Sedari pulang dari toko, kedua orang tua Reyna masih belum juga mengeluarkan suara apapun. Reyna sampai heran dan kian bingung harus melakukan apa, padahal dia bertanya sesuai apa yang ada di dalam hatinya.
Farrel, Bos nya yang saat ini masih ada dalam pikiran Reyna.
Jika tidak ada hubungan apapun, kenapa bisa keduanya terlihat kaget? Papa nya juga aneh dan tidak bisa Reyna tebak, hingga saat ini pun dia masih belum menyadarkan sang Papa untuk kembali pada aktivitas biasanya.
"Mama. Reyna, apa ga boleh tau masalah kalian apa? Apa sebelumnya emang ada hubungan lekat sama, Bos?" rasa ingin tahu Reyna semakin membludak di dalam hatinya, namun Dini sama sekali tidak menoleh atau melirik puterinya.
"Reyna, kamu tidak lihat? Mama, sedang mencuci piring..., lebih baik kamu tidur dan istirahat setelah meminum obat." sarkas Dini yang sudah pusing dengan pertanyaan Reyna. Walau begitu Reyna tetap menuruti perintah Dini dan meninggalkannya sendirian.
Reyna mulai melangkah menuju kamarnya melewati anak tangga dengan perasaan yang masih saja sama. Saat sebelum masuk, dia menoleh ke bawah untuk melihat Mama nya yang Reyna pastikan sedang terisak.
Mama nya menangis?
Reyna tidak mungkin salah lihat, kan? Tapi kenapa?
"Apa dari pertanyaan itu ada sangkut pautnya?" Reyna bergumam bingung.
Bas keluar dari kamar paling ujung, melihat Reyna yang sedang menatap ke arah bawah.
"Sayang, kamu kenapa belum istirahat? Ini sudah malam." imbuhnya.
Reyna tersentak kaget, dia mengelus dadanya pelan. "Papa."
"Oh, kamu terkejut, ya? Maaf. Papa, liat kamu kayak..., ngerasa gelisah sambil liat ke bawah, ada apa? Apa kamu melihat sesuatu yang membuat kamu tidak nyaman?" tanya Bas.
Reyna tidak akan bicara yang sebenarnya, "Engga, Pa. Reyna, masih takut aja di tinggal sendiri."
Bas tersengat. Hatinya kembali merasa sangat bersalah pada puterinya. Apa Reyna akan marah padanya?
"Maafin, Papa, nak. Kemarin memang, Papa, terlalu menentang apa yang sudah menjadi tanggung jawab kamu." Bas mendekat untuk mengelus rambut Reyna lembut.
Cewek itu tersenyum samar. "Ga pa-pa, kok. Papa, ga pernah salah sama tindakan yang di buat. Reyna, aja yang ga bisa nepatin waktu. Buat kalian khawatir dan," Reyna sedikit menunduk, berucap dengan suara pelan, "bertengkar."
"Huhs. Ini bukan salah kamu, nak." Bas menampik.
Reyna mengambil tangan yang mengelus sambil menatap sang Papa sendu. "Kalian jangan saling diam. Reyna, merasa bersalah banget terjadinya kejadian ini hubungan kalian jadi seperti sekarang. Maafin, Reyna."
Bas mendekap puterinya penuh sayang. "Reyna, kamu benar-benar bukan penyebab kami saling diam. Mungkin. Mama, kamu hanya kecewa. Papa, tidak akan marah jika keinginannya seperti itu. Papa, pantas di hukum." mendengar penuturan Bas membuat Reyna semakin tidak berdaya. Rasanya memang ingin Reyna kembalikan waktu dan dia bisa lebih berhati-hati lagi dengan keadaan yang sendirian di dalam rumah.
"Papa, ada hubungan apa sama..., Bos? Kalian sama sekali belum menjawabnya dengan jelas."
*****
Reno diam-diam tersenyum. Entah kenapa dan setan dari mana kenapa dia menjadi berubah drastis seperti saat ini?
Setan apa yang telah merasuki tubuh Reno sampai berubah seperti itu?
Reno sendiri bahkan belum menyadari tatapan banyak orang di dalam toko. Mereka sama saling senyum dengan para temannya saat melihat Reno yang semakin mengembangkan senyuman.
