"Biar gue yang anterin, Citra."
............................
Cipto maupun Citra saling menoleh ke arah belakangnya. Mereka saling melirik heran dan bingung. Sejak kapan juga Reno berada di belakang mereka berdua? Apakah cowok itu sudah menguping pembicaraan Cipto dan Citra sejak awal?
"Ga usah geer. Ini suruhan, Bos."
Cipto hanya menggangguk acuh, Citra tidak memperdulikan. Lagi pula untuk apa dia memerhatikan Reno yang sudah jelas ada rasa peduli terhadap Reyna? Citra tahu itu karena tatapan dari mata Reno saat kemarin bertanya.
"Halo, Kak Citra.."
Mereka bertiga menoleh walau suara serak itu mengarah hanya untuk satu orang saja.
"Reyna!" Citra memekik kaget saat melihat cewek yang lebih muda darinya menghampiri.
Kedua orang tua Reyna berada di belakang, sekedar melihat atau memperhatikan puterinya yang berhambur dalam pelukan Citra.
"Reyna, kangen banget sama Kakak." ungkapan dari Reyna membuat Citra ingin sekali menangis terharu. Ternyata bukan hanya dia yang merasakan, tetapi Junior nya juga begitu merindukannya. Citra tidak pernah sangka jika Reyna berkunjung ke sana.
"Gimana keadaan kamu? Apa kamu sudah mulai membaik? Kamu sudah pulang, ya?" berbagai pertanyaan terlontar, Reyna melepaskan pelukannya untuk menatap Citra sambil tersenyum lebar.
"Iya, Kak. Aku belum sempat pulang, ini baru aja keluar rumah sakit langsung ke sini dulu. Mau ketemu sama, Bos." ujar Reyna.
Cipto merasa senang, "Syukur kalau kamu membaik. Tadinya sehabis kita kerja mau menjenguk kamu di rumah sakit. Eh, sekarang kamu ada di sini."
Reyna terkekeh geli. "Ga pa-pa, Kak. Tapi makasih banyak sebelumnya udah ada niatan untuk jenguk aku."
Reno tetap diam, dia sama sekali tidak berniat untuk menanyakan keadaan Reyna sama sekali. Yang jelas Reno sekarang sudah mengetahui bagaimana perkembangan Reyna, yang terpenting anak itu sudah ada di depan matanya.
"Dimana Bos kalian? Reyna, masih harus beristirahat." Bas bersuara, dia menatap semua teman Reyna bergantian.
"Ada di ruangannya." Reno menjawab, dia berjalan tanpa menambahkan kosa kata untuk Bas ikuti. Beruntung Papa Reyna bisa memahami sikap Reno, walau memang dia tidak pernah sekalipun bertemu dari sebelumnya.
"Kak, aku permisi dulu, ya. Takut Bos marah soal aku kemarin." pamit Reyna yang segera di angguki. Dini menuntun puterinya untuk berjalan mengikuti Bas dari belakang. Bagaimana pun juga kedua orang tua yang harus menanggung apapun risiko dari sang anak. Apa lagi Dini yang menuduh Bas atas kejadian yang menimpanya kemarin, sebenarnya Dini tidak setuju juga atas tindakan Bas yang mengharuskan Reyna untuk tidak lagi bekerja.
"Semoga aja dia ga di pecat soal ini, ya." harap Cipto.
Citra menghela napas halus. "Iya semoga saja."
Bas memasuki ruangan yang di tunjukkan oleh Reno, sebelumnya mengetuk pintu tersebut dengan sopan.
"Bos, ada yang mau bertemu." terang Reno.
Bos nya terlihat sedang sibuk dengan pc di hadapannya. Walau terdengar suara, namun Reno dan tiga orang di sana mendengar dehaman yang jelas.
"Saya wali, Reyna. Ingin meminta maaf sebesar-besarnya atas kejadian kemarin. Dan karena puteri saya tidak ada alasan masuk saat hari-hari sebelumnya." Bas tidak berbasa-basi, lebih dulu masuk dalam inti.
Bos Reyna terlihat menyungging senyuman miring. "Sepertinya anda tidak membutuhkan puteri anda untuk tetap bekerja."
