Salahku yang sudah terlanjur membayangkan banyak hal indah bersamamu, padahal memilikimu saja aku tidak mampu.
-Rintik sedu-
.
.
.
.
.
.
.
Arfan mengacak rambutnya yang awalnya rapi di tata, sekarang sudah tak berbentuk. Hanya karena ia melihat dan mendengar suara hujan, sebuah rasa tiba-tiba muncul ke permukaan terluar hatinya. Rindu.
Padahal Arfan sudah menekan dengan kuat ke dalam hatinya rindu yang semakin hari, semakin bertambah. Lalu ia harus apa?
Arfan kembali merapikan rambut dan pakaiannya. Bagaimanapun cara berpakaian CEO akan menentukan seberapa formal lingkungan perusahaan. Terkadang ia jenuh setiap hari ia harus memakai pakaian jas lengkap dengan tatanan rapi, tak lupa dasi yang seolah mencekik lehernya dengan kuat sewaktu-waktu. Padahal ia sangat ingin memakai baju santai saja, dan menyuruh semua karyawannya juga memakai baju santai. Tapi jika itu dilakukan bagaimana kerjanya, mungkin juga akan terbawa-bawa santai.
Tiga jam sebelum ini Arfan seharusnya menarik kata-katanya. Saat ini ia sedang menentukan strategi dan visi perusahaan yang sedang ia pegang agar berkembang kearah yang lebih baik. Arfan bersikeras bahwa ia bisa melakukannya sendiri tanpa di bantu oleh tim manajemen senior ataupun investor. Tapi tiga jam kemudian Arfan malah membutuhkan bantuan. Karena Arfan ingin cepat pulang dan berenang di kubangan rasa rindu yang baru saja ia buat.
Rindu? Ya, Rindu. Sudah delapan tahun ia belum bertemu Zahra. Ia tidak tahu kabarnya, seperti apa dia sekarang.
Yang Arfan tahu dari Zahra sekarang adalah Zahra yang bekerja sebagai seorang Akuntan. Tapi Arfan tidak tahu Zahra bekerja di perusahaan mana. Informasi itu diketahuinya dari grub kelas SMA di aplikasi chatnya.
Arfan sudah pernah mengirim pesan lewat e-mail kepada Zahra tapi tidak ada balasan. Mungkin saja e-mail nya sudah tidak dipakai lagi. Berhubung e-mail itu Arfan dapatkan ketika di masa SMAnya.
Arfan mengambil ponselnya, menekan lama angka tiga. Lalu suara nada terhubung terdengar. Tak lama kemudian panggilan terjawab. Hening. Arfan merutuki kebodohannya, jika ia menelpon Zahra bagaimana Zahra menjawabnya. Arfan hendak mengakhiri panggilannya, namun gerakannya terhenti dengan suara seorang perempuan di ujung sana.
"Halo?" Jantung Arfan berdetak cepat. Mungkinkah? Arfan hanya diam.
"Siapa ya?" Diujung sana masih terus bertanya dan di ujung sini bertanya dalam hatinya apakah ia salah menghubungi orang. "Jika tidak ada keperluan Saya akan mematikan panggilannya."
"Zahra?" Akhirnya suara Arfan terdengar.
"Ini bukan Zahra. Zahra sedang di toilet ada apa ya?" Dengan cepat Arfan langsung mematikan panggilannya.
*
Arfan membutuhkan udara segar, jadi ia sedang berada di kedai pinggir jalan menikmati secangkir kopi hangat. Udara segar setelah hujan sangat Arfan sukai.
Arfan sama sekali tidak menyadari bahwa ia sedang menjadi pusat perhatian di kedai itu. Karena Arfan tampak mencolok, berpakaian jas rapi di tambah Arfan sedang duduk sendiri. Dengan wajah dan penampilannya yang terlihat mapan. Sekelompok remaja putri berok abu-abu yang awalnya hanya lewat, menghentikan langkah mereka lalu masuk ke dalam kedai.
