"Kevin! Kau tidak boleh berteriak. Ini perpustakaan tahu!" Diana mengomel karena kesal dikagetkan oleh teman satu sekolah menengah pertama dengannya dulu.
Sekarang mereka berbeda kelas. Sebenarnya Diana tidak akrab dengan Kevin, hanya saja Kevin suka sekali mendekatinya, begitu yang dipikirkan Diana di otaknya.
Bukannya tidak tahu kalau Kevin menyukainya, hanya saja Diana sudah menyukai orang lain dan masih tetap menyukainya hingga sekarang.
"Apa yang kau baca?" kata Kevin tanpa merasa bersalah.
Diana menghela napas, "Memangnya kau tidak lihat?! Aku membaca buku."
Kevin cemberut, "Aku tahu kau membaca buku, maksudku buku apa yang kau baca?" tanya Kevin tak menyerah sekalipun Diana membalasnya dengan dingin.
"Nih, baca sendiri!" Diana menunjukkan sampul bukunya pada Kevin.
Sebenarnya Diana tak berniat kasar pada Kevin. Dia begini karena masih dalam keadaan kesal dengan kedatangan Kevin tadi yang membuatnya kaget, jadinya mood-nya Diana berubah jelek.
Coba kalau Kevin datangnya baik-baik, Diana akan bersikap santai seperti biasanya padanya.
Revan dari seberang meja memperhatikan interaksi keduanya. Kevin adalah teman sekelas Revan. Dan Revan tahu bahwa Kevin lah yang selalu menatap tak senang padanya dikelas.
Kevin adalah satu-satunya yang begitu di kelasnya.
"Diana, kenapa dia bisa semeja denganmu?" tanya Kevin sambil menunjuk Revan.
"Memangnya ini meja mu? Semua orang punya hak yang sama untuk duduk di sini," Diana masih menjawab pertanyaan Kevin dan sekarang dia makin kesal karena Kevin bertanya terus.
"Bisakah kau berhenti bertanya? Kau cerewet sekali," kata Diana.
"Iya-iya aku tahu, aku memang cerewet."
Kevin akhirnya menutup rapat mulutnya. Namun matanya masih memperhatikan Revan dengan tak suka.
Seseorang tiba-tiba berdehem membuat Kevin mengalihkan pandangannya ke arah seorang gadis yang berdiri di sisi meja. Begitu juga yang dilakukan Diana dan Revan.
Orang itu berhasil menarik perhatian ketiga remaja yang berada di meja itu.
"Permisi, boleh aku duduk disini?" tanya gadis itu sambil tersenyum.
"Lily? Kau mau duduk di sini memangnya tidak ada meja yang lain? Atau karena seseorang yang kau sukai ada di sini?" tanya Kevin jahil.
Lily adalah teman sekelas Revan dan Kevin. Kevin tahu motif Lily dengan jelas.
Begitu juga dengan Revan dan Diana yang tahu maksud Lily. Tapi keduanya tak menyangka Kevin dengan terang-terangan mengatakan hal itu.
Diana menghela napas.
Berkata secara blak-blakan memang tidak aneh untuk Kevin, batinnya mengingat sifat Kevin yang suka berterus terang.
Lily tersenyum canggung, tapi terlihat jelas dia malu sekaligus jengkel pada Kevin sekarang.
Diana akhirnya memutuskan untuk menjawab dan ia mempersilahkan Lily untuk duduk bergabung dengan mereka. Hal itu membuat Kevin dan Revan tidak senang.
Revan yang tidak senang karena Lily dan teman-temannya ingin ia hindari. Sedangkan Kevin tidak senang karena ia tidak berhasil mengusir Lily.
"Apa?" tanya Diana pada keduanya dengan mata menyipit.
Menyadari tatapan dari kedua orang itu Diana tak terima. Mereka tidak senang dengan keputusannya menerima Lily padahal mereka saja tidak minta izin.
Apalagi Kevin, kau juga sama dengannya! batin Diana.
Ia tahu Kevin mendekatinya disini karena ingin mendekatinya. Berarti Kevin memang sama dengan Lily.
Mereka berdua terdiam karena ragu untuk bersuara menjawab Diana.
"Setidaknya Lily lebih baik dari kalian yang seenaknya duduk tanpa permisi." Diana menyindir para pemuda itu.
Mendengar itu, keduanya membeku tak berani membantah. Sedangkan Diana kini tersenyum pada Lily.
Dipikiran Diana, selain ia mau memberi pelajaran pada kedua pemuda itu, ia juga tidak ingin membuat Lily memusuhinya.
Diana tahu saat Revan duduk di dekatnya, ketiga gadis penggemarnya itu termasuk Lily memandangnya dengan pandangan tak suka. Mungkin mereka akan membenci Diana jika ia menolak.
Sebisa mungkin aku tidak perlu terlibat dalam masalah, batin Diana.
Ia cukup peka dengan keadaannya.
Selanjutnya mereka berempat menghabiskan waktu sampai bel berbunyi tanda istirahat berakhir.
