Entah kenapa hari Ahad pagi ini langit terlihat mendung dari pandangan manik Arfan. Gumpalan-gumpalan awan hitam seolah ingin terbelah kapan pun ia mau dan menumpahkan isinya ke jalanan untuk membasahi setiap jalan yang akan ia lalui ke tempat itu, sehingga ia tidak perlu melihat dia bersanding dengan yang lain hari ini.
Tapi Arfan bukan seorang pengecut. Ia akan datang seolah tidak terjadi apapun, dan ia akan-
"Kak cepetan turun, telat nih." Teriakan Arza terdengar nyaring dari lantai satu cukup untuk membuyarkan bayangan-bayangan yang ia buat di kepalanya.
Arfan berjalan menuruni tangga pelan namun pasti, langkahnya tak lagi berat seperti kemarin dan hanya hatinya saja yang terasa berat.
"Yakin kak mau datang?" Arza bertanya untuk meyakinkan kakaknya, ketika kakaknya turun dari tangga dengan ekspresi datar. Rasanya Arza ingin tertawa saja sekarang, atas kesalah pahaman Arfan dan ia tidak sabar menantikan puncaknya di sana.
Saat Arza pulang dari membeli jus kemarin Arfan sudah berada di rumah dengan satu kotak Gundam Master Grade yang sudah terbongkar isinya. Kapan kakaknya membeli ini, pertanyaan yang muncul dibenak Arza saat pertama melihat hal ini. Arfan selalu menyibukkan diri dengan hal yang disukainya di saat hatinya bermasalah, yah Arza tahu itu. Tapi disaat seperti itu rasanya tangan Arza gatal sekali ingin ikut campur dalam hal pasang memasang isi kotak itu, tapi kakaknya ini tak akan membiarkan seorangpun ikut serta membantu menyatukan gundamnya termasuk adiknya.
*
Melalui kaca mobil Arza melihat Arfan memandang keluar jendela mobil dengan tatapan kosong, hal yang tak pernah terjadi pada kakaknya.
Arza menepikan mobilnya di lahan parkir dekat tenda biru di rumah pengantin pria. Kakaknya sepertinya masih belum sadar saat mobilnya sekarang sudah berhenti. Arza keluar terlebih dahulu lalu ia berjalan hendak membukakan pintu samping tempat Arfan duduk, tapi sebelumnya ia mengetuk kaca luar mobil untuk menyadarkan Arfan di dalam sana.
Mata Arfan tak sengaja melihat lipatan koran yang ada di dasbor mobil. Ada sebuah rangkaian kata yang menyadarkannya tertera di koran itu,
Kau mungkin kehilangan apa yang kau miliki atau orang-orang yang kau cintai, tetapi selama kau punya Allah, kau memiliki segala yang kau butuhkan.
-Abdul Bary Yahya-
Arfan tersenyum, jika Zahra bukan miliknya maka ia punya Allah yang memiliki segala yang Arfan butuhkan.
Arza tentu saja heran, kakaknya tadi yang punya pandangan kosong, ketika keluar mobil tersenyum seolah tak ada masalah. Atau jangan-jangan kakaknya sudah mengetahui. Mata Arza mengedar mencari sosok kak Zahra, tapi tidak menemukannya, apa sudah ada di dalam?
"Arza, nyari apa sih? Ayo masuk!" Arfan merangkul bahu adiknya yang dari tadi jelingak-jelinguk mencari sesuatu menuntunnya masuk ke dalam rumah yang akan dilaksanakan akad nikah.
Arza bersyukur Zahra belum datang jadi ia dan kakaknya memilih duduk di bagian depan.
.
Setelah mempelai pria dan keluarganya datang maka acara dimulai. Arfan rasanya ingin pulang saja saat setelah penghulu membacakan khotbah nikah, tapi ia tidak bisa.
Ketika ijab kabul selesai dan Zahra telah resmi menjadi milik orang lain dan Arfan sudah mulai mengikhlaskan. Pengantin perempuan menuruni tangga keluar kamar untuk menemui pengantin pria. Arfan bisa melihat gaun pengantin putih panjang perlahan turun. Arfan mengalihkan pandangannya kemanapun selain seseorang yang turun dari tangga.
Tapi matanya malah tak sengaja melihat wajah pengantin wanita. Arfan tentu saja kaget alisnya berkerut, ia bingung bukan main dengan pengantin wanita ini. Dia siapa?
