Chereads / We Are (Kisah Tiga Remaja) / Chapter 8 - Bab 8

Chapter 8 - Bab 8

Kevin sekarang ada di perpustakaan karena mencari Diana. Ia sebenarnya jarang bisa bersama dengan Diana karena Diana sering ke perpustakaan.

Sekarang ia masuk ke dalam perpustakaan hanya untuk mencari Diana.

Setelah mengelilingi perpustakaan, ia akhirnya menemukan Diana di meja paling pojok di belakang. Diana tampak serius membaca.

Kevin langsung duduk tanpa permisi di kursi yang berhadapan dengan Diana. Diana segera sadar dan melihat Kevin saat Kevin mendekatinya.

Kevin belum bicara dan hanya menatap Diana. Hingga akhirnya membuat Diana mengangkat sebelah alisnya setelah semenit berlalu dalam diam.

Mereka saling menatap dalam diam selama itu. Diana merasa heran.

Kevin sadar dengan reaksi Diana dan mengeluarkan suara dengan ragu-ragu, "Diana kau tahu kan, murid baru dikelasku?"

Diana kini mengerutkan dahi mendengar ucapan Kevin.

Diana menjawab, "Revan Gael?"

Kevin mengangguk mengiyakan.

"Sebenarnya saat menemuimu di perpustakaan kemarin aku ingin berbicara tentang dia padamu," kata Kevin.

Tapi karena saat itu Revan ada di sana juga, Kevin tidak jadi membicarakannya.

Diana sadar saat itu memang tidak biasanya Kevin datang ke perpustakaan.

Apalagi jika hanya untuk mengganggunya. Kevin memang jahil, tapi dia bukan orang yang mau menghabiskan waktu dengan hal yang tak menghasilkan apapun karena Diana pasti mengabaikannya saat sedang membaca seperti ini di perpustakaan. Kecuali jika hal itu memang penting.

"Dia yang sekarang sangat berbeda dengan yang dulu aku kenal. Sebenarnya aku tak peduli kau mengenalinya lagi atau tidak. Tapi setelah kejadian malam itu, aku bertanya-tanya. Jangan-jangan kau mengenalnya atau juga mengingatnya?"

Diana menegang.

"Sebelumnya aku mau cerita bahwa dia adalah berandalan sekolah dulunya. Walau dia di sekolah saat itu hanya beberapa bulan, tapi aku bisa langsung tahu. Karena aku pernah berkelahi dengannya. Dan dia tentu saja satu sekolah denganmu juga."

Diana masih menyimak ucapan Kevin.

"Karena dia hanya sementara di sekolah kita, aku ragu kau tahu atau tidak. Aku juga tahu dia sering kali pindah sekolah dulu. Banyak anak lainnya yang tidak tahu bahwa itu adalah dia."

Kevin menatap Diana serius dan melanjutkan, "Aku ingin memastikan alasanmu peduli pada kami."

Diana menahan napas saat Kevin berkata lagi, "Kau juga mengenalnya karena kejadian pertengkaran terakhir sebelum dia pindah sekolah, kan?"

Hening. Diana tak langsung menjawab.

"Jangan lupa aku juga ada di sana saat kejadian. Aku tidak akan kenal dengannya jika hanya karena kejadian itu, dan kukira kau juga."

Kevin mengangkat bahunya seolah menekankan fakta ia lupa pada Revan dan ingat karena pernah sekali bertengkar dengan Revan dulu.

"Aku kenal karena kejadian pertengkaran lain yang terjadi. Aku pernah sekali berkelahi dengannya," kata Kevin.

"Ternyata kau juga mengenalnya, ya?" Diana buka suara.

Kevin melebarkan matanya, karena tebakannya sudah pasti benar. Diana mengenal Revan.

Diana melanjutkan, "Yang kau katakan benar. Aku selalu mengingatnya, karena aku adalah peyebab kejadian itu. Kejadian yang konyol. Makanya aku peduli padanya," Diana mendengus saat mengatakan kalimat 'kejadian yang konyol'.

Kevin hendak bicara tentang masalah itu yang seharusnya tidak perlu membuat Diana terganggu.

Tapi Diana berkata, "Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa berkelahi dengannya dulu?"

Diana yang menuntut membuat Kevin gugup.

"Itu... Emm.. Oh ya, aku baru ingat. Revan meraih nilai tertinggi dikelas tadi. Itu membuatku heran dan itu yang mendorongku memberitahumu semua ini." Kevin berharap Diana terpancing.

"Kau tahu kan, dia kerjanya hanya berkelahi dan nilainya tak pernah bagus. Namun sudah selama ini dia pindah ke sekolah ini dan tidak pernah berkelahi dengan siapapun. Dia bahkan tidak terlibat masalah apapun."

"Kau benar," gumam Diana. Kevin merasa lega karena Diana berhasil dialihkan.

