Ren terbangun dari mimpinya, menyadari bahwa dirinya duduk di bawah pohon beringin bersama dengan teman-temannya, Violet dan Louise.
Mereka semua merasa kelelahan telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk latihan intensif dan mengasah kemampuan mereka di kamp pelatihan di puncak Gunung Beryn. Mereka berjuang keras untuk menjadi yang terbaik dan memperlihatkan potensi mereka untuk memajukan desa Caelfall.
Mereka semua juga sepakat untuk mengobarkan semangat dan tekad untuk mencapai tujuan mereka dan memajukan desa Caelfall.
Ren bersama kawan-kawannya adalah anggota dari kamp pelatihan yang berpusat pada Puncak Gunung Beryn.
Tradisi yang sudah ada sejak dahulu di Desa Caelfall adalah mengadakan seleksi yang dibuka untuk setiap anak berusia 16 tahun dengan maksud bertujuan untuk mencari anak-anak yang berbakat dan memiliki potensi untuk memajukan desa Caelfall.
Setiap anak yang terpilih akan mendaki Gunung Beryn, tempat yang dianggap sebagai sumber kebijaksanaan oleh penduduk desa.
"Inilah yang kita tunggu-tunggu, bukan!?" Ren berseru sebagai sorak semangat kepada teman-temannya.
"Kau itu selalu saja bersemangat, Ren." Louise masih tertidur dipangkuan Violet sambil menikmati sayup udara sejuk dibawah pohon beringin.
"Tch, aku tidak ingin mendengar itu dari seseorang yang kerjaannya tidur-tiduran diatas pangkuannya Violet." Ren mengejek Louise yang sedang mengistirahatkan kepalanya diatas pangkuannya Violet.
"Ahahaha... sudahlah biarkan saja... Louise sepertinya memang butuh istirahat." Violet sedikit tertawa sambil bersender di pohon beringin.
"Memang! Memang benar itu! Hanya kamulah Violet yang dapat mengerti perasaanku." Louise mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Violet, dengar ya... kamu terlalu memanjakannya, dia sebetulnya hanya ingin cari perhatian." Ren perlahan berdiri dan meraih tongkat kayu panjangnya untuk ia gunakan berlatih.
"Benarkah begitu Louise?" Violet menjewer pipi Louise.
"Ah aduh aduh itu sakit Violet!" Louise menjerit kesakitan.
"Saat melihat kalian bermalas-malasan, aku jadi ingin melangkah lebih maju dari kalian. Agar aku dapat selalu bilang kehatiku kalau aku lebih baik dari kalian." Ren meninggalkan Violet dengan Louise sendirian di bawah pohon beringin.
"Kau benar-benar penuh semangat ya Ren sialan! Aku tak akan kalah darimu!" ujar Louise.
Ren berpartisipasi dalam pelatihan ini untuk membuka potensi dalam dirinya.
Ren yakin bahwa kamp pelatihan di Gunung Beryn akan memberinya pelatihan dan keterampilan yang dibutuhkannya untuk mencapai tujuannya.
Cahaya matahari terbenam memberikan sentuhan kehangatan pada pemandangan di sekitarnya. Akan tetapi, hati Ren tertekan ketika ia melihat teman-temannya yang bahagia dijemput oleh kedua orang tua mereka yang masih lengkap.
Setelah sesi pelatihan berakhir, Ren duduk sendiri di tepi sungai yang mengalir di pinggir desa, lalu melemparkan batu ke air, mencoba untuk mengalihkan perasaannya yang campur aduk.
"Hei kau bocah di sana yang sedang berlatih! Tangkap ini!" Seorang senior melemparinya sebuah kertas sudah tak terpakai yang telah dilumat dan berisi batu keras.
Ren merasakan kepalanya bocor, sesuatu mengalir keluar dari kepalanya.
"...Darah?"
"Huh?" Ren memungut kertas itu.
"Teruslah berlatih sampai tanganmu itu patah, Bodoh!" Gertak seorang senior yang memakinya.
Setiap harinya Ren ditindas oleh senior itu sampai ia menyimpan seluruh kertas yang pernah mengenainya.
Tahu akan dirinya jadi sasaran perundungan dan senioritas yang menjengkelkan, Ren beranjak bangun lalu menghampiri seniornya itu.
"Apa maksudmu dengan melempariku? Ada masalah denganku?"