Bas tidak mengerti.
"Saya pikir kalian sebagai orang tua memang sudah memberikan ijin untuk puteri anda."
Bas menahan napas, merasa menyesal. Jika Reyna tidak bisa lagi untuk bekerja di sana, kemungkinan Dini akan semakin marah dan Reyna yang pasti kecewa terhadapnya. Bas tidak ingin semuanya terjadi lagi, cukup kemarin saja saat di rumah sakit Bas menerima sikap istrinya.
"Tetapi saya tidak akan memecat puteri kesayangan kamu," Bos Reyna menatap sambil tersenyum penuh makna. "Baskara."
"Farrel."
Bos yang di sapa Farrel itu berdiri dan mulai melangkah, tidak melunturkan senyuman di sudut bibirnya. "Iya, ini aku."
Bas maupun Dini melongo masih tidak percaya.
"Apakabar kalian? Sudah lama sekali sepertinya tidak bertemu." Farrel terlihat ramah dan seperti sudah sangat mengenal dekat kedua orang tua Reyna. Senyuman yang kian terukir lebar kini menatap Reyna yang sedikit ketakutan, pasalnya atasan dia atau sering kali di panggil Bos itu tidak pernah sekalipun untuk tersenyum, apa lagi yang Reyna lihat sekarang itu seperti bukan Bos nya selama di kenal.
"Ma, Pa. Kalian sudah kenal dengan Bos, Reyna?" cewel itu bertanya ingin memastikan, kenapa keduanya bengong? Seperti terkejut dan tidak menyangka melihat sosok di depannya saat ini.
"Aku baru tahu. Reyna, ternyata puteri kalian satu-satunya, ya? Apa dia tidak memiliki adik?" Farrel kembali bertanya yang belum satu pun Bas dan Dini menjawabnya. "atau saudara, gitu?"
"Reyna, cantik banget lho. Kenapa dia ga masukin jadi model aja? Atau artis?" Farrel menimbang kata sambil berpikir. "lumayan gaji dari dua pekerjaan itu, padahal kerja di sini gaji kecil. Kenapa kalian biarin puteri secantik dan selugu, Reyna, di bekerjakan di tempat seperti ini?" Farrel memandang Bas dengan tatapan rindu, "Bas, kamu ga mau peluk aku kah?"
Reyna masih merasa bingung dan tidak tahu harus menanggapi apa. Mama maupun Papa nya benar-benar seperti patung sekarang. Seakan Farrel sang Bos sudah menghipnotis keduanya.
"Aku ikut bahagia, Bas." Farrel mulai lagi berceloteh, setidaknya dia bertemu dengan orang yang selama ini di rindukannya. "kalian akhirnya menikah dan memiliki puteri seperti, Reyna."
"Pantas saja wajah puteri kalian tidak asing di mata saya saat pertama bertemu."
Reyna menelan ludah.
Apa Farrel teman kedua orang tuanya? Dengan tidak ragu Farrel selalu membuat Reyna kebingungan. Apa Farrel salah satu orang yang Bas pernah cari? Reyna sangat ingat sekali saat Papa nya menerima telfon dan bilang kalau masih ada orang yang belum di temukan. Reyna berpikir saat itu, siapa orang yang sedang di cari oleh sang Papa? Bas maupun Dini tidak pernah sekalipun bercerita mengenai apapun masalah mereka. Lalu? Apa orang di depan Papa nya adalah salah satu orang yang sedang di carinya?
"Bos, mengenali kedua orang tua saya?" Reyna memberanikan untuk bertanya, namun Farrel kini menatapnya sambil masih teersenyum lebar.
"Reyna, kamu beruntung memiliki orang tua seperti mereka." Farrel tidak menjawab yang sebenarnya, seperti mengelak dan biarkan Bas yang menjelaskan semuanya.
"Selama ini kalian menghindar? Atau memang tidak ingin lagi mengenal?" raut Farrel berubah sengit, ini yang selalu terlihat oleh netra Reyna selama bekerja di sana.
Kedua tangan Farrel kini letakkan di bahu Bas. "Kamu orang pertama yang buat aku ..., sangat berharap."
"Farrel, apa selama ini kamu masih hidup?"