Bas dan Dini sudah satu minggu ini masih saja sama, tingkah keduanya membuat Reyna terjebak dalam pikiran yang tidak seharusnya ada. Reyna kebingungan harus berbuat apa lagi membujuk kedua orang tuanya, padahal sudah bicara baik-baik pada sang Papa. Tetap saja ucapan darinya tidak di hiraukan oleh Bas, mau bagaimana pun juga memang itu semua urusan suami istri tetapi jika sampai mereka berdua hingga seperti ini Reyna mana bisa tetap diam dan bungkam.
"Papa, Mama. Kalau kalian tetep berantem dan ga mau saling tanya satu sama lain, lebih baik aku pergi aja. Reyna, ga suka liatnya."
Kemudian Dini dan Bas menatap puteri satu-satunya mereka dengan raut terkejut. Sekali pun tidak pernah Reyna mengatakan itu, walau saat Reyna mengambek meminta liburan bersama teman sekolahnya dulu. Namun kenapa dengan tiba-tibanya anak itu berucap seolah akan bisa membuat kedua orang tuanya rukun kembali?
"Memang kamu mau pergi kemana?" Dini menyahut, sedangkan Bas hanya menatap tidak percaya pada Reyna.
"Kemana aja bisa."
"Reyna, kamu jangan gegabah. Papa, tidak akan pernah juga membiarkan kamu pergi dari rumah." Bas memperingati.
"Aku menjadi serba salah! Kalian yang membuat aku bingung setengah mati, aku tanya kalian semua ga ada yang mau jawab dengan jujur dan jelas. Sebenernya apa yang bisa buat kalian jadi seperti ini?" Reyna geram, dia tidak bisa menahan amarahnya setelah melewati enam hari belakang ini.
"Maafkan, Papa. Kamu tidak seharusnya bersedih, nak. Maaf kalau kami sudah egois." Reyna hanya menahan napas, membuangnya dengan kasar. Kepalanya menunduk dengan perasaan yang sulit di artikan.
"Reyna, ke kamar." dia tidak melihat dulu ke arah Dini yang hanya menopang dagunya ke arah lain, Reyna baru pertama kalinya di hiraukan oleh sang Mama seperti saat ini.
Farrel.
Satu orang yang harus Reyna selidiki terlebih dahulu mengenai masa lalu bersama kedua orang tuanya. Pasti ada sesuatu yang membuat semuanya menjadi berubah, Reyna yakin awal mulanya dari si Bos di tempatnya bekerja. Artinya Reyna harus mengetahui di mana letak rumah Bos nya. Apakah Reno bisa untuk di tanyainya? Apakah seniornya itu juga bersedia dan tidak akan curiga?
Memangnya Reyna mempunyai skill apa soal penyelidikan? Apa akan mampu? Anak rumahan yang sring kali di ejek manja oleh para tetangganya apa akan bisa menguntit Bos nya sendiri tanpa berpikir jika ketahuan dia akan di marahi sekaligus di hukum?
Jika hanya masalah di pecat, Reyna sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang dan pikiran yang sudah tertuju hanya pada satu ide nya. Reyna akan menanggung semuanya sendirian tanpa harus di bantu oleh kedua orang tuanya lagi. Dia sudah mulai dewasa, Reyna pikir mungkin bisa untuk sekali seumur hidup menjadi orang yang diam-diam menelusuri kehidupan Bos.
Reyna akan menjadi Stalker untuk sementara waktu sampai dia bisa menemukan penyebab terjadinya perselisihan di antara orang taunya.
*******
"Cipto, ada telfon dari konsumen, kamu aja yang anterin gimana? Aku masih ada kerjaan lain, dia salah satu pelanggan di sini juga, lho." Citra mengimbuhkan, Cipto segera melangkah dan tersenyum lebar.
"Siap, Bos!" sambil hormat menghadap Citra.
Cewek itu membalas, "Laksanakan sekarang udah di tunggu, jangan sampai terlambat." peringatnya kembali melayani pembeli yang sudah mengantri di depannya.
Cipto segera melaksanakan perintah dari Citra, toko roti nya entah kenaoa semakin ramai oleh pengunjung, padahal sebelumnya Cipto bahkan sempat bisa makan siang di luar namun saat masuknya karyawan baru pelanggang kian banyak dan waktu makannya terganggu. Beruntung Cipto tidak memiliki mag, sehingga ia bisa untuk menahan rasa lapar di perutnya.