"Oh kau punya nyali?"
Senior tersebut menarik kerah Ren dan mendorongnya sampai terpelanting cukup jauh.
Saat senior itu ingin menghampiri Ren, seorang gadis putri dari kepala desa yang bertugas sebagai pengamat mengetahui akan pertikaian ini dan berusaha melerai pertikaian mereka berdua.
"Hentikan ini!"
"Kau benar-benar beruntung bocah, gadis cantik ini ada perlu denganku. Bukankah begitu, Ralph?" Senior itu menggoda Ralph sambil berusaha meraih tangannya.
"Hei Ralph... malam ini maukah kamu menemaniku...?" Ralph tampak tidak senang dengan perlakuan senior yang seenaknya sendiri. Senior itu terus menggoda Ralph.
Ren perlahan beranjak bangun.
"Hentikan itu bodoh. Gadis itu tidak merasa nyaman didekatmu, enyahlah kau membuatnya merasa terhina." Ren berpaling setelah mengambil sebilah dahan kayu.
"Oh sekarang seorang kesatria putih telah datang!" Senior itu mencela Ren, lalu meremehkan dengan memandang rendahnya. "Kau tahu, seorang gadis itu hanyalah sebuah al-"
Ren berlari ke arah senior tersebut dan mengayunkan sebilah dahan pohon tersebut dengan sangat kuat hingga mengenai rahangnya.
"ARRGHHH!!! KAUU!!! BOCAH BRENGSEK!!!" Senior itu tak berkutik setelah Ren menghantamnya cukup kuat sampai terbaring lemas ditanah.
Sebagai serangan balasan senior tersebut mencakar muka Ren sampai berdarah.
"ENYAHLAH KAU!!"
"Huh... seperti inikah cara seorang senior bertarung?" Ren terus menghantamnya dengan pukulan kuat hingga melebamkan pipi seniornya.
"Kalian berdua hentikan itu!! Amour... hentikan itu!" Ralph tak kuat dengan pertikaian sampai berdarah-darah seperti itu dan Ralph pun melerai mereka dengan menahan Ren yang mengamuk.
"Pelatihan di kamp itu sedikitpun tidak merubahmu bagaimana caranya berperilaku dengan baik ya!?" ujar Ren yang masih mencoba memberontak dari Ralph dan terus mencoba mendaratkan pukulan kerasnya kepada senior tersebut.
"...Sudah cukup," ucap Ralph dengan terus menahan tubuh Ren yang kekuatan fisiknya tampak tak sebanding dengannya akan tetapi Ralph tetap berusaha untuk melerai mereka berdua karena prioritasnya adalah keselamatan mereka berdua.
"Hanya seorang amatir. Bagaimana bisa dia disebut sebagai senior." Ren menyudahinya dan menjauh setelah menghantam rahang senior tersebut sampai tergeser.
"Dia itu seniormu. Kamu harus menghormatinya." Ralph menundukkan kepalanya menatap ke bawah sambil mencubit lengan Ren yang akan pergi.
"Begitukah jawabanmu setelah ditolong? Baiklah terserah padamu saja." Ren pergi begitu saja karena merasa tidak dihargai walau telah menolong gadis tersebut.
Ren beranjak pergi ke tengah hutan untuk mendapatkan tempat berlatih yang lebih sunyi.
Ralph terus mengamati sosok Ren yang perlahan menghilang dari pandangannya.
"...Terima kasih," ucap Ralph dengan senyum tipis.
Ren telah lama merasakan bosan dengan pelatihan yang tidak membawa hasil yang memuaskan. Menurutnya, itu semua omong kosong dan tidak membantunya dalam mengasah kemampuan.
"Aku pulang!" Ren masih terus memikirkan kembali niatnya sampai di depan pondok tua.
"Oh Kak Rein? Selamat datang!" Adiknya, Roze menyambutnya pulang lalu sontak terkejut.
"Kakek! Kak Rein terluka parah di seluruh mukanya!" Roze kembali masuk kedalam rumah dan mengundang kakek.
"Abangmu baik-baik saja bukan? Sudah kuduga masa-masanya adalah untuk cari perhatian, kakek akan memarahi Ren." Kakek datang dan berbicara di luar dengannya.
"Hei. Tukang pembawa onar! Kau bertengkar dengan siapa!? Mengapa sampai terluka!?" Kakek memarahi Ren dengan nada keras.
