"Mereka akan dinyatakan kalah jika mati ataupun bertekuk lutut dihadapan lawan."
Ren dan Amour saling menatap, tatapan mereka penuh dengan determinasi dan keinginan untuk menang.
"Sudah cukup protesnya, Ren?" Amour bertanya dengan nada menantang, senyumnya menciptakan bayangan yang misterius di wajahnya. "Aku melihat keputusasaan di matamu."
"Iyakah? Periksakan kembali matamu, justru saat inilah..."
Ren mengangguk, menggenggam pedang pendeknya dengan erat. "Tanpa kau tanya sekalipun, darahku sudah mendidih."
Dengan tepukan tangan dari Soixante, duel pun dimulai. Ren dan Amour bergerak dengan lincah di atas lapangan, serangan dan perlawanan mereka begitu cepat sehingga mata yang tidak terlatih akan kesulitan mengikutinya.
Di tengah-tengah duel yang sengit, Ren selalu memikirkan celah dan keputusan untuk menyerang, meskipun menerima sedikit luka goresan di pinggir perut dan lengannya.
Ren mampu bertahan dengan pedang pendek dari kayu miliknya untuk menepis setiap sambaran tombak dari Amour.
"Ada apa, Ren?" Amour terus menyerang dengan sambaran tombaknya yang ia lakukan dengan sangat cepat. "Kau tampak kewalahan, sudahkah kau menyadarinya?"
"Tombak di area yang terbuka dan luas. Selalu menang!"
"(Brengsek satu ini terus mengoceh.)" Ren benar-benar kewalahan karena hanya dengan pedang kayu miliknya kecil kemungkinannya untuk selalu menepis tiap sambaran tombak dari Amour.
"Menyerahlah, Ralph menungguku." Amour terus provokasi kepada Ren.
Ren seketika menggertakkan gigi dan mengabaikan rasa sakit untuk terus maju.
"Ada apa? Kau pun terpikat oleh Ralph bukan? Kalau begitu kita seharusnya berteman sebagai sesama penikmat dan peminat Ralph."
"Kau terus mengoceh, sial!" Ren seketika menerjang dan menghunuskan pedangnya hingga berhasil memojokkan Amour.
"Kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku, Ren!" teriak Amour sambil menyerang kembali dengan ganas.
"Tidak untukku!" Ren menemukan celah dalam pertahanan Amour dan seketika melancarkan pukulan cepat dan kuat dengan pangkal gagang pedang ke arah dada Amour hingga dirinya terpelanting jauh.
SRATTTT!
"Urghh... Tampaknya kau belum kehilangan semangatmu, Ren." Amour bergumam sambil mencoba bangkit kembali.
Tak cukup sampai di situ, Ren mengejar Amour yang terkapar setelah terpelanting cukup jauh lalu menggenggamnya dengan kekuatan yang masih tersisa. "Habislah kau di sini!" serunya, mengangkat kedua tangannya ke atas lalu mengepalkan kedua tangannya menjadi satu dengan sikap menantang.
Ren ragu untuk menyelesaikannya karena Amour benar-benar terlihat tak berdaya dan lemah.
Amour, meskipun terlihat tak berdaya, tersenyum dengan licik. "Tidakkah kau ragu untuk menyelesaikan ini, Ren? Sepertinya kau tidak begitu yakin dengan tindakanmu sendiri."
Ren tertawa sinis. "Apa yang bisa kau lakukan dalam keadaan seperti ini, Amour? Hanya berserahlah."
Amour tersenyum tipis sambil menggeleng. "Ah, Ren. Kau pikir aku begitu lemah?"
Ren terdiam sejenak, tatapannya bingung. "Apa yang kau bicarakan?"
"Ren! Tombaknya!" Ralph berteriak saat Amour berusaha meraih sesuatu.
Tanpa menunggu jawaban, Amour dengan cepat meraih tombaknya yang tergeletak di sampingnya. Dengan gerakan yang lincah, ia meluncurkan serangan balik yang tak terduga ke arah Ren.
Ren terkejut oleh tindakan yang tiba-tiba itu, terpaksa melompat mundur untuk menghindari serangan Amour yang tiba-tiba itu. "Kau licik, Amour! Bermain kotor dalam duel! Tidak ada kehormatan dalam tindakanmu!"
Amour hanya tersenyum dengan penuh kepuasan. "Ah, tetapi di medan perang, kecerdikanlah yang akan membawa kemenangan. Kau seharusnya belajar dari pengalaman ini, Ren."
Saat Ren berusaha bangkit, Amour seketika berbalik menerjang Ren dengan sambaran tombaknya.
Kejadian yang begitu cepat tak terelakkan, sehingga terpaksa Ren menerima semua sambaran tersebut mengakibatkan dirinya bersimbah darah.