Arfan merasa saat ini kedai sudah penuh karena suasananya terlalu berisik disini. Maka Arfan memutuskan untuk pergi dari sini. Arfan melangkahkan kakinya hendak kembali ke kantor. Tiba-tiba matanya menangkap seorang perempuan dengan jilbab panjang keluar dari minimarket di seberang jalan. Mata Arfan tidak minus ia bisa dengan jelas melihat seseorang di ujung sana. Waktu seakan berhenti. Lagu Beutiful Ost. Dari drama Goblin tiba-tiba terdengar dari toko kaset di sebelah kedai kopi seolah menjadi backsound mereka berdua.
Arfan menahan nafas ketika Zahra melihat kearahnya. Hanya perubahan kecil yang terjadi pada diri Zahra selama delapan tahun. Arfan tidak salah lihat Zahra memang sedang melihat ke arahnya. Zahra tersenyum di ujung sana, rindu pada orang inilah yang yang terus membuncah di hatinya selama ini. Hanya seperkian detik ketika Zahra tersenyum, lalu Zahra memutuskan pandangannya dan berlalu pergi.
Arfan menghembuskan nafas kasar, jantungnya masih berdetak cepat.
Ia harus cepat kembali ke kantor, karena cuacanya mendadak kembali mendung, seperti akan turun hujan. Ia sengaja tidak membawa mobil ketika ingin ke kedai ini, karena jaraknya dekat dengan kantor.
Ketika ia sampai di loby kantor, karyawannya menyambut dengan senyum ramah. Arfan terus saja berjalan menuju ruangannya di lantai enam. Ia ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya, agar dirumah ia dapat bersantai tidak perlu memikirkan pekerjaan kantor yang harus ia kerjakan di rumah.
-
"Assalamu'alaikum" Hening tidak ada yang menjawab dari dalam rumah minimalis berlantai dua itu. Arfan lupa kalau ia tinggal sendiri. Ketika ia mengajak ayah dan ibunya untuk tinggal di rumah Arfan, kedua orang tuanya menolak. Ayahnya bilang ingin tinggal berdua saja dengan ibunya. Ayahnya lepas tangan dengan perusahaan, bosan katanya dan membiarkan anaknya melanjutkannya. Rumah sama yang di hadiahkan ayahnya saat masih SMA.
Dan adiknya Arza tidak datang lagi kesini sejak dua Minggu yang lalu. Mungkin dia sibuk menyusun skripsi. Arza malah ingin tinggal di rumah Arfan, tapi jarak rumah Arfan dan kampusnya terlalu jauh. Jadi, ia memilih mengekost di sekitar kampus.
Badan Arfan sangat terasa segar ketika baru selesai mandi. Ia sedang berbaring di kasur king size, ketika matanya setengah tertutup. Tiba-tiba ponselnya yang diatas nakas berbunyi.
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara ayahnya dari ujung telepon.
"Waalaikumsalam."
"Sudah pulang kerja?"
"Sudah yah, ini Arfan lagi baring di kamar. Ayah sama ibu sehat?"
"Alhamdulillah, ibu sama ayah sehat. Ini loh ibu ngotot mau ngomong sama kamu."
Arfan tersenyum ketika terdengar suara ibunya memanggil Arfan di ujung sana. "Sudah makan nak?"
"Belum Bu, nanti. Arfan lagi males buat manasin sayurnya." Arfan mengusap perutnya, sebenarnya ia lapar tapi rasa malasnya lebih besar ketimbang rasa laparnya.
"Nanti selesai nelpon, makan jangan lupa. Jangan langsung tidur. Ibu nyuruh kamu makan loh bukan suruh nikah."
Arfan merasa tertohok. Ayah dan ibunya terus saja mendesaknya untuk menikah. Tapi Arfan selalu bilang nanti. Ia masih fokus menjadi CEO yang banyak orang bilang menjadi CEO itu keren. Tapi Arfan merasa sama sekali tidak keren, karena jabatan dan perusahaan yang ia dapatkan dari ayahnya, setelah ia lulus dari kuliah jurusan Industrial Engineering. Bagi Arfan yang keren menjadi CEO adalah mendapatkan jabatan itu dari hasil kerja kerasnya sendiri yang di mulai dari staf. Tapi ketika memikirkan itu rasanya panjang sekali perjalanannya untuk sampai menjadi Chief Executive Officer. Diumurnya yang ke 22 tahun ia mengemban jabatan itu, hanya jabatan saja dengan pengalaman yang masih belajar.
