Kevin berjalan menuju halte yang sepi. Ia akan pulang sebelum rumah panti dikunci. Kalau tidak ia bisa terkunci di luar dan tidak bisa tidur di kasurnya karena telat pulang.
Tidak ada yang ingin tidur diluar jika punya kasur empuk di kamar.
Saat ia hendak duduk di halte itu, penglihatannya tak sengaja menangkap keberadaan orang yang ia kenal di dekatnya.
Sebelumnya Kevin tidak sadar pada saat berjaan menuju ke sini. Ia hanya menggunakan sepeda motor saat bekerja dan itu bukan kendaraan miliknya melainkan restoran pizza tempat dimana ia bekerja.
Kenapa sekarang ia harus bertemu dengan orang itu?
"Kau?! Kenapa kau ada di sini?" Kevin spontan berseru pada orang yang tidak ia sukai itu.
Kevin bisa melihat tatapan yang sama dari orang itu. Sama-sama tidak senang dengan keberadaan masing-masing.
"Ini tempat umum. Aku rasa kau tidak terlalu bodoh untuk bertanya hal yang tidak perlu," jawabnya.
"Apa?! Kau sombong sekali!" seru Kevin.
Ia kemudian memperhatikan Revan. Berharap mendapat petunjuk dengan menelitinya.
"Urus saja urusanmu sendiri!" balas Revan.
"Aneh! Kau terlihat seperti orang yang kabur dari rumah," Kevin asal tebak karena ia tidak mendapat petunjuk apa pun.
Tapi tak disangka ucapannya menyulut emosi Revan.
"Memangnya apa urusanmu?!" Revan geram langsung mendekat dan menarik kerah baju Kevin.
"Hanya karena kau diluar rumah untuk bekerja dan aku terlihat tidak melakukan apapun, kau jangan seenaknya menyimpulkan sesuatu!" seru Revan lagi.
Kevin tak tahu harus bilang apa. Ia terlalu kaget dengan respon Revan yang langsung mendekat padanya itu.
"Memangnya apa yang perlu dibanggakan dari seorang pengantar pizza?" Revan berkata lagi.
Kevin tertegun, "Apa?! Maksudmu apa? Kau menghinaku?" Kevin balik mencengkram depan kemeja Revan.
Kevin tidak tahu bagaimana Revan bisa mengetahui hal tentang pekerjaannya sebagai pengantar pizza.
"HEI!" Sebuah teriakan terdengar dari jauh tapi tak lama terdengar lebih keras, pertanda sumber suara semakin dekat.
Revan dan Kevin mencari asal suara.
Mereka melihat Diana mendekat dengan sepedanya. Beberapa detik kemudian terdengarlah decitan rem sepeda.
Diana sampai di belakang halte dan segera turun dari sepedanya. Ia dan kedua pemuda di depannya terhalang bangku halte yang panjang.
"Sedang apa kalian, hah?"
Sebenarnya Diana tak perlu bertanya karena semua orang pasti tahu kalau melihat keadaan mereka yang seperti itu. Mereka jelas sedang bertengkar.
Diana tak menyangka bertemu dua kali dalam sehari dengan mereka, dan dua kali juga hal itu membuat dirinya tak tenang. Tapi kali ini yang lebih parah.
*****
Setelah tahu masalahnya, Diana duduk bersidekap menengahi Kevin dan Revan. Mereka berada di sisi kanan dan kiri Diana.
"Yang satunya suka ikut campur dan cerewet. Satunya lagi tidak ramah dan pemarah."
Masih melipat tangannya didepan, Diana menyindir kedua pemuda itu untuk kedua kalinya hari ini setelah di perpustakaan sekolah.
"Diana, kau benar-benar melibatkan diri? Kau biasanya tidak peduli dengan orang lain jika tidak terlibat." Kevin buka suara.
"Memang," kata Diana blak-blakan. Ia mengaku tidak peduli jika tidak terlibat.
"Terus kenapa? Jangan bilang kau sama seperti penggemarnya? Kau juga suka padanya?" Kevin histeris sambil menunjuk Revan.
Diana mengerutkan kening, dari pada mengatakan ia peduli dengannya kenapa Kevin tidak mengatakan kalau ia peduli pada Kevin juga.
Biasanya anak itu sangat percaya diri. Sepertinya Kevin kehilangan percaya dirinya saat berhadapan dengan orang keren seperti Revan.
Diana menghela napas, "Maaf Kevin. Jadi dengan ini apakah kau mau berhenti dan mau menyerah dengan perasaanmu?"
Kevin melotot mendengar itu. Bahkan Revan ikut memperhatikan Diana.
"He? Jadi benar kau suka padanya?" Kevin terlihat tidak terima.
Tapi Diana mengangguk, terlihat pasrah sebagai jawaban.
"Tidak! Aku tidak akan menyerah! Aku tidak akan membiarkanmu bersama dengan orang seperti dia!" Seru Kevin terdengar yakin.
