Malam tadi Arfan tertidur pukul dua belas malam, karena malamnya ia di sibukkan membuat CV untuk proses ta'arufnya nanti. Arfan yang biasanya tidur setelah shalat isya, hari ini ia sibukkan untuk membuat CV.
Entah ada gangguan apa semalam, Arfan merasa membuat hal seperti itu saja lama sekali. Mau bagaimana pun ini CV untuk ta'aruf bukan untuk melamar pekerjaan, Arfan mengusahakan CV ini sesempurna mungkin. Walaupun tidak ada yang sempurna kecuali Allah.
Di sepertiga malam Arfan bangun tidur, ia ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Memakai kopiah lalu digelarnya sajadah. Ia lalu mulai melaksanakan shalat tahajud. Setelah sholat tahajud ia langsung melaksanakan shalat istikharah agar ia diyakinkan apa yang di pilihnya benar. Seperti katanya dulu jika Zahra kembali setelah lama pergi, maka Arfan akan menemui walinya. Yaitu dengan maksud melamar Zahra. Dan entah karena dia terlalu tidak peduli bahwa wali Zahra adalah sekretarisnya sendiri sejak lama.
.
Arfan mengetuk pelan pintu kamar ibunya, ia tahu ibunya pasti sudah bangun. Ayahnya tidur di kamar bawah bersama Arza yang tiba-tiba ingin tidur bersama ayah.
"Masuk aja," Suara Tari terdengar. Arfan langsung masuk ke kamar dan melihat ibunya sedang melipat sajadah yang tergelar di lantai.
"Ibuk selesai shalat makin cantik aja," Arfan memuji ibunya yang masih terlihat cantik di usia kepala empat.
"Kamu bisa aja. Kenapa Arfan kok kesini? Ada yang mau diomongin ya."
Arfan tersenyum, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ibu tau aja, Aku memang mau ngomong sesuatu ke Ibu."
Ibu langsung duduk di ranjang sebelah anaknya, "Langsung ngomong aja Fan, Ibu penasaran nih."
Arfan tertawa hingga gigi gingsulnya terlihat, "Iya. Bu boleh gak besok Arfan ngelamar orang?"
Kali ini ibunya yang tertawa, "Kamu minta izin kayak mau jajan aja. Memangnya mau ngelamar siapa?"
"Itu, Adiknya Abang Zaki Bu," Arfan berbicara malu-malu.
"Oh Zahra. Kamu kok baru ngomong sekarang, Ibu sebenernya udah lama mau ngejodohin kamu dengan Zahra tapi Ibu tahu kamu pasti bakalan nurutin apa kata Ibu walaupun kamu nggak suka. Ibu sering ngobrol dengan Zahra saat dia ke kantor kamu buat makan bareng dengan Zaki. Zahra itu orangnya baik dan ibu merasa dia dan kamu itu cocok. Ibu juga kadang main ke rumah orang tua angkat Zahra, dan ibu juga merasa Zaki kayaknya setuju dengan kamu," Tari berbicara panjang lebar.
Arfan syok, ia kemana saja selama beberapa tahun ini ketika Zahra ke kantornya. Ia bahkan tidak tahu jika ibunya sering berbicara dengan Zahra. Arfan terlalu tidak peduli dengan lingkungannya. Tapi apa pun yang telah berlalu biarlah berlalu.
"Kok Aku nggak pernah lihat."
"Ibu sengaja takutnya kamu nggak suka."
Arfan mencoba jujur, "Aku baru tahu kemarin ternyata Zahra Adiknya Abang Zaki."
Tari tersenyum maklum anaknya ini memang terkadang tidak peduli pada sekitar yang tidak menyangkut dirinya, tapi akibatnya jadi seperti ini kan, "Bukan kamu saja yang suka Zahra ternyata. Banyak loh teman-teman Zaki, kenalan Zahra yang melamarnya tapi Zahra selalu menolak dengan alasan dia belum siap menikah. Zaki pun katanya baru ingin menikah setelah menikahkan adiknya, itu pun tanpa sepengetahuan Zahra."