Citra menatap pelanggang di depannya yang sering kali menoleh ke kiri ke kanan, bahkan sampai ke belakangnya seperti sedang di awasi atau sedang mencari seseorang?
"Mas, ada apa? Apa ada yang membuat kurang nyaman?" Tanya Citra akhirnya.
Laki-laki tersebut tertawa kecil sedikit mengusap leher belakangnya merasa malu karena sudah terciduk. "Oh..., haha. Engga, Mbak. Saya lagi cari, Reyna. Dia apa ga masuk kerja?" tanyanya.
"Oh, Reyna. Ada, kok."
"Apa boleh saya bertemu dengan dia?"
Citra tersenyum samar, dia bingung harus menjawab apa. Jika mengiyakan begitu saja, bagaimana dengan pekerjaan Reyna? Apa tidak akan ada omelan dari Bos nya. Apa tidak sebaiknya Citra iyakan? Mungkin ada keperluan penting sampai meminta untuk bertemu.
"Emang ada urusan apa sama karyawan di sini?"
Bukan Citra yang menjawab.
"Lumayan penting, Mas. Jika boleh saya izin berbicara untuk menyampaikan amanat." balasnya menatap orang di sampingnya.
Reno menatap lamat, "Maaf, tapi ini jam kerja. Tidak ada yang boleh semena-mena."
Citra bungkam, dia tidak bisa menolong kalau Reno sudah mendahului. Bagaimana pun juga Reno yang selalu memantau apapun di toko, selain sering kali mengangkut barang dari dapur. Lagi pula siapa yang bisa melawan? Jika Reno melarang pasti harus di turuti, kalau tidak ingin langsung berhadapan dengan sang Bos.
"Mas, boleh minggir dulu? Kasihan ibu di belakang sedang hamil, belum yang di belakang lagi mengantri." Citra mengalihkan, beruntung pemuda itu mengerti dengan keadaannya.
"Mas, saya mohon."
Reno menahan napas, dia sama sekali tidak menampakkan wajah bersahabat. Kalau kata Reyna sih, terlalu menyeramkan. Mungkin sama hal nya dengan satu pemuda yang menanyai Reyna tersebut. Reno seperti guru paling killer di sekolahannya dulu.
"Oke. Kalau maksa, tapi saya harus memastikan kalian berdua. Tuh, dia sedang mengangkut. Ngobrol di sana." Final Reno mau tak mau mengizinkannya.
"Terima kasih banyak, Mas." ucapnya, dia berlari kecil menghampiri Reyna yang nampaknya terkejut.
Reno menatap dari rak yang tidak jauh dari mereka, bukannya dia ingin menguping. Hanya saja dia takut lelaki itu berbuat aneh pada Reyna, Reno tidak akan membiarkan. Walau terdengar jelas bukan berarti dia ingin ikut campur juga.
"Kak Mario, serius?!" begitulah suara Reyna terdengar antusias.
"Iya. Gimana? Apa kamu mau langsung masuk? Kebetulan penanggung jawabnya om aku."
Reyna tidak bisa menahan senang dan gembira di wajahnya sekarang, Reno masih saja memerhatikan.
"Makasih banyak, Kak. Sebelumnya aku ga pernah mikir kalau bisa masuk ke sana, tapi waktu dengar kabar ini aku seneng banget. Oh, iya. Jadi, yang bawa mobil hari itu..., Kak Mario?"
Cowok itu terkekeh. "Iya. Tapi aku ga sadar kalau kamu pakai hoodie warna cokelat. Aku pikir itu orang yang ga aku kenal." ucapnya.
Reyna tiba-tiba menjadi malu. Sejak kapan dia merasa dekat dengan salah satu kakak kelasnya itu? Padahal selama di sekolah mereka nyaris tidak pernah saling menyapa, bahkan sampai jarak yang sekarang ini. Reyna maupun Mario hanya pernah saling bertatap dari jauh tanpa ada senyuman atau apapun, mereka terlalu menjadi sosok dirinya masing-masing.
"Waktu bertemu habis!"