"Senior. Di kamp pelatihan" Ren hanya menunduk dan menjawabnya.
"Hmm... Benarkah begitu?" Kakek sedikit menahan diri dan menurunkan suaranya. "Jadi, siapa yang paling terluka? Apa kamu menghajarnya jauh lebih parah?"
"Aku menghajarnya sampai tak berkutik dan tergeletak lemas di tanah." Ren sedikit tersenyum oleh pertanyaan kakeknya yang diluar dugaannya.
"Oh itu bagus, cukup mengesankan." Kakek mengusap keringatnya.
"Jadi ada perlu apa? Jarang sekali melihatmu pulang ke pondok tua ini. Padahal kakek memasukkanmu ke yayasan keluarga besar Murphy agar kamu dapat bertemu banyak keluarga baru. Ada apa? Kamu sedang ada masalah?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin berkunjung ke sini." Ren tersenyum mengakui bahwa walaupun keluarga kecil yang dimilikinya tidak terlalu buruk.
"Lain kali sapalah keluarga barumu. Mereka pun juga khawatir denganmu." Kakek berjalan masuk ke dalam pondok tua.
"Baiklah." Ren sedikit lega karena setidaknya ia punya orang-orang hebat yang selalu menyemangatinya.
"Bagus. Itulah cucu kakek. Sekarang masuklah ke dalam. Roze mengkhawatirkanmu seharian." Kakek menepuk-nepuk pundak Ren.
"Oh iya, Terima kasih..." Ren pulang disambut dengan keluarga kecilnya yang hanya tersisa adik perempuan serta kakek tercintanya.
Di keesokan harinya Ren berangkat pagi-pagi ke panti asuhannya untuk mengikuti sarapan bersama.
Ren melamunkan bagaimana teman-temannya bersenda gurau dengan orang tua mereka, saling berpegangan tangan, dan berbicara dengan bahagia.
Ia merasa iri dan sedih karena tidak memiliki kedua orang tua yang bisa membuatnya bahagia dengan canda tawa seperti itu.
"Andai saja... Aku lebih beruntung..."
Semua teman-temannya, yang pergi bersama dengan tangan ayah atau ibu di pundak mereka, meninggalkan kesan yang mendalam pada Ren.
Ia merasa kesepian dan terabaikan di tengah-tengah kebahagiaan mereka. Pemandangan itu membuatnya seolah-olah dunia memisahkan dirinya dari kasih sayang keluarga.
Saat perlahan sampai, Ren menyeka air mata yang hampir jatuh dari matanya. Ia mengambil nafas dalam-dalam dan mencoba menguatkan hatinya.
Dengan langkah tegap, ia mulai berjalan pulang ke panti asuhan tempat ia tinggal.
"YOO REN! KAU DATANG?!" Louise dari balik pintu panti asuhan langsung kegirangan saat menyadari kalau Ren hadir ke sesi sarapan bersama.
"Sepagi ini kamu datang. Rindu dengan kami?" Violet menyusul dibelakang Louise.
"Cepatlah masuk bodoh! Kali ini Violet membantu ibu pengurus dapur memasakkan sarapannya" Louise menggeret Ren masuk.
Ren disambut dengan hangat oleh ibu pengurus dapur. "Oh, Dik Ren sudah kembali? Duduklah dan ikut sarapan bersama kami."
Violet tersenyum. "Jarang sekali melihat Ren ikut sarapan bersama. Untung saja hari ini aku yang buatin sarapannya."
"Oh jelas! Ren jangan malu-malu kalau ingin nambah porsi!" Louise membantu ibu pengurus dapur untuk meletakkan hidangannya.
"Justru kamu yang sering nambah porsi dasar Louise, bodoh." Violet tersenyum lebar karena momen kebersamaan ini sangat langka.
Mereka semua duduk dengan gembira dan penuh kebahagiaan.
"Uwwaahh... Itu kelihatan enak!" Louise mengambil lalu memakan sepotong kentang yang masih hangat.
"Lagi-lagi Louise. Kamu makan duluan lagi. Cepatlah pimpin doanya." Violet tersenyum atas kecerobohan Louise.
"Oh! Aku lupa! Tidak apa soalnya hari ini kita masih diberikan kesempatan untuk kumpul bersama!" Louise kegirangan lalu disambung dengan memimpin doa.