"Bu gimana kalo Aku yang di tolak nanti."
"Kamu mau nyerah sebelum mencoba?"
"Nggak, Bu."
"Nah jadi kenapa sudah kepikiran takut di tolak. Ibu ada di sini mendoakanmu dan lagi ibu hanya merasa suatu hal baik akan terjadi."
.
Setelah dari masjid Arfan dan Arza tidak langsung pulang ke rumah mereka memilih untuk berjalan-jalan sebentar mengelilingi kompleks perumahan, ayah mereka sudah lebih dahulu pulang ke rumah karena tidak ingin ibu sendirian padahal hanya alasan ayah saja.
"Aku tahu Kakak mau bilang sesuatu," Arza berbicara sambil mengayun-ngayunkan kakinya.
Arfan langsung memandang adiknya sebentar lalu kembali menatap jalan, "Memang."
"Apa sih Kak jangan bertele-tele lah bikin penasaran aja," Arza berkata gemas.
"Kakak mau melamar Zahra," Kata-kata Arfan seperti angin berhembus yang datang dengan cepat. Arza terdiam menatap kakaknya, secepat mungkin Arza kembali menampilkan senyum bahagianya.
"Beneran kak?"
"Iya, jika Arza setuju." Arfan meminta persetujuan langkahnya membawa dirinya dan Arza untuk duduk di bangku taman kompleks.
"Kok Aku sih. Kakak bisa minta izin sama ibu atau ayah, kalau mereka setuju Aku juga bakalan setuju kak." Arza menepuk paha kakaknya.
"Kakak sudah izin sama ibu, ayah palingan juga setuju. Tapi Kakak tetap bakalan ngikutin kata-kata kamu." Arfan berkata serius sambil menatap adiknya.
Arza merasa tidak terima, "Nggak bisa gitu kak, misalnya Aku nggak setuju gimana?"
Arfan menjawab cepat, "Kakak nggak bakalan nikah."
Kali ini Arza menepuk lengan Arfan kesal, "Aku setuju lah kak. Kakak aneh ih." Arza menghembuskan nafas kasar, "Kakak sudah delapan tahun suka kak Zahra, Aku nggak sejahat itu buat ngehambat kesenangan kakak."
"Nggak apa-apa, selama kakak bisa bahagiain kamu. Apa perlu kamu duluan aja nikah biar kakak nanti nyusul setelah kamu?" Mendengar ini Arza merasa seperti menjadi orang jahat saja dalam sebuah cerita.
Arza kembali memukul lengan Arfan, karena makin kesal. "Kamu kenapa sih Za, mukul terus dari tadi. Kakak salah apa sih," Arfan mengusap-usap lengannya.
"Lambemu kak," Jeda sejenak, Arza membiarkan kata-katanya tertahan. "Jadi, kapan?"
"Kakak bilang dulu ke Abang Zaki nanti," mata Arfan turun memandang ujung kakinya.
"Jangan nanti-nanti kak, Aku bentar lagi mau wisuda," dan Aku harus bersiap untuk pergi. Arza menambahkannya dalam hati.
"Iya, kakak juga harus mempersiapkan mental. Mungkin jika kakak nggak di terima,"
"Kakak terlalu pesimis. Ini kayak bukan kakakku. Aku males ih, jadi ilfeel."
What?
"Ya kan, kakak juga harus memikirkan resikonya. Nggak semuanya bisa berjalan sesuai rencana, kita cuman bisa merencanakan. Allah yang menentukan."
"Ya kali. Aku pikir kakak lagi kerasukan," gumam Arza. Mana berani dia bicara langsung ke Arfan, bisa jadi kakaknya nggak mau masak lagi untuk dirinya.
"Awas kamu coba-coba cari kakak lain," Arfan menyipitkan matanya memandang Arza.
What? Kayaknya kakaknya benar-benar kerasukan.