Chereads / GLEIPNIR: Nihil / Chapter 3 - 2 - Kuda-Kuda Berpedang

Chapter 3 - 2 - Kuda-Kuda Berpedang

Ren dan Ralph terus melanjutkan latihan pedang mereka hingga menjelang malam. Dalam kegelapan malam yang mulai menyelimuti hutan, mereka saling beradu teknik dan keahlian. Setiap serangan dan pertahanan mereka menghasilkan suara pedang yang berdenting dan memenuhi udara.

Waktu berlalu, dan akhirnya Ren dan Ralph menemukan diri mereka duduk di bawah pohon besar yang berjejeran di tepi sungai kecil. Udara sejuk sambut hari menjelang fajar menyingsing itu menyejukkan tubuh mereka yang berkeringat akibat latihan yang intens.

"Kau tahu, Ren, aku harus mengakui bahwa kemampuanmu dengan pedang sungguh sangat mengesankan," kata Ralph sambil mengusap keringat dari dahinya.

"Oh ya? makasih." Ren tersenyum dengan bangga.

"Berbahagialah karena seorang anak putri kepala desa telah mengakuimu." Ralph mengangguk setuju.

"Aku tidak tahu apakah itu sebuah penghargaan atau penghinaan tapi akan kuterima itu." Ren mengambil nafas dalam-dalam.

"Ehh...? Begitukah jawabanmu?" Ralph tersenyum.

"Kurasa latihan bersamanya kita sambung lain waktu lagi. Ada pelatihan yang harus aku ikuti hari ini." Ren memastikan semuanya terlebih dahulu sebelum pergi.

"Ooh kamu ada pelatihan ya? Kalau begitu semoga sukses!" Ralph menepuk pundak Ren untuk menyemangatinya.

"Kalau begitu sampai jumpa lagi... Ralph." Ren mengambil barang bawaannya dan hendak pergi.

"Semangaattt!" Ralph menyemangati Ren.

Sesaat sebelum Ren meninggalkan tempat tersebut, Ren berbalik untuk memberitahu sesuatu pada Ralph.

"Sekedar mengingatkan, di sini ada beberapa binatang buas seperti beruang hutan, bersembunyilah kalau kau tidak ingin dimangsa."

Ralph sontak membalas, "Tenang saja, kamu tidak perlu khawatir. Aku kuat lho!"

"Aku berkata serius," Ren memasang wajah serius lalu meninggalkan Ralph begitu saja. "Sampai jumpa lagi."

"...Serius?" Ralph sedikit gemetar mengetahui Ren yang justru memasang wajah serius. "Itu tidak lucu kalau kamu berusaha menakut-nakuti tahu!"

"Duarius. Aku tidak berbohong."

"O-Oh iyaa... ngomong-ngomong soal pelatihan. Aku kan pengawasnya, jadi aku akan ikut turun, heh..." Ralph dengan malu-malu mendekati Ren, "...aku takut kalau sampai dimangsa beruang."

"Aku sudah menduganya," Ren menuruni hutan secara perlahan sambil mengarahkan jalannya pada Ralph.

Ditengah perjalanan saat menuruni hutan.

Ralph mengusap keringat di dahinya, "Tidak kerasa, ternyata sekedar menuruni hutan pun terasa melelahkan ya?" 

"Biasa aja kok. Kau tidak terbiasa," Ren tanpa basa-basi tetap melanjutkan perjalanannya walaupun Ralph mulai tertinggal setiap langkahnya.

"Tunggu dong!"

Ralph mengejar Ren yang semakin berjarak darinya, saat berusaha menghampirinya Ralph justru terpeleset dan hampir tergelincir saat menuruni hutan.

Ren dengan sigap menarik tangan Ralph saat hampir tergelincir, "Hampir saja."

"Aku sudah bilang jangan lari-lari saat menuruni hutan."