Ren kini terkapar di tanah, hampir tak sadarkan diri setelah serangan balik tak terduga dari Amour. Pandangannya kabur, tetapi tiba-tiba, ia terpaku pandangannya pada mata Ralph yang penuh harapan.
"Kumohon, menangkan duel ini, Ren," seakan-akan mata Ralph mengirimkan pesan yang jelas.
Dengan kekuatan yang tersisa, Ren bangkit berdiri, mengabaikan rasa sakit yang menusuk tubuhnya. Ren menopang tubuhnya dengan berpegangan pada pedang pendeknya itu
"...aku tidak peduli lagi, Tuhan, dewa, malaikat... bahkan... iblis sekalipun, manakah... dari kalian... yang bersedia... menolong?"
"...kumohon, kali ini saja..."
Tapi seketika Soixante menepukkan kedua tangannya untuk menyudahi sumpah berduel ini.
"Yang terhormat, Amour, adalah pemenangnya," ujar Soixante dengan suara lantang, menyatakan hasil duel.
Ren merasakan kekecewaan yang mendalam, tetapi ia tidak dapat menyangkal bahwa Amour adalah lawan yang lebih unggul kali ini.
"...aku, kalah...?" gumam Ren menemukan tatapan sedih dan kecewa dari mata Ralph dan Ralph pun yang menyadari Ren menemukannya ditengah kerumunan lalu menunduk seketika.
Dengan hati yang terhimpit oleh rasa kecewa, Ren merasa seperti ia telah mengecewakan tidak hanya dirinya sendiri, tetapi juga Ralph yang menaruh harapan padanya.
Di tengah kerumunan yang padat, Ren menemukan sinar harapan kecil ketika ia melihat pandangan Ralph. Meskipun Ralph terlihat sedih, ada kerlingan kecil dari mata Ralph yang seakan-akan mengatakan, "Kumohon, jangan menyerah."
Ren terus mengamati Ralph, mencari kekuatan dan semangat dari pandangannya. Akan tetapi, tiba-tiba, pandangannya terhalang oleh sosok Amour yang datang menghampiri Ralph.
Ren hanya terdiam, memperhatikan Amour yang tampaknya tersenyum bersamaan dengan memainkan rambut Ralph dan mengusap-usapkan jempolnya ke pinggir bibir Ralph saat sedang berbicara dengan Ralph.
Amour menutupi pandangan Ren pada Ralph, dan Ren tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
Terutama Ralph, yang tampaknya sedang menanggapi Amour dengan ekspresi yang murung dan terus menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan perasaan sedih dan kecewa.
Ren merasa gelisah, tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara Amour dan Ralph. Ia merasa semakin terasing, terdampar di antara perasaan bersalah dan kekecewaan, bertanya-tanya apakah hubungan mereka akan tetap sama setelah insiden ini.
Dengan sisa-sisa tenaganya. Ren terus menggenggam pedang kayu miliknya sampai terkoyak. "Bagaimana bisa... aku kalah?"
Ketika suasana mulai semakin tidak tertahankan, Ren merasa sentuhan lembut di pundaknya. Ia menoleh dan melihat Violet, teman satu panti asuhan keluarga "Murphy", dengan senyum lembut penuh kecemasan disusul pula Louise dibelakangnya Violet.
"Ren, kamu baik-baik saja?" tanya Violet dengan suara lembut, matanya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Ren mengangguk pelan, meskipun hatinya masih bergemuruh. "Aku... aku tidak tahu, Violet. Aku hanya ingin memastikan Ralph baik-baik saja."
Violet menarik napas dalam, lalu merangkul bahu Ren. "Ayo, kita pulang. Louise sedang menunggu. Kita bisa bicara lebih banyak di perjalanan."
Louise dengan cepat merangkul Ren dari sisi lain, matanya penuh rasa ingin tahu dan khawatir. "Ren, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau menantang Amour? Apa kau tidak tahu siapa dia?" tanya Louise bertubi-tubi.
Ren terdiam, merasa sangat kesal.
Violet sedikit terkejut, "Tunggu sejak kapan dirimu di sini Louise!?"
Louise mengelak, "Tentu saja dari tadi!"
Ren merespon pertanyaan Louise barusan. "Kau tidak tahu. Amour tidak sehebat itu..."
"...Aku, bisa menghancurkan orang sepertinya."
"Ren...?" Louise terdiam.
"Tapi bukan berarti kamu bisa se-" Kalimat Violet terpotong oleh sahutan dari Amour yang mendekat dengan Ralph.
"Whoaa, pedas sekali ucapanmu, kau tidak boleh begitu, Ren." Amour menghampiri Ren yang masih terkapar.