"Kecuali masalah antara kau dan dia saat malam itu di halte bus," sambung Diana kembali menatap intens pada Kevin.

Tatapan Diana seolah mengatakan, 'Ayo jelaskan kenapa kau bisa berkelahi dengannya saat sekolah menengah pertama?'

Kenapa begini? batin Kevin.

Tujuan Kevin untuk membuat Diana tak membahas tentang perkelahian itu gagal.

"Baiklah, aku akan bercerita. Tapi tidak sekarang karena aku harus segera pergi. Ada hal penting yang harus ku urus." Kevin beranjak pergi.

"Eh? Memangnya kau mau melakukan apa?" Diana bertanya pada Kevin yang mulai melangkah.

Meja diantara mereka menghalangi Diana untuk menahan kepergian Kevin.

Kevin hanya melambaikan tangannya. Ia secepatnya berhasil menjauh dari Diana.

*****

Diana sudah pulang dari sekolah lalu masuk rumah dan melihat David membaca sebuah surat. Ia memperhatikan logo di amplop surat itu. Logo sebuah perusahaan penerbangan. Ternyata dari pihak maskapai penerbangan.

"Apa isinya?" Tanya Diana.

David menggelengkan kepalanya dengan ekspresi sedih. Diana mengerti maksud David. Ia tidak bertanya lagi.

"Sebulan sudah terlewati lagi," ucap Diana sambil melihat kalender.

"Diana.."

"Tidak apa-apa, kak. Kita akan tetap menunggu, kan?" Diana mencoba tersenyum berharap David menghilangkan ekspresinya saat ini.

Ekspresi khawatir.

Tapi ekspresi David tidak berubah dan malah semakin terlihat lebih khawatir lagi.

*****

"Hasil ujian tengah semesterku sudah keluar." Revan memulai pembicaraan di dalam mobil.

Saat ini ia di mobil karena seperti biasanya ia dijemput oleh kakaknya.

"Benarkah? Biar kutebak, nilaimu pasti sempurna," kata Valen tersenyum dengan alis terangkat

"Nilaiku berada diurutan pertama, ini belum apa-apa. Tunggu saat ujian akhir semester nanti," kata Revan.

"Aku tahu kau memang adikku yang terbaik," puji Valen.

"Kau sekarang mau memberiku hadiah apa padaku?" Revan menyeringai.

"Emm.. Apa ya?" Valen bergumam terlihat sedang berpikir. "Katakanlah apa yang kau mau."

"Hm? Kau mau mengabulkan apapun itu?" Revan masih menyeringai.

"Tentu saja-"

Revan hampir tak percaya.

"Itu tidak mungkin," ucap Valen menyambung perkataannya.

Revan memandang malas kakaknya.

"Tapi itu tergantung apa dulu yang kau minta." Kini perkataan Valen selesai.

"Bagaimana jika aku belum tahu apa yang ingin aku minta?" tanya Revan.

Valen mengernyit. "Ya sudah jika tidak ada yang-"

Revan memutus ucapan Valen, "Aku tidak bilang jika tidak ada yang ku minta, aku bilang aku belum tahu. Jadi aku akan menganggap ini hutang yang harus kau bayar saat aku sudah memutuskan apa yang ku minta."

Revan berkata dengan ekspresi puas.

"Ya-ya, terserah kau saja." Valen membelokkan mobilnya karena tikungan.

"Deal."

"Tentang prestasimu ini, tidakkah kau memberitahu ayah? Kau sudah menyingkirkan teman sekelasmu padahal kau masih murid baru."

"Kau berkata seolah-olah aku baru belajar. Selama sekolah dulu aku juga belajar tau," balas Revan mengambil topik yang berbeda dari intinya.

"Mungkin ayah merasa bangga jika dia tahu tentang ini." Valen ingin hubungan ayah dan Revan menjadi lebih baik.

Tapi Revan hanya menanggapi dengan diam. Tatapannya lurus ke depan.

"Aku terlalu malas," ucap Revan pada akhirnya.

"Itu tidak membuang banyak energi. Kenapa kau malas?"

Ayolah Valen, kau pasti tahu Revan tidak mau membahas hal itu. Mood Revan yang awalnya bagus seketika berubah.

"Dia tidak ada di rumah dan sulit ditemui. Dia juga pasti sibuk dan hanya mau informasi yang benar-benar penting. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia? Itu bahkan memboros energi." Revan berkata dengan nada malas.

"Jika ini tentang kelulusan dan aku yang terbaik diantara murid seangkatan, itu baru bisa dibanggakan."

Revan ingin menghentikan Valen dengan kalimatnya terakhirnya itu.

Tapi, bahkan jika itu terjadi apakah dia benar-benar bangga? Mungkin dia tidak peduli dan aku juga tidak akan pernah memberitahunya, batin Revan.

*****