"KAMU TIDAK ADA MENGINGATKANKU SEMACAM ITU!!" Ralph dengan ekspresi cemberut memarahi Ren.

"Berteriak juga dilarang di hutan."

"Terserah kamu saja," Ralph masih canggung karena Ren masih menggenggam tangannya.

"Bisa minta tolong, lepaskan tanganku? Kamu menggenggamnya terlalu kuat tahu."

"Yakin bisa jaga keseimbanganmu?" Ren masih menahan Ralph.

"...yakinn," Ralph sedikit ragu dengan jawabannya.

Ren merenggangkan tangannya dari genggaman Ralph dengan senyum remeh, "Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, jaga keseimbanganmu dengan baik."

Ralph mendengus, mencoba menutupi sedikit rasa malunya. "Aku bisa melakukan hal-hal seperti ini sendiri, tahu."

Ren hanya mengangkat bahunya sambil melanjutkan langkahnya. "Tentu saja, aku tidak meragukan kemampuanmu. Tapi tidak ada salahnya saling membantu, kan?"

Ralph mengikuti langkah Ren dengan hati-hati, mencoba menutupi kecanggungannya. "Tentu saja, tapi aku tidak butuh bantuanmu terus-menerus."

"Siapa bilang aku terus-menerus memberimu bantuan?" Ren tersenyum lebar, menggoda Ralph sedikit.

Ralph mendengus pelan, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Kamu tahu benar apa yang kumaksud."

Mereka melanjutkan perjalanan menuruni hutan dengan suasana yang lebih ringan, sesekali tertawa kecil saat Ralph hampir terpeleset lagi atau saat Ren memberi komentar jenaka tentang pemandangan di sekitar mereka.

Setelah beberapa saat berjalan, Ralph akhirnya menghentikan langkahnya. "Ren, lihat!"

Ren berbalik, melihat apa yang menarik perhatian Ralph. Di depan mereka terbentang sebuah telaga air jernih di tengah hutan yang rimbun. Cahaya matahari pagi menerobos daun-daun pepohonan, menciptakan gambaran yang indah.

"Itu benar-benar cantik," ucap Ren, matanya bersinar kagum. "Tapi sayang sekali hari ini kita ada pelatihan, mungkin kapan-kapan?"

Ralph sedikit cemberut mendengar perkataan Ren. "Duh, iya juga ya... Beneran lain kali kita akan kemari lagi?"

"Tentu saja, kalau aku ada waktu kosong"

Ren dan Ralph melanjutkan perjalanan mereka menuruni hutan, tetapi tatapan Ralph masih terpaku pada telaga yang mereka tinggalkan. Ren melihat ekspresi temannya dan menghela nafas.

"Ralph, apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya, mencoba memecahkan keheningan.

Ralph menggelengkan kepalanya, tetapi tatapannya masih terpaku pada hutan di sekitarnya. "Aku hanya berharap kita bisa menemukan sedikit waktu untuk menikmati pemandangan itu. Selama ini semua yang kita lakukan hanyalah berlatih dan berlatih. Kapan kita bisa santai sebentar dan menikmati alam ini?"

Ren memahami keinginan Ralph. "Kau benar. Kita selalu begitu sibuk dengan pelatihan dan tugas-tugas kita. Mungkin kita bisa mencuri waktu sebentar di akhir pekan nanti?"

Ralph tersenyum mendengar saran Ren. "Aku suka ide itu," Ralph memalingkan wajahnya ke arah Ren, matanya berbinar-binar dengan semangat.

"Ren, aku punya ide. Bagaimana kalau kita berjanji kelingking bahwa suatu hari nanti, kita akan kembali ke sini bersama-sama?"

Ren tersenyum, baginya lucu sekali untuk seorang remaja yang masih melakukan janji kelingking, Ren mengangkat jari kelingkingnya. "Tentu."

Ralph menggenggam jari kelingking mereka erat-erat, memperkuat janji mereka untuk kembali ke tempat ini suatu hari nanti. 