Mereka semua makan bersama setelah memanjatkan doa.
"Selamat datang kembali Ren." Violet mengambil bangku lalu duduk disampingnya Ren.
"Oh Violet. Ya terima kasih." Ren tersenyum ternyata temannya masih mau menerima dirinya.
"Ren bagaimana kabarmu!?" Louise seperti biasa terlalu bersemangat.
"Aku baik-baik saja!" Ren membalas sapaan dari Louise dengan menyamakan semangatnya. "Aku merasa sangat luar biasa!"
Louise tertawa lepas. "Oh benarkah! Syukurlah kalau begitu! Dan kuharap akan selalu begitu!" Louise terlalu bersemangat.
"Ngomong-ngomong Ren bagaimana dengan pelatihanmu?" Violet mengambilkan Ren minum dengan gelas air putih.
"Sangat melelahkan tapi semuanya baik-baik saja." Ren memakan hidangan sarapannya dengan lahap.
"Terimakasih atas makanannya!" Louise menaruh piringnya ke atas cucian serta membantu ibu pengurus dapur mencucinya.
"Oh sepertinya aku ada pelatihan hari ini juga." Ren menghabiskan makanannya.
"Jangan terlalu buru-buru." Violet menyodorkan gelas air putihnya. "Minumlah dulu, jika kamu berangkat nanti kamu masih bisa sampai tepat waktu. Jadi jangan khawatir."
Ren meneguknya sampai habis. "Tenang saja, aku tidak boleh terlambat, setidaknya inilah bentuk terima kasihku untuk kalian." Ren mengemasi barang-barangnya.
"Baiklah kalau begitu, hati-hati dijalan." Violet membukakan pintunya.
"Sampai jumpa lagi Ren!" Louise melambaikan tangannya.
"Jaga dirimu, Ren." Violet tersenyum lalu melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa lagi!" Ren melambai kembali ke mereka lalu pergi.
Ren pergi ke puncak Gunung Beryn melewati jalan alternatif melalui hutan. Jalan tercepat menuju ke puncak Gunung Beryn tapi sedikit beresiko. Untuk Ren yang sudah menguasai daerah hutan yang dalam semuanya secara menyeluruh tentu baik-baik saja dan ia sampai dengan selamat.
Sesampainya di puncak Gunung Beryn, Ren diberikan tugas untuk membersihkan gudang di kamp pelatihan.
"Kuh, lagi-lagi malah disuruh membersihkan gudang di kamp sialan ini."
Selagi mengangkat barang-barang bekas ke dalam gudang di kamp pelatihan, Ren menengadahkan kepalanya ke atas terpaku oleh betapa megahnya puncak Gunung Beryn yang tersembunyi dibalik lautan awan.
"Lagipula aku tidak menyangka ternyata masih ada lagi... jadi itu puncak tertingginya, ya?"
Setelah menyelesaikan tugasya, Ren melihat sebilah pedang yang menarik perhatiannya, pedang tersebut tergeletak di antara barang-barang yang sudah lama tidak digunakan. Ren merasa tertarik dengan pedang tersebut, akan tetapi dirinya berusaha mengabaikannya. Tetap saja, rasa penasaran pada seni bela diri berpedang mengalahkannya, Ren memutuskan untuk mencoba mengasah kemampuan berpedangnya.
Bermodalkan rasa bosan serta suntuk untuk mengikuti pelatihan tombak, Ren lebih termotivasi untuk mengasah kemampuan berpedangnya. Ia berlatih setiap hari dan berusaha semaksimal mungkin. Kemampuan berpedangnya semakin terasah.
Siapa sangka justru kertas-kertas yang pernah dilempari kepadanya beberapa hari yang lalu memuat beberapa teknik berpedang, tidak begitu lengkap namun masih bisa disempurnakan. "Aku tidak begitu mengerti dengan hal semacam ini, kurasa mencobanya bukan pilihan yang buruk bukan?"
Kaki Gunung Beryn : Area terdalam di hutan.
Ren sudah terbiasa dengan suasana dalam hutan, saat melewati daerah di dalam hutan, ia menemukan sebuah pondok terbengkalai, lalu terpikirkan olehnya untuk memperbaiki pondok kecil dan terbengkalai itu untuk menyimpan berbagai barangnya dan tempat untuk beristirahat.
