"Kamu mau apa, Arga?" pekik sang mama begitu Arga menceritakan tentang janjinya kepada ayah Mika.
Tentu saja keluarga besar Kurniawan langsung menentang keras keputusan yang pria itu ambil. Arga adalah kebanggaan keluarga besar mereka, tentu saja mereka tidak akan mengizinkan Arga menikah dengan gadis yang tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya seperti Mika.
"Arga harus bertanggung jawab dengan apa yang terjadi kepada ayah Mika. Arga sudah berjanji, jadi apa pun yang terjadi, Arga akan menikahi Mika!" tegas Arga.
"Gimana kalau dia sengaja karena tahu kalau kamu itu CEO Perusahaan ternama? Mau morotin harta kamu doang!" celetuk salah seorang adik dari ibu Arga.
"No, dia nggak akan ngelakuin itu! Dia itu bukan orang miskin, orang tuanya punya perusahaan di bidang properti, aset kekayaan yang mereka miliki juga nggak sedikit!" sela Rian.
Semua orang langsung melongo mendengar jawaban Rian.
"Tahu dari mana lo?" tanya Arga penasaran.
Sama seperti Arga, Rian juga baru mengenal Mika, jadi sangat aneh jika Rian tahu informasi sebanyak itu mengenai Mika.
"Dia alumni dari sekolahan yang sama kayak gue, dan temen sekelas gue itu ada yang tetangganya dia." sahut Rian tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphone-nya.
"Satu sekolahan? Astaga, dia itu baru lulus SMA dong? Mama nggak setuju! Yang ada, kamu akan diketawain, dan dituduh pedofil! Jarak usia kalian pasti jauh! Pokoknya mama nggak setuju ya kalau kamu menikah sama dia! Anak ingusan seperti itu mana tahu cara jadi istri yang baik, yang ada dia hanya akan terus menyusahkan kamu!"
Arga menyandarkan punggungnya di sofa. Entah bagimana lagi ia harus menjelaskannya pada keuarga besar, terutama mamanya itu.
"Ma, Arga ini habis bunuh orang! Mika bisa aja laporin Arga ke polisi! Dan karena ayahnya meninggal, gadis itu jadi sebatang kara, dia nggak punya siapa-siapa lagi, Ma! Mama ngerti nggak sih apa yang Arga omongin?!" seru Arga setengah frustrasi.
Mendengar ucapan frontal anaknya itu, mama Arga langsung terdiam seribu bahasa.
"Kita bisa sewa pengacara kondang, suap hakim, atau apa pun itu!" ucap mama Arga setelah lama terdiam.
Arga menatap mamanya itu tak percaya. Rupanya sang mama tidak bisa memahaminya.
"Kamu harus menikahi dia! Kamu harus bertanggung jawab dengan kehidupan gadis itu!"
Semua orang langsung menganga tak percaya mendengar Pak Kurniawan ikut berbicara, meski begitu tidak ada satupun orang yang berani menyanggah ucapannya.
"Papa kasih izin?" tanya Arga ragu.
"Ya, anggap ini sebagai penebusan dosa kamu! Secara tidak langsung, kamu adalah penyebab dari kehilangan terbesar gadis itu, kamu harus bertanggung jawab dengan seumur hidup kamu!" tegas Pak Kurniawan.
"Pa, nggak bisa gini dong! Arga kan nggak sengaja nabrak mobil itu, dia nggak tahu kalau ada mobil lain! Jadi Papa nggak bisa menyalahkan Arga seperti ini! Ini nggak adil!" protes mama Arga.
"Diam kamu! Kamu itu orang tua, kasih contoh yang bener untuk anak-anak! Arga salah, dan dia harus mempertanggung jawabkan semua kesalahannya!"
Mama Arga langsung terdiam mendengar bentakan suaminya.
"Papa bener, Ma! Biarkan Arga bertanggung jawab!"
"Arga, nggak bisa gini! Sekarang kamu pikirkan, apa kamu bisa hidup dengan orang yang nggak kamu cintai? Kamu pasti akan menderita, Nak!"
"Cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, jadi Mama nggak perlu khawatir!" sahut Arga tanpa berpikir.
"Kalian debat panjang lebar kayak gini, buat apa? Mika belum tentu mau menikah sama Bang Arga, karena setahu Rian, dia itu udah punya pacar! Anak menteri lagi pacarnya! Bang Arga mah nggak ada apa-apanya!" Rian kembali menyela.
"Diem kamu!" sentak mama Arga.
"Pokoknya, Arga akan memenuhi janji Arga! No debat!"