Tentu saja dihabiskan dengan Lily yang mencoba mengajak Revan mengobrol tapi ditanggapi dengan dingin. Semua perkataannya dibalas dengan singkat.
Hal yang sama berlaku pada Diana. Kevin terus berbicara padanya.
Setelah beberapa menit tidak fokus membaca karena ocehan Kevin, Diana akhirnya membungkam Kevin dengan tatapannya yang tajam.
*****
"Aku pulang!" Seru Kevin sambil membuka pintu.
"Selamat datang, kak!" Seorang anak berumur sembilan tahun menyambut kedatangannya.
"Edward mana yang lainnya?" Kevin bertanya pada anak itu yang bernama Edward.
"Mereka ada yang mengerjakan tugas di kamar, ada juga yang mandi, dan ada yang sedang beres-beres. Aku sekarang kebetulan disini juga bersih-bersih saat kakak pulang," jelas Edward.
Kevin mengangguk. "Lanjutkan pekerjaan mu, aku akan pergi keluar setelah ganti baju."
"Kakak mau bekerja lagi?" tanya Edward.
Kevin mengangguk.
"Hm, dan nanti aku akan makan malam di luar. Beritahu Kak Jessie supaya tidak membuat makanan lebih, ya!" Kevin membelai kepala Edward.
Edward mengangguk sebagai balasan.
"Jangan lupa nanti malam jangan sampai telat pulang," kata Edward.
"Aku tahu, aku tidak akan telat."
Kevin tahu maksud perkataan Edward. Mereka harus tidur tepat waktu karena besok mereka harus bangun pagi-pagi buta. Setiap hari mereka membuat roti bersama sebelum dijual pada pagi harinya.
*****
"Kau lama sekali." Revan berkata sambil duduk di sebelah kursi pengemudi setelah masuk ke dalam mobil dan menutup pintu mobilnya.
"Maaf. Kau pasti sudah menunggu lama," ucap pengemudi itu mulai menjalankan mobilnya. Dia adalah Valen.
Revan menggumam sebagai balasan. Ia lalu memandang ke jendela disampingnya. Tidak sengaja matanya melihat Kevin sedang menaiki sepeda motor dengan memakai seragam pengantar pizza.
'Itu dia?' batin Revan ragu.
"Revan, ada yang mau kuberi tahu padamu." Tiba-tiba Valen berbicara.
Walaupun begitu ia berbicara dengan pandangan ke depan dan terus fokus ke jalanan di depannya.
Revan lagi-lagi hanya bergumam sebagai balasan. Valen menghela napas.
"Ayah sudah pulang ke rumah," kata Valen.
Hening.
Revan terdiam dan tak membalas. Bahkan gumamannya pun tidak terdengar meski hanya sebuah gumaman kecil.
*****
Diana membantu membereskan restoran tempatnya bekerja setelah tiba waktunya tutup.
Teman-teman Diana yang bekerja disana bersiap-siap untuk pulang. Sedangkan Diana masih menemui manajernya untuk memberikan kunci pintu depan restoran.
Ia lalu mengganti pakaian seragam kerjanya dengan seragam sekolah lalu keluar lewat pintu belakang. Pintu belakang akan dikunci oleh manajernya sendiri.
Diana tentu saja pulang ke rumah dengan mengunakan sepedanya sebagai alat transportasi atau sebagai kendaraannya. Di tengah perjalanan pulang tiba-tiba ia melihat ada dua orang yang dikenalinya.
Sedang apa mereka? batin Diana.
Ia menyipitkan mata sambil terus mendekat, mengurangi jarak antara ia dan dua orang itu.
Tiba-tiba Diana melotot. Ia bergumam, "Oh tidak, apakah mereka mau berkelahi?"
*****
Revan sedang duduk sendirian di halte bus. Ia menatap ke jalanan dengan pandangan kosong. Ia keluar dari rumah sejak pulang dari sekolah.
Ia menghabiskan waktunya dengan berkeliaran, mulai dari ke toko buku, kafe untuk makan malam lalu sisanya berjalan-jalan disepanjang trotoar di depan toko yang berjejer. Revan berjalan kaki tanpa tujuan yang pasti.
Sekarang sudah jam sebelas malam, waktunya pulang.
Di halte ini hanya dirinya yang menunggu bus. Sampai akhirnya ada seseorang datang.
"Kau?! Kenapa kau ada di sini?" sahut orang itu dengan nada terkejut.
Revan yang merenung dengan perasaan jelek langsung merasa kesal, mau tak mau ia memandang orang yang bertanya padanya itu. Karena ia tahu hanya ada dirinya di sini maka memang dirinya yang sedang ditanya.
"Ini tempat umum. Aku rasa kau tidak terlalu bodoh untuk bertanya hal yang tidak perlu." Revan merasa lebih kesal saat tahu siapa orang yang bertanya itu.
"Apa?! Kau sombong sekali!"
"Urus saja urusanmu sendiri!" perasaan Revan sedang kacau, dan sekarang bertambah kacau.
*****