Abrisam bilang Zahra temannya, tapi ini siapa? Atau namanya saja yang mirip?
Dengan gerak cepat ia mengedarkan pandangannya menoleh ke kanan dan ke kiri, ia juga melihat kebelakang mencari seseorang. Dan ia temukan Zahra yang asli dengan khimar coklat melihat ke depan bukan melihat Arfan.
Arfan langsung menunduk, menormalkan detak jantungnya yang berdetak cepat. Rasanya seperti air mengalir menyiram tubuhnya, menyegarkan. Ia bersyukur kepada Allah pengantin tadi bukan Zahra. Ujung bibirnya tertarik ke atas membuat lengkungan senyum. Ia sepertinya besok harus memberikan CV pada Zahra, sebelum keduluan yang lain.
Giliran senang saja kakaknya tidak ingin berbagi pada Arza, jika Arfan lagi sedih Arza juga rasanya ikut merasakan.
Rasanya Arza ingin menggiring kakaknya keluar dari dalam rumah, bagaimana tidak sejak pengantinnya keluar yang Arfan sangka Zahra ternyata bukan Zahra yang asli, kakaknya ini tolah toleh kebelakang Seolah mencari sesuatu. Setelah melihat apa yang dia inginkan Arfan tiba-tiba senyum sendiri sambil menunduk. Ketika Arza melihat sekeliling ada beberapa orang perempuan muda bahkan ibu-ibu melihat tingkah laku Arfan. Arfan yang melakukan kenapa Arza yang jadi malu.
"Kak jangan senyum-senyum dong, malu dilihat orang." Arza berbisik.
"Oke." Segitu saja, tanpa penolakan.
.
"Cepat dong dek jalannya." Arfan seolah terburu-buru. Arza berjalan di belakangnya heran, kenapa juga harus cepat-cepat. Memangnya namanya Dedek, pakai panggil dek dek segala.
"Pelan-pelan saja kak, memangnya mau ngapain? Gak baik buru-buru."
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda kepada Al-Asyaj,
إنَّ فيكَ لَخَصْلَتَيْن يُحِبُّهُمَا اللهُ : الْحِلْمُ وَالأنَاةُ
"Sesungguhnya pada dirimu ada dua akhlak yang dicintai Allah, yaitu al-hilm (menahan diri ketika marah, tidak tergesa-gesa menyikapi suatu masalah) dan al-anaah (berhati-hati dalam menghadapi suatu masalah, menahan diri dan tidak terburu-buru)." [HR. Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma]
Arfan memelankan langkahnya. "Nggak ada sih."
"Arfan." Ketika mereka sudah sampai di parkiran mobil, ada seseorang memanggilnya. Arfan dan Arza pun menghadap ke kanan ke arah sumber suara.
Sekarang apa lagi.
Arfan melihat sekretarisnya berjalan dan berhenti satu setengah meter dari Arfan dan Arza. Arfan hanya melihat kearah apapun selain ke mereka. Ketika ia tadi terbang bersama ribuan kupu-kupu sekarang ia pun terhempas kembali ke tanah. Bagaimana tidak seseorang yang dia sukai sedang menggandeng tangan sekretarisnya.
Arza hanya melihat saja, ia hanya ingin menonton drama apa lagi yang akan disuguhkan kakaknya ini.
"Kesini juga bareng Arza?" Arfan hanya mengangguk sebagai jawaban, ia sekilas melihat wajah Zahra yang sedang asik melihat sepatunya.
"Oh ya lupa, kenalin ini--"
"Istri abang?" Belum sempat Zaki menjawab sudah di potong dulu oleh Arfan.
Zahra mengangkat kepalanya melihat sekilas Arfan lalu menundukkan kembali pandangannya. Arfan menyesali apa yang telah dia buat.
Zaki merasakan sepertinya ada sesuatu pada bosnya ini. "Bukan ini adik Abang."
"Alhamdulillah."
"Apa?" Itu Arza yang bertanya. Arfan lagi-lagi menyuarakan isi pikirannya, ia malu sendiri jadinya di hadapan calon kakak ipar.
"Nggak kok." Arfan merasa kesal sendiri kenapa si Zaki ini tidak bilang jika ia punya adik. Zahra lagi adiknya. Iyalah orang Arfan saja tidak bertanya dan tidak ingin tahu.
"Ini Zahra." Zaki memperkenalkan lebih dulu.
"Iya tau." Arza menyikut lengan kakaknya.
