-omong anak ini mengenalkan namanya sebagai Rafael. Berbeda dengan pengakuannya pada sopirnya tadi, mereka datang dari sekolah yang berbeda dan juga ditempatkan di kelas yang berbeda.
"Tapi kenapa kamu berbohong?"
Luna masih menghujatnya atas kebohongan itu. Menurutnya itu adalah perbuatan yang salah untuk dilakukan.
Namun anak itu terlihat cuek-cuek saja. Dia berjalan di depan Luna, dengan kedua tangan yang masuk ke kantong celana. Aura angkuh terlihat dari wajah dan sikap tubuhnya.
"Hey, kutanya… kenapa kau berbohong pada sopirmu tadi?" tanya Luna sambil memeprcepat langkahnya agar mereka berjalan berdampingan.
"Kamu sendiri kenapa berbohong pada beliau?" tanyanya datar. Melirik Luna sebentar saja dengan sudut mata.
"K-Kalau aku kan tak punya pilihan. Tadi kau tiba-tiba menarikku dan menghadapkanku dalam posisi itu, sehingga aku terpaksa melakukannya agar tidak menjadi heboh." Luna menjawab seadanya. Lalu kemudian melirik Rafael lagi dengan penasaran. "Kalau kamu sendiri kenapa? Alasan apa yang membuat kamu sampai sejauh itu untuk membohongi pria tua beliau? Dia kan hanya ingin melindungimu?"
"Terlalu ribut. Walau gimanapun aku ingin hidup mandiri, apalagi ini adalah hari pertamaku menjadi lebih dewasa daripada waktu masih SD."
***