Dan Arfan bersyukur ayah dan ibunya tidak menjodoh-jodohkan sampai sekarang tapi ayahnya terus saja menanyainya kapan menikah.
"Iya, ini Arfan mau-" Telepon terputus, Arfan memandang layar handphonenya yang mati kehabisan baterai. Mungkin ibunya uring-uringan disana. Arfan mencharger handphonenya, dan hendak berbaring lagi namun suara bel pintu menghentikan gerakannya. Hampir saja Arfan berdecak kesal.
Arfan menuruni tangga dengan cepat, entah kenapa seseorang di balik pintu rumahnya terdengar kurang sabar dengan caranya menekan bel. Mungkin saja hal penting terjadi.
Ketika Arfan dengan terburu-buru mencapai pintu dengan gerakan cepat. Matanya menangkap sesosok manusia tinggi dengan kacamata bertengger di hidungnya sesosok itu tersenyum bodoh, kontras dengan penampilannya. Siapa lagi, Abrisam.
Arfan cepat bertanya, "Kenapa?"
"Numpang makan."
Arfan hendak menutup pintunya kembali, namun Abrisam menahan pintu dengan tangannya. Baiklah, mungkin Abrisam bisa berguna untuk mengatasi kemalasannya.
"Masak sendiri, buatkan juga untukku." Tanpa mendengar jawaban yang akan keluar dari mulut Abrisam, Arfan langsung masuk ke ruang tengah menghempaskan dirinya di sofa empuk dan menghidupkan televisi dengan remote yang sudah berada di tangannya.
Arfan melirik sedikit ke arah Abrisam yang sedang menggulung lengan kemejanya. "Pink?"
"Memangnya kenapa pink? Istriku sendiri yang memilihkannya sebelum pergi ke rumah ibuku, karena itu Aku kesini untuk makan." Abrisam terdiam sejenak, ia melihat Arfan memutar bola matanya lalu melanjutkan, "Kenapa? Iri? Tidak punya istri? Mau menikah? Belum ketemu jodoh?"
Arfan berdecak, kali ini tidak bisa menahan lagi rasa kesalnya bagaimana ia tidak merasa kesal jika Abrisam bertanya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi seperti itu belum lagi beberapa menit sebelumnya ibunya hampir bertanya hal serupa. "Mau masak saja ribet. Memangnya sensus."
Abrisam terkekeh lalu ia teringat sesuatu ia melangkah ke sofa, mengambil sebuah undangan dari dalam tas kerjanya. Abrisam meletakan undangannya di atas meja depan Arfan. "Usahakan datang, dia kakak istriku dan calon kakak iparnya teman kenalan kita di SMA dulu."
Setelah mengatakan itu Abrisam langsung melangkah ke dapur. Arfan hanya melirik undangan berwarna lavender itu lalu ia mengalihkan pandangannya kembali ke televisi.
Tapi tunggu, teman istrinya Abrisam? Bukan yang itukan? Bukan yang baru saja bertemu kan? Bukan seseorang yang dia rindukan kan? Iya kan?
Terlalu banyak pertanyaan dipikiran Arfan. Ia enggan melihat nama yang tertulis di undangan, bagaimana jika dugaannya benar? Tangan Arfan sudah terasa dingin.
Arfan tidak menjamin dengan kondisi hatinya selanjutnya setelah ia melihat itu. Ia pria kenapa bisa ia sepengecut ini. Arfan pun memberanikan diri melihat undangannya.
Ryan Saputra
&
Zahra Abidah
Pandangan Arfan menjadi kosong dan sepertinya Arfan mendengar suara retakan dari dalam tubuhnya, lebih tepatnya hatinya. Matanya memburam, beberapa tetes air jatuh kecelananya, Arfan melihat ke langit-langit. Ternyata tidak ada yang bocor hanya air yang keluar dan turun dari matanya. Inikah yang dia dapatkan ketika ia berharap kepada manusia?
.
.
.
.
.
.
Ceritanya hanya fiksi