Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela, membentuk garis-garis cahaya yang menyinari ruangan. Disela-sela tidurnya, samar-samar suara ketukan terdengar beberapa kali di pintu. Ana terbangun dari tidurnya tetapi ia bergeming. Rasa lelah yang ia rasakan kemarin malam membuatnya susah membuka mata. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan rasa enggan untuk bangun membuatnya tetap memejamkan mata. Kembali terdengar suara ketukan di pintu dan beberapa orang berbicara. Tak lama kemudian, pintu ruangan itu terbuka dan suara langkah kaki memasuki ruangan.
[Apa lagi yang diinginkan mereka ?] tanyanya di dalam hatinya.
Ana mencoba tak menghiraukan mereka. Namun, tiba-tiba matanya terbuka lebar.
[Bukankah tadi malam aku mengunci pintu ?]
Ia segera bangun dari tidurnya saat menyadari bahwa seseorang telah masuk ke dalam kamarnya yang terkunci.
"Oh, apa aku membangunkanmu?"
Ernan sedang berdiri di hadapannya dengan pakaian berwarna biru muda, dasi pita panjang dan celana dengan warna biru gelap. Tak lupa ikat pinggang kulit dan sebuah pedang panjang menghiasi bagian samping pinggangnya.
Ana yang mengernyitkan dahi merasa terganggu.
"Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa masuk? Seingatku semalam…" Ia menghentikan perkataannya sambil menatap Ernan dengan tajam.
"Itu bukan hal yang sulit," ujarnya santai, "Aku berjanji akan menjelaskannya padamu, kau bisa menemuiku di tempat latihan pedang," lanjutnya singkat.
"Baiklah. Aku akan menemuimu di sana," jawan Ana dengan kesal.
Ana turun dari tempat tidurnya. Ernan menggangguk padanya kemudian berpaling dan berjalan menuju pintu keluar. Namun, sebelum ia keluar dari pintu langkah kakinya terhenti.
"Oh, kau bisa berhenti berpikir untuk kabur melalui balkon."
"Apa?" teriak Ana terkejut. Ia teringat usaha melarikan dirinya yang sia-sia. Saat semalam ia berpikir untuk kabur melalui balkon, dilihatnya banyak pengawal yang berjaga di sekitar bangunan itu sehingga ia mengurungkan niatnya. Wajahnya berubah menjadi merah karena kesal.
"Bisakah kau keluar?"
Ia mengambil bantal dan melemparkan pada Ernan. Sayangnya, Ernan telah menutup pintu kamarnya. Ana terduduk kembali di kasur dengan kesal dan mendengus.
[Hebat, awal yang bagus untuk mengawali hari] cibirnya pada dirinya sendiri.
Suara ketukan pintu terdengar. Ana mempersilakan untuk masuk. Rosseta masuk ke dalam ruangan dan segera memandang Ana dengan penuh belas kasihan.
"Ana, kau sudah bangun?" suaranya lembut menyampanya. "Oh, kau pasti ketakutan semalam tapi jangan khawatir, Marquess tidak akan menyakitimu," lanjutnya.
Ana memandanganya dengan mata nanar kemudian mengangguk. Ia benar-benar berharap Marquess tidak menyakitinya.
"Kudengar kau meminta bajumu kembali. Ana, kau tahu baju itu sudah robek, aku tidak bisa membawakan baju itu."
Rosseta berkata dengan lembut kemudian berjalan ke arah almari dan mengambil salah satu baju di dalamnya. Ia memperlihatkan sebuah baju padanya. Baju itu berwarna kuning lembut, panjang melebihi lutut tetapi tidak menyentuh tumit, tidak memiliki banyak lapisan dan terkesan nyaman dipakai. Baju lengan panjang dengan kerah berbentuk huruf w yang lebar dengan ujung runcing, permata merah delima tersemat di tengah kerah baju, ikat pinggang, dan sedikit renda di tepian bawah gaun itu. Ana menatap gaun itu.
"Terima kasih, Rosseta. Aku suka gaun itu," ujarnya singkat kemudian memandang Rosseta dengan prihatin. Ia ingin mengetahui keadaan Marquess.
"Bagaimana keadaan Tuan Marquess?"
"Sudah lebih baik," jawan Rosseta singkat.
"Apa Tuan Marquess sakit?"
Rosseta mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih.
Ana berjalan menuju ke arah jendela dan membukanya. Udara segar pagi hari masuk ke dalam kamarnya. Ia berpaling, menatap ke arah Rosseta.
"Aku berharap ia segara sembuh."
"Tentu saja, Ana."
