Selamat membaca
Mata cokelat cerah Arfan melihat seorang gadis sedang berjongkok di antara semak-semak di dekat gerbang masuk sekolah. Khimar putihnya tertiup pelan oleh angin pagi yang berhembus. Punggung gadis itu menghadap Arfan ia tidak tahu apa yang dilakukannya, sedangkan Arfan berdiri di seberang jalan setelah menuruni angkutan umum.
Tak lama kemudian gadis yang memakai seragam putih abu itu bangkit berdiri memakai kembali tas hijau muda yang bersandar di antara kakinya dan meninggalkan tempat itu untuk masuk ke sekolah.
Rasa penasaran Arfan membuat ia menyeberangi jalan dan melihat apa yang baru saja di perbuat gadis itu hingga ia harus berjongkok lama di antara semak-semak. Ketika Arfan sampai ke tujuan ia melihat seekor anak kucing yang biasa berkeliaran di sekolah sedang memakan dengan lahap makanan kucing basah yang beralas daun lebar. Jadi dia tadi memberi makan anak kucing.
Arfan menyisir rambutnya kebelakang yang tertiup angin dengan jarinya, senyumnya muncul dan ia masuk ke dalam sekolah dengan rasa seperti kupu-kupu berterbangan di perutnya.
Arfan mana tahu jika saat ia tersenyum sendiri yang meperlihatkan gigi gingsulnya menarik perhatian gadis-gadis yang baru datang ke sekolah. Manis.
Tapi Arfan menyadari sesuatu, untuk apa ia tersenyum?
Maka senyumnya langsung luntur saat itu juga.
.
"Ke kantin. Aku belum sarapan." Abrisam yang bahkan belum meletakkan tas di bangkunya tapi sudah mengajak Arfan ke kantin. Arfan yang sedang main fruit ninja langsung menekan tombol home pada ponselnya. "Oke. Hayuk!"
Abrisam mengerutkan keningnya, biasanya dia harus banyak berbicara terlebih dahulu baru Arfan mau menurutinya.
"Suasana pagi ini sedang baik, cepat nanti Aku berubah pikiran." Abrisam dengan cepat meletakkan tasnya, ia langsung merangkul bahu Arfan untuk menyeretnya ke kantin sebelum orang labil ini berubah pikiran.
.
"Pelan-pelan saja guru jam pertama nggak masuk." Arfan berkata pada Abrisam yang makan baksonya dengan cepat karena tiga menit lagi masuk.
Abrisam mencipratkan teh ke Arfan dengan sedotan, "Kenapa nggak bilang dari tadi. Aku takut aja nanti di omelin sama Ibu Sri."
Arfan mengangkat bahu acuh, telinganya mendengar seseorang berbicara di belakangnya. "Aku seneng banget loh Za, saat kamu akhirnya udah ketemu lagi sama Kakak kamu."
"Kakak siapa?" Abrisam nimbrung seenaknya.
"Kamu nguping Risam?"
"Enak aja nuduh, Aku cuma nggak sengaja denger aja kok."
"Sama aja," kata Laila memutar matanya bosan. "Kakak Zahra dia bertemu kemarin, karena itu kemarin dia nggak sekolah."
Arfan membalik badannya, ia ingin ikut bahagia pada salah satu temannya, jadi dia ikut tersenyum tanpa sadar matanya melirik wajah bercahaya Zahra yang tersenyum lebar tertimpa sinar matahari pagi. Mata hitamnya tampak bercahaya, ditambah satu lesung pipi di sebelah kiri. ما شاء الله
Arfan langsung berpaling dengan wajah yang seperti terbakar.
"Alhamdulillah, kami semua senang dengernya." Setelah mengatakan itu Arfan langsung bangkit dari duduknya. Beristighfar sebanyak mungkin menyesali perbuatannya.
"Mau kemana?" Abrisam bertanya bingung dengan gelagat Arfan.
"Ke toilet. Nanti langsung ke kelas aja."
Setelah keluar dari kantin Arfan berlari secepat yang dia bisa menuju toilet. Ia menampung air yang mengalir di keran wastafel dengan tangannya lalu mulai membasahi wajahnya dengan kasar.
Pikirannya terus beristighfar. Arfan bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia seperti ini ada yang salah pada dirinya. Pasti.
Arfan telah berjanji pada dirinya untuk tidak menatap siapapun kecuali istrinya dan ibunya.
Arfan kembali membasuh wajahnya sejak kejadian tadi jantungnya masih berdetak cepat.
.
Dari pelajaran kelima dan keenam Arfan terus saja tidur, hingga saat jam istirahat kedua ia bangun. Arfan hendak menyeret Abrisam ke musholla tapi orang itu tidak ada di bangkunya, jadi ia langsung saja ke musholla sendiri.