Ren dan Ralph tiba di kamp pelatihan mereka dengan napas tersengal-sengal, terlambat untuk latihan pagi mereka. Mereka mendapati lapangan latihan yang ramai dengan rekan-rekan mereka yang sedang sibuk berlatih.

Saat mereka tiba di sana, mereka melihat pelatihan sudah dimulai dan sebagian besar rekan mereka sudah berkumpul di lapangan latihan.

"Kita telat," desis Ren dengan nada kecewa.

Ralph mengangguk setuju, tatapannya penuh determinasi. "Tidak masalah, kita harus mengejar ketertinggalan."

Mereka berdua bergegas ke lapangan latihan, melewati barisan rekan-rekan mereka yang sedang berlatih dengan keras. Saat mereka mencapai lapangan, Ren dan Ralph disambut oleh seorang senior mereka, seorang prajurit yang telah lama berpengalaman dalam seni bela diri dengan tombak.

Ralph mengenali wajah senior tersebut segera. "Amour," gumamnya, ingatan akan kejadian saat Ren menghantam rahang Amour membuatnya terpampang jelas.

Ren melihat ekspresi Ralph berubah, dan ia menatap Amour. "Yo, kau telah pulih?"

Amour mendekati lalu menepuk bahu Ralph dengan ramah. "Tenang saja, kamu mengkhawatirkanku bukan? Aku sudah pulih sepenuhnya. Tapi sepertinya ada yang ingin dibicarakan oleh Ren di sini." Matanya memandang tajam pada Ren.

Ren menelan ludah, merasa tegang. "Kenapa melirikku, masih belum puas dengan rahangmu yang sedikit bergeser?"

Amour tersenyum tipis. "Woahhh... tahanlah semangatmu itu, tidak apa-apa, Ren. Sepertinya kita memiliki sesuatu yang harus diselesaikan." Tatapannya berubah menjadi serius, mengisyaratkan bahwa ia ingin berduel.

Ren mengangkat alis, menarik napas dalam-dalam. "Pas sekali, aku mencari rahang yang kuat untuk digeser sekali lagi."

Amour mengambil tongkat kayu panjangnya dengan tersenyum tipis. "Perlu kau ketahui, kali ini berbeda dengan saat kau menghantamku, kita akan berduel di sini, Ren."

"Aku tidak melihat perbedaannya, Kurasa kali ini ada rahang yang perlu kulumat." Ren mengangguk, lalu meraih pedang kayu pendeknya. Mereka berdua berjalan ke tengah lapangan yang terbuka, sementara rekan-rekan mereka membentuk lingkaran di sekeliling mereka.

Ketegangan terasa di udara saat keduanya bersiap untuk berduel. Ren memegang pedangnya dengan erat, sementara Amour menatapnya dengan penuh konsentrasi.

"Ada perbedaannya, kau akan tahu setelah ini" ujar Amour dengan serius.

Ren tersenyum, meskipun dalam hatinya ia merasa gugup. "Kalau begitu perlihatkan padaku, Amour."

Dengan cepat, Amour meluncurkan serangan pertamanya, tombaknya berputar dengan gesit. Ren dengan tangkas menghindari serangan tersebut, sambil mencoba mencari celah untuk menyerang balik.

Duel mereka berlangsung dengan cepat dan penuh ketegangan. Ren menggunakan kecepatan dan ketepatan serangan pedang pendeknya, sementara Amour memanfaatkan kekuatan dan kelincahan dengan tombaknya.

Tubuh mereka bergerak dengan lincah di lapangan, menghasilkan derap langkah dan suara benturan logam yang bergema. Para rekan mereka yang menyaksikan berteriak-teriak memberikan semangat, menciptakan atmosfer yang semakin memanas.