Rosseta melangkahkan kaki menghampiri Ana yang berdiri di dekat jendela dan mengusap rambutnya.
"Aku sudah menyiapkan air. Kau bisa membersihkan diri sekarang."
Ana mengangguk. "Apakah aku bisa makan di kamar saja?"
"Tentu." Sesudah mengatakan hal itu Rosseta keluar ruangan.
Setelah Ana membersihkan diri, seorang pelayan dengan seragam hitam putih memasuki ruangan dan membantu Ana merias dirinya. Ana mengenakan gaun itu dan pelayan memasangkan hiasan rambut pita berwarna merah di atas telinga bagian kanan kemudian mengepang rambutnya. Hiasan rambut mutiara melingkari setiap lekukan rambut yang terkepang. Pelayan itu pun memberikan sentuhan make up pada wajah Ana. Setelah selesai, mereka melihat wajah Ana di cermin. Pelayan itu terkejut dan menutup mulutnya.
"Oh, nona, kau sangat cantik," ujar pelayan itu kagum. Ana hanya tersenyum mendengar pujiannya. Pelayan itu keluar dari kamarnya dan kembali membawakan makan pagi, steak daging, salad, roti gandum, dan minuman diletakan di meja. Ana menikmati makan paginya sambil memandang ke arah taman melalui balkon. Tentu saja, ia tak berlama-lama karena ingin segera menemui Ernan. Setelah selesai memakan habis makanannya, ia mengambil tas kecil miliknya dan keluar dari ruangan. Ana bertanya pada salah seorang pelayan untuk mengantarkannya ke tempat latihan pedang. Gadis pelayan itu terlihat senang. Matanya berbinar.
"Tentu saja, nona, aku akan mengantarkanmu ke sana."
Ana terheran sejenak melihat wajah gadis itu yang memerah. Namun, ia merasa senang ditemani menuju tempat berlatih pedang. Mereka melewati koridor ruangan dan keluar dari pintu utama. Langkah kaki mereka berjalan di sekitar taman kemudian masuk ke dalam pinggiran hutan. Tak jauh dari tempat itu terlihat bangunan besar yang terbuat dari batu yang kokoh. Dinding bangunan itu dihiasi tanaman merambat yang menjalar menutupi sebagian dinding. Mendekati bangunan itu, mereka mendengar suara gesekan pedang dan orang-orang yang berseru. Para prajurit yang mengenakan seragam kebanggaan mereka sedang berlatih pedang dengan sungguh-sungguh. Ana melihat Ernan sedang mengayunkan pedangnya menyerang salah seorang pengawal lainnya. Pengawal itu mencoba menangkis serangannya tetapi gagal. Pedangnya terlempar dan tubuhnya terjatuh.
Gadis pelayan yang berdiri di samping Ana berseru kegirangan perlahan dengan wajah memerah. Ana berpaling melihatnya dan menaikan alis matanya. Rupanya ia bahagia karena melihat Ernan. Ana kembali melihat Ernan yang berada di depan pengawal yang terjatuh itu. Ernan mengulurkan tanganya dan menarik tangan prajurit itu untuk berdiri. Saat itulah ia melihat Ana, berdiri tak jauh dari tempatnya berlatih. Ernan menyarungkan pedangnya, mengusap keringat yang menetes dari pelipis, dan menghampirinya.
"Ana."
Ernan melangkah mendatanginya, masih mengenakan baju yang basah oleh keringat. Gadis pelayan itu menghormat padanya sejenak kemudian meninggalkan mereka. Ernan menatap Ana.
"Ayo berjalan-jalan," ajak Ernan berjalan meninggalkan tempat itu.
"Oke," jawab Ana singkat mengikutinya.
Mereka melangkah menjauhi bangunan itu menuju ke dalam hutan. Sampailah di pinggir danau yang dikelilingi bunga-bunga kecil dan pohon-pohon yang rindang.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi semalam?" suara Ana memecahkan keheningan di antara mereka. Ernan menghela napas perlahan.
"Tuan tidak bermaksud menyerangmu."
"Oh ya? Aku dengar Marquess sudah lama sakit?"
Ernan mengangguk, pandangannya menerawang jauh menatap danau. "Benar. Sejak Putri Imelda meninggal, Tuan tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Saat hari peringatan kematian putri, Tuan sering kehilangan akal sehat dan bahkan menyakiti dirinya sendiri."
Ana teringat suara seseorang yang meraung-raung dengan begitu menyedihkan. Raungan Marquess yang berduka.
"Kasihan sekali. Dia pasti sangat bersedih akan kehilangan putrinya."