Arfan langsung membenarkan, "Maksudnya Aku tahu Zahra, karena kami pernah sekelas saat SMA."
"Oh, kamu kok nggak bilang."
"Abang nggak nanya." Dan Abang pun nggak bilang kalo kakaknya Zahra. Lanjutnya dalam hati.
"Iya juga." Zaki lalu melanjutkan, "Kami pulang dulu Arza, Arfan sudah siang."
"Oh oke bang, hati-hati."
Setelah mobil Zaki dan Zahra tidak terlihat, Arfan tersenyum. "Za, ayok kita belanja, kakak masakkin yang kamu mau." Ini yang Arza senang dari kakaknya, kakaknya kalo sedang bahagia maka Arza juga akan bahagia. Lupakan narasi dia yang sebelumnya.
.
"Kakak kan bilang bakal masakkin yang kamu mau, tapi kamu cuma minta buatin tempe bacem sama sayur asem."
Mereka sedang makan malam di ruang makan. Arza tersenyum, "Arza kangen ibu. Soalnya makanan buatan kakak rasanya sama kayak buatan ibu."
"Kamu sih libur, bukannya pulang ke rumah ibu sama ayah malah kesini." Arfan terkekeh.
"Eh, iya. Kenapa baru nyadar." Arza bingung sendiri. Tapi sebenarnya ketika ia pulang ke rumah kakaknya, maka apa yang dicarinya sudah ada pada kakaknya, di rumah ini. Ibu? Kakaknya punya sifat itu, entah sejak kapan kakaknya ini bisa memasak seenak ibunya. Ayah? Kakaknya pun punya sifat itu. Dan apa pun yang Arza inginkan kakaknya pasti menurutinya. Dan lagi Arza bersyukur punya kakak seperti Arfan. Arfan memang tidak bisa di definisikan dengan kata-kata.
Tak berapa lama suara ketukan pintu terdengar. Arza hendak bangkit namun di tahan oleh Arfan. "Biar kakak yang buka."
Arfan membuka pintu betapa terkejutnya ia, yang datang adalah ayah dan ibunya. Arfan langsung menyalaminya.
"Ibu sama ayah kok dateng malem-malem, mana gak bilang. Kalo ibu sama ayah mau kesini kan bisa bilang biar Arfan yang jemput."
Tari, ibu Arfan dan Arza tersenyum. "Kamu bukannya nyuruh ibu sama ayah masuk, malah di ceramahin. Ibu kan mau bikin surprise."
Arfan terkekeh lalu menyuruh mereka masuk, "Mana si Arza? Adikmu bukannya pulang ke rumah malah ke sini." Kali ini Arga, ayah Arfan dan Arza yang bertanya.
"Arza lagi makan, ibu sama ayah makan ya. Arza tadi siang minta di bikin sayur asem sama tempe bacem katanya kangen ibu."
Ibunya berbicara sambil berjalan ke ruang makan. "Arza bilangnya kangen sama ibu tapi datengnya ke kakakmu."
Mendengar suara ibunya Arza langsung menghentikan acara makannya dan menghambur memeluk ibunya.
"Ibu tau aja, dateng pas Arza lagi kangen."
"Sama ayahmu gak kangen gitu?" Arga menyela, ingin juga di perhatikan.
Arza melepas pelukan ibunya lalu memeluk ayahnya, "Kangen dong yah."
Arfan hanya sebagai penonton, tidak mungkin dia ikut dalam acara peluk-pelukan ini. "Ayuk kita makan pasti ibu sama ayah belum makan."
.
"Kenapa ibu sama ayah kesini malam-malam." Arfan bertanya di sela-sela makannya.
Arga mendesah, "Ibumu sih sudah tidak sabar kesini, ayah bilang besok saja tapi ngotot pergi sekarang."
Tari tetap makan seolah tidak mendengar malah berkata jauh dari topik, "Masakan kamu mirip banget dengan masakan ibu Fan, padahal kan ibu nggak pernah ngajarin."
Arfan tersenyum, "Arfan lihat Ibu masak."
"Lah iya, tak pikir kamu cuma bisa makan." Ibunya tertawa.
"Itu Arza yang cuman bisa makan Bu." Arfan melirik Arza yang sudah habis nasi di dalam piringnya.
Arza tidak terima dan mulai protes, "Iya lah, kakak yang masak. Aku yang ngabisin. Ibu yang masak, Aku yang ngabisin."