Memperbaiki pondok kecil tampaknya cukup menguras tenaga, Ren menutup kembali atapnya yang bolong, mengganti dinding kayu yang telah dimakan rayap dan memberi penerangan di sekitarnya.
Setelah pekerjaan yang cukup melelahkan itu, Ren berniat untuk menyempatkan dirinya berlatih pedang.
"Aku, masih sanggup."
Saat Ren sedang fokus berlatih, tiba-tiba nyeri pada tangannya semakin menjadi-jadi sampai membuatnya pingsan.
"Aduh, astaga aku tersesat... Lagi-lagi karena kecerobohanku." Anak gadis dari kepala desa berambut pirang berjalan menyusuri hutan, lalu cukup terkejut mendapati pondok yang dibangun di tengah hutan.
"Ada seseorang di sana." Gadis yang waktu itu kini sedang tersesat lalu berjumpa kembali dengan Ren yang kali ini terkapar di tanah. "Bukankah dia, yang waktu itu?"
"Si bodoh hari itu. Bisa-bisanya sampai pingsan." Gadis itu bergegas menghampiri Ren yang sudah terbaring lemas.
Ren beruntung karena anak kepala desa yang sedang lewat menemukannya. Ren terbangun dari pingsannya dengan posisi kepalanya sedang dipangku. "Oh kamu sudah terbangun? Syukurlah kamu tidak apa-apa."
"Huhh...?" Ren berusaha meraih kesadarannya kembali.
"...Aku cukup terkesan dengan pondok di sana. Kamu yang membuatnya?"
"Sayang sekali bukan milikku..."
Gadis itu memberinya minum dan bertanya tentang keadaannya. "Lantas milik siapa? Terlebih lagi bagaimana keadaanmu sekarang?"
"...Oh kau gadis beberapa hari yang lalu." Ren menyesuaikan posisi kepalanya saat berada dipangkuannya Ralph.
"Aku bukan gadis beberapa hari yang lalu, Aku Ralph." Ralph sedikit tersinggung dan menyentil dahi Ren.
"Oh baiklah... kalau begitu, kau adalah gadis yang lupa berterima kasih saat kutolong itu bukan?"
"Sudah kubilang aku punya nama! Aku Ralph!" Ralph berseteru dengan Ren. "Dan aku sudah berterima kasih padamu!"
"Iyakah? Bukakah saat itu aku langsung pergi begitu saja?" Ren sedikit kebingungan.
"Uhmm... entahlah! Lupakan saja!" Ralph sedikit memalingkan wajahnya saat Ren mengungkit terima kasihnya.
"Jadi apa maumu?" Ren menatap wajah Ralph saat sedang dipangku.
"Aku telah menolongmu yang tengah terkapar di tanah... dan begitukah caramu berterima kasih, diriku merasa tersinggung." Ralph tampak kecewa kepada Ren.
"Cukup adil bukan?" jawab Ren.
"...Lagipula, aku barusan bertanya, apa maumu. Kau tentu saja tidak membantuku tanpa alasan." Ren terbangun dan duduk menghadap Ralph.
"Oh begitukah?" Ralph perlahan berdiri dan hendak pergi meninggalkan Ren. "Tidak apa-apa, lagipula bukan urusanku untuk menerima ucapan terima kasihmu."
"Iya iya aku ngerti kok... Kau. Ralph. Akan kuingat namamu. Terima kasih atas bantuannya."
"Hanya itu yang ingin kudengar, begitu sulitkah bagimu untuk mengucapkan terima kasih...? Kalau begitu sama-sama, aku senang bisa membantumu." Ralph terus menjauh dan meninggalkan Ren sendirian di hutan. "Dan juga tak perlu alasan untuk membantu seseorang yang kesusahan."
"Apa-apaan gadis itu? Menyebalkan." Ren tahu jika Ralph marah terhadapnya dengan segera menyusulnya.
"Ralph. Waktu itu kenapa kau meleraiku?"
Ralph menghentikan langkah kakinya. "Sudah jelas bukan? Kamu harus menghormati seniormu."
"Peristiwa waktu itu bukankah seharusnya terhitung sebagai... membela diriku karena dirundung saat tengah berlatih pedang. Apakah salah tindakanku untuk membela diri?"
"...Berlatih pedang, katamu?"
Ralph memutuskan untuk berbalik dan menatap Ren.
"Jadi bagaimana menurutmu? Kenapa terdiam?"