Setelah mengatakan itu, Arga langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga.
***
Mika terdiam di sofa sudut kamarnya. Air mata masih senantiasa mengalir dari mata sayu gadis itu. Sekarang, ia benar-benar sendirian, entah apa yang harus ia lakukan sekarang.
Semenjak kepergian sang ibu, ayahnya adalah satu-satunya orang berharga yang ia miliki. Jika ia tidak ada, lalu apa yang harus Mika lakukan?
Tok tok tok!
Tok tok tok!
"Non, ada tamu," ucap seseorang dari depan pintu kamar Mika.
Dengan enggan, gadis itu pun keluar dari kamar, dan melangkah gontai menuju ruang tamu. Seseorang yang tak asing baginya, tengah duduk di sofa dengan mata menatap tajam dirinya.
Pria itu!
Mika menghampiri Arga, lalu duduk berseberangan dengan pria itu.
"Ada apa?" tanya Mika dengan suara yang begitu lemah.
"Saya mau membicarakan tentang janji yang saya buat terhadap ayah kamu!"
Janji?
Mika tersenyum miris mendengar maksud kedatangan pria itu.
"Nggak usah pusingin masalah itu. Ayah saya meminta sesuatu seperti itu, karena dia takut saya akan sendirian, dan menderita. Jadi, di sisa waktu yang ia miliki, ia mencoba menitipkan saya kepada Anda. Tapi, meskipun saya ini anak manja yang hanya tahu cara menyusahkan orang, saya tidak mau menyusahkan Anda!"
"Kenapa?" tanya Arga bingung.
"Saya masih ingin kuliah, jalan-jalan, dan menikmati hidup. Setelah menikah, seorang istri selalu dituntut untuk mengurus keluarga, ini, dan itu, hingga sulit untuk mengurus dirinya sendiri. Apalagi kalau menikahnya tanpa cinta."
"Saya nggak akan minta kamu ngurusin saya, saya juga nggak akan minta kamu buat ngurusin rumah! Kita bisa sewa asisten rumah tangga. Dan kuliah? Tentu kamu masih bisa kuliah meski sudah menikah, kamu juga bisa jalan-jalan kapan pun kamu mau! Saya tidak memaksa kamu, tapi mengingat itu adalah permintaan terakhir ayah kamu, saya ingin mewujudkannya. Kamu tahu, hidup dalam rasa bersalah itu tidak mudah!"
Mika terdiam.
Permintaan terakhir ayahnya? Apakah ia akan berdosa dan durhaka jika tidak memenuhi permintaan terakhir ayahnya? Ini rumit.
"Anda tidak perlu merasa bersalah! Saya tidak pernah menganggap Anda sebagai penyebab dari kematian ayah. Akan saya anggap ini sebagai takdir yang memang harus terjadi, jadi jangan merasa bersalah."
Arga menghela napas berat. Gadis itu sangat keras kepala.
"Terima kasih, tapi itu tidak merubah fakta bahwa sayalah yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi."
Mika menatap tajam pria yang duduk di hadapannya itu.
"Kamu pikirkan saja dulu baik-baik, saya akan menunggu jawaban kamu setelah kamu memikirkannya matang-matang!"
Arga menarik sebuah kartu dari dompetnya, dan meletakkannya di atas meja. Ia pun beranjak pergi meninggalkan Mika.
Mika melirik ke arah meja, dan meraih handphone-nya yang kebetulan ada di sebelah kartu nama Arga.
Mika menekan beberapa tombol di layar, dan menghubungi seseorang.
"Halo, Mi?"
"Jes, kamu inget aku pernah cerita tentang om-om ganteng yang udah nabrak mobil kami?"
"Inget! Kenapa?" sahut Jessi dari sebrang sana. Ia adalah sahabat baik Mika.
"Dia barusan ke sini dan ngajak nikah!"
"Itu tandanya dia orang yang bertanggung jawab! Dia udah janji sama bokap lo, jadi emang udah sepantasnya dia nepatin janjinya! Terus, kapan lo nikah sama dia?" Jessi terdengar sangat antusias.
"Dia aku tolak!"
"Heh, bego! Itu permintaan terakhir bokap lo! Lo harus penuhin, kalau enggak, bokap lo nggak akan tenang di atas sana!"
"Masa iya?"
"Katanya sih gitu, Mi! Lagian, selama ini bokap lo nggak pernah minta apa pun kan dari lo, sekalinya minta, masa gak lo kabulin sih? Durhaka ntar lo!"
Mika langsung merengut dan mengakhiri panggilan begitu saja.
Pikirannya benar-benar kacau sekarang.