Tetapi, akhirnya, setelah serangkaian pertukaran serangan yang sengit, Ren berhasil menemukan celah. Dengan gerakan cepat, pedangnya menyambar ke arah Amour, membuatnya terpaksa mundur.

Saat Ren dan Amour siap melanjutkan pertarungan, tiba-tiba datanglah seorang bangsawan. Ia memiliki wajah yang penuh keanggunan dan aura kekuasaan yang tak terbantahkan.

"Oh Soi," seru Amour, menyambut kedatangan bangsawan tersebut.

Soixante tersenyum, tatapannya melintas di antara Ren dan Amour. "Soixante, Kuperingati untukmu Amour... Dan maaf mengganggu, diriku ingin menyampaikan sesuatu pada duel kalian."

Ren dan Amour saling pandang, penasaran dengan tawaran bangsawan tersebut.

"Apa yang kau maksud, Bangsawan?" tanya Ren dengan hati-hati.

Soixante tersenyum. "Diriku ingin duel ini tidak hanya sebagai duel, tetapi juga sebagai taruhan yang menarik. Jika kalian setuju, diri ini akan memberikan hadiah kepada pemenang."

Ren dan Amour saling pandang, mereka berdua tertarik dengan tawaran tersebut. "Apa yang kau tawarkan sebagai hadiah?" tanya Amour.

Soixante tersenyum misterius. "Itu akan menjadi rahasia sampai duel berakhir. Jadi, apakah kalian setuju?"

Ren dan Amour saling pandang sebentar, sebelum akhirnya mengangguk setuju.

"Duel kita akan menjadi lebih menarik, Ren," kata Amour dengan senyuman.

Ren mengangguk. "Aku selalu siap, Amour. Khawatirkan dirimu sendiri."

Soixante melangkah maju, wajahnya serius. "Kalau begitu hendaklah kalian nyatakan sumpah kalian atas nama Tuhan lalu katakan apa yang akan kalian pertaruhkan."

Ren mengangkat tangannya. "Aku. Ren. Menyatakan sumpah berduel atas nama Tuhan. Kupertaruhkan duel ini dengan kemenangan meraih hormat."

"Yang benar saja? Hanya sebuah omong kosong... hormat?" Amour tertawa lalu bersamaan dengan mengangkat tangannya untuk bersumpah duel dan meraih tombak sungguhan.

Ren sontak terkejut. "Tunggu bukankah ini tidak adil? Bangsawan, ini ti-"

"Ini sah." Soixante menyela perkataannya Ren. "Hendaklah kau nyatakan sumpah berduelmu."

"Aku Amour. Aku menyatakan sumpah berduel atas nama Tuhan. Aku akan berduel untuk menang." Amour tersenyum tipis lalu melirik Ralph, "...dan bebas mengajak Ralph kemana saja."

Ren melangkah maju dengan napas memburu, matanya menyala penuh amarah. Tangan kanannya mengepal erat. "Tunggu apa-apaan dengan duel ini!? Kenapa sampai melibatkan seseorang? Masalah awalnya hanya antara kau dan aku!"

"Orang yang hadir disini sebagai saksi, bisa dipertaruhkan. Selaku saksi dari sumpah berduel, diriku sebagai seorang bangsawan menerima tugas untuk menghakimi kepada mereka yang ingkar." Soixante mundur ke belakang.

"Tunggu! Duel ini tidak adil! Aku hanya menggunakan pedang latihan, seharusnya aku diberikan senjata yang se-"

"Duel ini sah, engkau tidak berhak mengganti senjata yang sedang engkau genggamnya dengan yang lain saat sudah menyatakan sumpah berduel" Soixante menambahkan, "Teruntuk kalian yang ingkar, maka diriku sebagai seorang bangsawan berhak menghakimi kepada yang bersalah, selanjutnya. Duel dimulai"

"Bangsawan sialan! Lagi pula dari awal pun sudah aneh! Sejak kapan ada bangsawan di sini!?"