"Lantas tunjukkanlah padaku. Apa yang kamu maksud dengan berlatih pedang, kamu seorang anggota di kamp pelatihan khusus bukan? Seharusnya tombaklah senjata kebangganmu."
"Bukankah itu juga kebebasanku untuk memilih senjata yang kupakai? Situasi waktu itu juga sedikit rumit... aku tidak punya pilihan lain selain menggunakan aliran berpedang."
"Ingatlah... kamp pelatihan pun punya aturannya sendiri, kamu gak bisa seenaknya sendiri..."
"...Biar kuperingatkan untukmu, sebagai seorang pengamat di kamp pelatihan khusus."
Ralph melanjutkan langkahnya, hendak pergi meninggalkan Ren.
"Kamu begitu menyebalkan, kalau begitu akan kutunjukkan. Apa itu aliran berpedang sejati!" Ren bersorak serta menghunuskan pedang kayunya.
Ralph seketika reflek hendak menghunuskan pedangnya, tapi mengurungkan niatnya.
Ralph hanya memilih untuk meresponnya dengan perkataan, keselamatan tetap prioritas utama. "Oh? Barusan kamu menantangku, hanya dengan sebatang dahan kayu?"
"Koreksi. Ini pedang yang biasa kupakai latihan."
"Teknik barusan... harus dicoba." Saat mengejar Ralph, Ren justru melancarkan tebasan dengan sebilah pedang kayu kepada Ralph.
Ralph reflek berbalik dan menangkisnya dengan tangan kosong. "Hmm?? Begitukah yang terpikirkan olehmu saat melihat gadis sepertiku sendirian di hutan? Asal kamu tahu. Aku tidak akan lengah begitu saja."
"Kau tampak ragu-ragu saat hendak menghunuskan pedangmu, ada apa? Meremehkanku?" Ren menguatkan genggamannya.
"Seharusnya dilaporkan bukan? Skenario dimana seorang pengamat di kamp pelatihan khusus yang sangat menjunjung tombaknya justru hendak menghunuskan pedangnya? Sebuah lelucon hari ini." Ren terus berusaha menyudutkan Ralph.
Ralph terdiam sejenak lalu hanya tersenyum. "Koreksi. Aku sama sekali belum menyentuh gagang pedangnya."
"Lalu? Takut beradu kemampuan pedang denganku?" Ren menyeringai.
"Yang benar saja? Orang sepertimu berniat mengasah kemampuan berpedang? Jangan bercanda!" Ralph menepis dan membelokkan ayunan pedang kayu dari Ren.
Ren menyadari sesuatu yang aneh pada wajahnya Ralph.
"Kau lengah." Ren mengesampingkan rambut Ralph dan terlihat bekas memar seperti telah tertampar di pipi kanannya.
"Hei! Itu tidak sopan!" Ralph berusaha melepaskan pegangan Ren.
"Siapa yang melakukan ini? Senior hari itu?" Ren mengusap-usap bekas luka memar dipipinya.
"Kamu gak perlu tahu." Ralph mendorong Ren cukup jauh sampai terpental dan menghunuskan sebilah pedang sungguhan.
"Oh kau benar-benar berniat melukaiku?" Ren menangkisnya hanya dengan sebilah pedang kayu.
"Cukup mengesankan, tapi jangan meremehkan seorang gadis." Ralph melancarkan serangan tebasan keduanya.
"Aku tidak meremehkanmu." Ren terus menangkis tebasan Ralph dengan sempurna.
"Aku benci untuk mengakuinya, tapi kamu cukup terampil... dan sedikit hebat juga." Ralph sedikit tersenyum saat beradu gaya berpedang dengan Ren.
"Ayo! Keluarkan semua teknik yang kau punya!"
"...Jangan ragu-ragu seperti tadi untuk menghunuskan pedangmu!"
"Aku tidak akan menahan diri!" Ralph tersenyum dirinya beradu pedang dengan Ren.
Ren bercerita tentang keinginannya untuk mengasah kemampuan berpedang, meskipun ia tahu bahwa kemampuan menunggang kuda dengan tombak panjang adalah kemampuan yang paling dihargai di desa mereka.
Dalam bisu keheningan, malam menggandeng rindu dan merentangkan lentera-lentera cahaya dari jauh. Mereka berdua terus beradu pedang di antara remang-remang fajar yang bersemi.