Sepanjang koridor kelas Arfan mengabaikan dengung suara yang memanggil-manggil namanya dengan iseng. Arfan bingung sendiri dengan dirinya, padahal dia merasa tidak terkenal di sekolah karena tidak mengikuti ekstrakurikuler tertentu yang membuatnya di kenal orang banyak atau kelakuannya yang menarik perhatian orang lain.
Arfan merasa biasa saja. Tapi kenapa para gadis seolah-olah menyukainya, Arfan risih. Inilah yang dia tidak suka ketika berjalan sendiri di sekolah, jika bersama Abrisam mana berani mereka memanggil Arfan tanpa keperluan.
Saat sampai di musholla Arfan membuka sepatu dan kaus kakinya ketika hendak ke tempat wudu laki-laki ia mendengar suara anak kucing yang terus mengeong seolah-olah menangis. Arfan mendekati sumber suara saat ia melihat Zahra yang berusaha melepaskan kaki anak kucing yang terjerat kawat.
"Biar Aku saja." Zahra menoleh Arfan yang tiba-tiba datang. Zahra langsung menyingkir ke samping membiarkan Arfan menolong kucing itu.
Arfan melepas kawat itu dengan mudah, ia mengelus kepala kucing itu sekilas dan berdiri. Zahra membungkuk berterima kasih, ia tidak tahu harus berterima kasih seperti apa. Arfan hanya mengangguk sebagai jawaban, ia kembali berjalan ke tempat wudu tapi sekilas ia menolehkan kepalanya kebelakang melihat Zahra memberikan makanan kucing yang ia tumpahkan dari dalam botol kecil dari sakunya.
Zahra senang melihat anak kucing itu makan dengan lahap dia mengedarkan pandangannya ke kawat yang menjerat kucing tadi. Mata hitam Zahra melihat dua tetes darah yang masih baru di lantai. Zahra yakin kucing itu tidak terluka Zahra mengalihkan pandangannya ke tempat wudu laki-laki yang tertutup.
.
Setelah melaksanakan shalat Dzuhur Arfan melihat ke sampingnya yang ternyata Abrisam yang sama baru selesai shalat.
"Apa? Aku tadi ada rapat OSIS, jadi nggak bangunin."
Suara dering terdengar dari ponsel hitam Abrisam yang tergeletak di sajadah. Abrisam menjawab panggilannya, "Wa'alaikumsalam."
"Kawan macam apa kalian tawuran kok nggak ngajak-ngajak." Abrisam berbicara pelan karena tau ini di mushola.
Arfan sudah mengetahui kelakuan sahabatnya ini, jadi tidak heran jika Abrisam berbicara seperti itu. Abrisam diam sebentar mendengar suara di telpon.
"Iya lupa tadi Aku bilang hari ini pertemuan OSIS jadi nggak ikut tawuran. Jon yang ngewakilinkan?"
Abrisam diam sebentar dan kembali berbicara dengan nada nyolot, "Lah kok kalian malah nyuruh si Andre, dia mah nggak tegaan orangnya. Aman tapi kan?"
Mendengar jawaban di ujung sana Abrisam mengembuskan nafas lega, "Yaudah, nanti pulang sekolah kita adakan pelatihan biar tawurannya makin sukses kedepannya."
Arfan ingin menempeleng kepala Abrisam, tawuran pun ada pelatihannya. Kenapa ketika Arfan berada di dekat Abrisam orang tidak berani mengganggunya? Ya, karena ini. Abrisam ketua OSIS sekaligus ketua geng yang sering melakukan tawuran sekolah yang berdiri paling depan dan mempunyai misi untuk menjaga lingkungan sekolah dari segala macam marabahaya yang mengancam, wakil ketua ekstrakurikuler silat dan anggota rohis.
Abrisam tidak pernah melukai atau terluka sewaktu menjabat sebagai ketua kelompok tawuran. Ketika hendak mengadakan tawuran, jika sempat kelompok Abrisam membuat proposal untuk mengajukan kegiatan tawuran. Arfan tidak tahu dan tidak mau tahu dengan sistem dan cara kerja kelompok tawuran Abrisam.
.
Arfan menemukan tiga buah plester di bawah lacinya. Di kertas pembungkus ada sebuah tulisan yang di tulis dengan pensil, 'Terima kasih bantuannya.'
Arfan menanamkan pikirannya bahwa dia tidak mengetahui dari mana itu.
"Kenapa jarimu?" Abrisam bertanya di seberang meja saat melihat Arfan membungkus jarinya dengan plester luka.
"Luka, karena tadi habis nolongin anak kucing."
Abrisam tentu saja heran dan terkejut, "Bukannya kamu takut kucing?"
Arfan membeku, matanya melotot dia merasa merinding dengan cepat. Lah iya, Aku kan takut kucing. Arfan hampir berteriak kencang dan menaiki meja dengan tidak sopan.
Terima kasih telah membaca