Diana memilih menyebut sikap Kevin itu sok-sok'an.
Hening. Diana menatap Kevin lama. Apakah Kevin tidak sadar dengan perkataannya tadi seolah Revan mau bersama Diana saja.
Memangnya ia mau?
Diana ingat Revan sangat ingin menghindari penggemarnya.
Ditatap seperti itu, lama-lama Kevin merasa salah tingkah.
"Eh Diana-" gumaman Kevin terputus karena Diana mendesah frustasi.
Dia salah mengartikan tatapan Diana rupanya, mengira Diana tersentuh atau terharu karena ucapannya yang pantang menyerah.
"Aah.. Kukira kau mau menyerah. Meskipun aku berhasil mengelabuhimu tapi ternyata itu sia-sia. Tak disangka kau malah mengatakan itu," kata Diana muram, padahal aktingnya tadi bagus.
Tapi ternyata Kevin justru pantang menyerah.
"Eh.. apa?" Kevin bingung.
Revan juga terlihat mengangkat sebelah alisnya.
"Aku bilang tadi itu hanya bohong."
Kevin melongo mendengar jawaban itu.
"Jadi kau tadi berpura-pura?" Kevin memastikan. Ia tak percaya Diana bisa berakting.
Diana mengangguk santai seolah tak merasa bersalah.
"Anggap saja aku hanya bercanda," kata Diana dengan entengnya lagi tanpa rasa bersalah membuat perasaan orang lain campur aduk.
Diana lalu berdiri lalu berbalik menghadap Revan dan Kevin yang masih sedang memproses maksud perkataan Diana. Pikiran mereka ternyata lamban.
"Sekarang aku akan menemani kalian sampai bus-nya datang,." Diana memutuskan mengawasi mereka agar tidak berkelahi lagi.
"Heh?"
Kali ini apa lagi? batin kedua pemuda itu di depan Diana.
"Kalian boleh menganggap aku tak ada. Tapi kalian tidak boleh bertengkar lagi sampai kalian sudah di dalam bus."
Diana lalu mengoreksi ucapannya sendiri, "Salah.. Sampai kalian tiba di tujuan masing-masing jangan bertengkar lagi. Bahkan jika kalian saling mengabaikan juga tidak apa-apa. Asal tidak bertengkar lagi."
Tanpa sadar Revan dan Kevin saling memandang.
Siapa juga yang mau peduli padanya? Dia adalah orang yang harus diabaikan, batin kedua pemuda itu.
Kevin merasa ia tidak peduli pada Revan dan sebaliknya Revan juga tidak peduli pada Kevin.
Kemudian mereka saling memalingkan kepala dari yang lainnya.
Kalian kompak sekali, andai kalian tau, batin Diana.
Tidak ada percakapan lagi sampai Revan bersuara.
"Duduklah. Kau tidak mau 'kan, kakimu pegal karena menunggu bermenit-menit lagi nanti," kata Revan setelah beberapa menit Diana berdiri.
Diana mengangkat alis, sedang menimbang saran Revan. Akhirnya dia kembali duduk ditengah-tengah.
"Kau masih memakai seragam sekolah?" Revan baru sadar dengan pakaian Diana. Kevin juga ikut melihat pakaian Diana.
"Kenapa kau ingin tahu?" tanya Diana balik.
Kevin tergelak mendengar perkataan Diana untuk Revan. Sepertinya memang Diana tidak punya perasaan suka pada Revan.
Dia bukan salah satu penggemarnya, syukurlah, batin Kevin.
"Lupakan," kata Revan kesal. Alisnya mengerut tanda tak senang.
Ya ampun. Memang pemarah, ucap Diana dalam hati.
Diana membuka mulutnya, "Aku langsung ke tempat kerjaku karena itu lebih dekat dari pada rumahku setelah pulang dari sekolah. Kebetulan tempat aku bekerja juga searah dengan rumahku. Disana juga aku bisa makan dan mandi seperti di rumah jadi tidak perlu ke rumah dulu. Jadi begitulah, sekarang aku juga mau pulang."
Diana akhirnya mau menjelaskan setelah melihat kemarahan Revan.
Entah kenapa ia tidak ingin membuat Revan marah karena sadar Revan menunjukkan perhatiannya.
"Oh iya, omong-omong kau belum menjawab dengan benar pertanyaan ku sebelumnya, Diana." Kevin angkat suara.
"Hm.." gumam Diana, secara sadar menyuruh Kevin melanjutkan.
"Kenapa kau mau melibatkan diri untuk melerai kami?" tanya Kevin.
Ah, itu, katanya dalam hati. Ia hampir lupa.
Diana menghela napas, "Mengenai itu.."
Tiba-tiba ucapan Diana terputus karena mendengar suara seperti logam besi yang digerakkan.
Diana spontan menengok ke belakang.
*****