"Lihatlah, Ralph akan sedih jika mendengarmu berkata seperti itu." Amour merangkul Ralph pada pinggangnya.
Ren yang masih terkapar mendongak ke atas, menatap Amour dengan penuh kebencian. Sementara Ralph menundukkan pandangannya, merasa terhina dan kecewa.
"(...Kau, begitukah perilakumu sebagai bangsawan? Kau tak pantas melakukan hal semacam itu.)"
"(Bangsawan... bangsawan... bangsawan...)"
"(Sungguh. Jika diriku terseret ke penghakiman terdalam, lantas dirimu lah. Amour. Yang akan kucari terlebih dulu.)"
Amour menyeringai, merasa puas dengan respon yang ia dapatkan dari Ren.
"BRENGSEK!!" Situasi tiba-tiba berubah saat Louise, yang tidak tahan lagi melihat bagaimana Amour memperlakukan Ren, mengepalkan tangan dan menghampiri Amour dengan wajah penuh kemarahan.
"Amour, kau keterlaluan!" Louise mendesis, matanya menatap Amour dengan tajam. "Aku bisa menerima jika Ren kalah, tapi menghina dia saat dia tak berdaya? Apa-apaan maksudmu itu!"
"Oops, tampaknya terpancing satu monyet rendahan." Amour tertawa pelan, menyentakkan pandangannya dari Ren ke Louise.
"ENYAHLAH KAU BANGSAWAN!!!"
Louise mengulurkan tangan untuk mendorong Amour dengan amarah yang tak bisa lagi ia bendung, sebelum ia berhasil melakukannya, Violet dengan sigap melangkah cepat dan menahan Louise.
"Louise! Jangan," ucap Violet tegas, berusaha menarik Louise mundur. "Ini bukan saatnya... Tenanglah."
Amour tampak menikmati kericuhan yang dibuatnya. "Oh, jadi kalian semua masih setia pada Ren? Orang sepertinya? Padahal, jelas-jelas dia hanya beban," ucap Amour dengan nada sinis, lalu beralih menatap Louise. "Mungkin kau yang seharusnya minta maaf, Louise, karena sudah menyusahkan dirimu sendiri dengan orang seperti Ren."
Louise yang semakin emosional mencoba meronta dari pegangan Violet, matanya berkaca-kaca, penuh kemarahan. "Kalau kau punya sedikit harga diri, Amour, kau akan meminta maaf pada Ren. Sekarang."
Violet mempererat genggamannya di lengan Louise. "Tidak, Louise. Bukan dengan cara ini," kata Violet, suaranya tegas namun penuh kesabaran. "Kita tak perlu terjerat dalam permainan Amour."
Ren yang masih terkapar di tanah hanya bisa memandang mereka dengan tatapan yang suram, menyimpan amarah yang membara dalam hatinya. Dalam hati, ia merasakan kebencian yang semakin kuat terhadap Amour.
Akhirnya, Violet mengisyaratkan kepada Louise untuk mundur, dan dengan enggan, Louise menuruti permintaannya. Mereka berdua membantu menuntun Ren yang terluka dan beranjak pergi, meninggalkan Amour dan Ralph di belakang mereka.
Saat mereka berjalan pergi, Amour hanya menatap mereka dengan senyum mengejek, seakan kemenangan kecil ini hanyalah permulaan. "Ayolah jangan seperti itu, tidakkah dirimu terhibur melihat betapa kecilnya mereka, terlebih lagi. Ren."
Ralph hanya terdiam, menahan kesedihannya. "...Ren"
Di sisi lain. Ren menghela napas panjang saat mereka mulai berjalan meninggalkan dari lapangan itu. "Aku tahu siapa dia, Louise. Tapi aku tidak bisa diam saja melihat dia mempermainkan Ralph."
Louise mengerutkan kening. "Tapi, Ren, Amour bukan orang yang bisa dianggap enteng. Dia punya pengaruh besar di sini. Kau harus berhati-hati."
Violet menimpali dengan suara yang lebih tenang. "Louise, beri Ren waktu untuk menjelaskan."
Ren merasakan dadanya sesak. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Ralph. Aku tidak bisa melihat dia diperlakukan seperti itu oleh Amour."
Louise menatap Ren, "Sudah kuduga! Pasti ada sesuatu diantara kau dan Ralph bukan?! Pasti begitu!"
Violet sontak memukul pundak Louise, "Bukan saatnya untuk itu, Louise bodoh!"
Ren merasa pandangannya perlahan kabur.
"Lagipula, aku sebenarnya telah menghajar senior busuk itu dengan sangat telak, tapi karena ada bangsawan di sana... ja...di... urghh-" Ren seketika ambruk dengan darahnya yang terus mengalir dari sekitaran pinggangnya.