"Meskipun kesadarannya kembali saat purnama selesai, tetapi kesehatan Tuan berangsur-angsur memburuk. Usianya tinggal sebentar."
Pandangan mata Ernan sangat sedih. Terlihat dengan jelas ia sangat menyayanginya. Ana hanya terdiam mendengar penjelasannya. Ernan berpaling menatap wajah Ana dengan penuh kesungguhan.
"Bisakah kau tinggal sampai festival purnama selesai? Sejak pertama kali melihatmu aku yakin Tuan teringat putrinya saat masih hidup, rambut hitammu, mata hijaumu sangat mirip padanya. Jika Tuan merindukan putrinya dan memintamu datang menemuinya, maukah kau datang? Aku berjanji akan melindungimu dan kau bebas setelah itu."
Angin berhembus perlahan menyapa rambut coklat Ernan. Bola mata Ernan menatap lurus padanya. Ana terdiam sejenak. Bibirnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan itu dan matanya menatap kebawah. Ia merasa kasihan pada Marquess yang sakit parah dan usianya yang sangat tua. Ana berpikir bisa tinggal beberapa hari lagi. Tak ada salahnya, pikirnya. Toh, ia mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik dan makanan enak dengan gratis. Tak ada batasan waktu juga Ana harus sampai di ibu kota. Setelah menghela napas, Ana membalas tatapan Ernan dengan lembut.
"Baiklah. Tapi barangku yang lain masih di penginapan dan aku belum mengatakan akan tinggal lebih lama pada temanku. Kau bisa menyampaikan pesanku padanya?"
Mendengar persetujuan Ana, wajah Ernan berseri, senyuman merekah di wajahnya.
"Tentu, Ana. Terima kasih."
Ana membalas senyumannya dan menganggukkan kepala.
"Ayo, kita kembali," ajak Ernan mengulurkan tangannya pada Ana.
"Tunggu," sela Ana.
Ia teringat suatu hal. Dibukanya tas kecil yang dibawanya dan mengeluarkan sebuah kalung emas putih berliontin bunga lili. Tangan Ana meletakan kalung itu dalam genggaman Ernan. Ernan tertegun.
"Aku rasa ini milikmu," ujar Ana santai. Ingatan saat bertarung dengan Ernan melintas dibenaknya. Saat tangannya tidak sengaja menarik kerah baju Ernan dan membuat kalung itu terputus serta kancing baju yang terlepas.
"Bagaimana kau menemukannya? Aku sudah mencari-carinya dari semalam tetapi tidak menemukannya!"
Ernan berseru kegirangan. Sukacita yang melimpah memenuhi hatinya. Wajahnya memandang kalung yang berada di genggaman tangannya dengan senyuman lebar.
Ana mengalihkan pandanganya sebentar ke arah danau dengan canggung kemudian menatap Ernan dengan cengiran di wajahnya.
"Aku tidak sengaja menariknya kemarin saat kita bertarung. Kalung yang indah. Aku minta maaf kalungnya putus."
Ernan menggelengkan kepalanya.
"Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan kalau kalung itu benar benar hilang, ini peninggalan milik ibuku," ujarnya tersenyum. Ernan menyimpan kalung itu baik-baik.
Ana melirik padanya sebentar sambil berpikir. Sepertinya ia memahami apa yang dirasakannya, rasa kebingungan dan penyesalan yang menyesakan hati dirasakannya saat meninggalkan belati milik ayahnya. Ana memandang Ernan.
"Ayo kembali," ujarnya dengan lembut sambil tersenyum. Tangannya menyentuh pita di kepalanya yang berkibar saat angin berhembus.
Ernan terdiam sejenak memandang wajah Ana. Warna kemerahan muncul di pipinya kemudian ia menganggukan kepala. Mereka berdua kembali ke bangunan utama. Ernan berbelok arah menuju ke tempat latihan berpedang sedangkan Ana kembali ke kamarnya. Di dalam kamar tidak banyak yang bisa dilakukannya. Ia hanya berguling-guling sebentar di tempat tidur yang luas dan nyaman. Setelah dirasa cukup bosan, ia keluar dari kamar untuk meminta pena, tinta, kertas, amplop, dan lilin. Segera gadis pelayan yang membantunya pagi itu menghampirinya dengan membawakan barang-barang yang diperlukan.
"Nona, apa kau akan menulis surat? barang-barang ini akan diletakan dimana?" ucapnya riang.
Ana berpikir sejenak. Ia terlalu malas untuk kembali ke kamar.
"Dimana ya?" balas Ana sambil berpikir.
Gadis itu membuka mulutnya dan tersenyum lebar.
"Aku tahu tempat bagus, ikut aku nona."