"Dia kenapa, sih? Gue yang ngerasa melting liatnya." seru salah satu pengunjung.
Temannya mengangguk masih menatap Reno. "Iya, bener. Dia ganteng banget lagi."
"RENO!"
Mendengar suara lantang membuat Reno tersentak kaget. Dia menoleh cepat dengan mata melotot. Reno bergumam, "Boss."
"Ikut saya."
Citra yang sedari tadi hanya memerhatikan kini melangkah, namun dua orang di depannya sudah lebih dulu meninggalkan tempat. Baru saja Citra ingin menghampiri Reno, Bos nya terlalu cepat. Apa lagi terlihat marah dengan wajah tidak menyenangkan.
"Reno, pasti dalam masalah besar." gumam Citra.
Dia ingin membantu, tetapi jika berniat baik pun Citra sama saja sudah berani mengikut campuri masalah Reno, sedangkan cowok itu membenci orang yang sok menjadi pahlawan. Tetapi kenapa Bos nya marah pada Reno? Bukan kah selama ini anak cowok yang sudah di percayai Bos nya tidak pernah di sentak? Citra maupun karyawan di sana baru pertama kali mendengar suara keras nan dingin teriak memanggil Reno marah.
"Harus ikutin mereka, Cit?" Cipto memandang arah langkah Reno.
Cewek itu menghela napas, "Ga usah. Urusan mereka, aku ga mau ikut campur." Citra melongos pergi, dia memilih untuk melayani pelanggan. Niatnya ia urungkan karena tidak ingin berurusan juga dengan Reno.
Cipto menggedikan bahunya, dia rasa memang tidak perlu untuk mengikuti sampai sejauh itu. Mungkin saja hal itu menyangkut pekerjaan dan Reno yang menjadi penanggung jawab. Tidak lebih dari masalah besar, Cipto yakin hal itu.
"Oh, iya. Cit, pulang kerja nanti kebetulan lebih awal dan masih sorean. Gimana kalo kita jenguk, Reyna?" Cipto mengusulkan saat Citra tidak begitu sibuk.
Cewek itu mengeluh, "Untung kamu ingetin. Aku emang niatnya dari tadi, sih. Kirain kamu ga bakal jenguk dia."
Cipto tertawa garing. "Ga akan lupa sama si, junior mah. Asal pulangnya ke jalan awal aja, jangan lewatin yang kemarin itu."
Citra pikir Cipto sudah melupakan kejadian itu, ternyata masih saja membekas. Citra memang tidak pernah mempermasalahkan, namun sepertinya Cipto masih waspada. Cowok itu pasti syok dan ketakutan, padahal belum tentu juga Mama Reyna cerita sungguhan. Mengingat Reyna sendiri yang bilang jika dirinya yang tidak pernah akur dengan tetangga di satu kompleknya membuat Citra berpikir, mungkin Mama Reyna belum banyak mengenal orang di sekitarnya.
Tidak mungkin Citra maupun Cipto di tolong oleh orang yang sudah jelas memberikan informasi benar? Tidak akan mungkin juga jika orang tersebu bukan lah manusia, kedua kakinya menapak jalan dan Citra melihat senyuman tulus terbit di wajahnya.
Apa hantu seperti itu?
"Iya, deh. Terserah kamu aja, aku ga akan protes," Citra sudah malas berdebat hanya karena masalah jalan, Cipto terlalu berlebihan menurutnya.
Apa mungkin cowok itu sudah menjadi cowok penakut sekarang?
Cowok itu tersenyum lebar, Citra tidak mempermasalahkan walau nantinya jarak ke rumah cewek itu memakan dua kali lipat waktu untuk tiba di rumahnya. Citra tidak akan menolak, asal dia selamat dan bisa bertemu dengan Reyna yang masih harus beristirahat.
"Siap, deh. Sekalian beli buah sama bunga buat dia nanti."
Citra hanya mengangguk. Entah kenapa dia dengan cowok di depannya semakin dekat saja, padahal dulu hanya sekedar menyapa atau menyuruh makan siang saat Citra melupakan istirahatnya, tetapi sekarang Cipto semakin lebih dari hal itu.
"Gue ikut."