Sabtu pagi yang dingin membuat Arfan untuk kembali meringkuk di dalam selimut selepas menyelesaikan sholat subuh. Rasanya ia enggan sekali beranjak dari kasurnya untuk menikmati udara pagi sambil berolahraga di sekitar perumahan, biasanya ia selalu melakukan hal itu dihari libur kerjanya.
Tapi kali ini berbeda, ia lebih memilih berdiam dikamar. Menikmati rasa yang baru muncul tadi malam di kesunyian pagi.
Kemarin ia terbang karena rindunya terobati dan malamnya ia terjatuh, hatinya patah. Tak perlu repot-repot ke dokter untuk mengobatinya, Arfan ingin merasakannya dalam diam.
Arfan mencintai Zahra delapan tahun ini, lalu Zahra akan menikah dengan orang lain dan Arfan baru tahu tadi malam setelah siangnya baru bertemu setelah delapan tahun ini belum bertemu. Bukankah, rasanya sakit?
Selimut Arfan terbuka dan jatuh ke lantai. Seseorang melombat menerjang Arfan, tentu saja Arfan kaget bukan main. Jika ia tidak tahu siapa yang tiba-tiba menindih badannya mungkin ia sudah menendang orang ini.
"Bikin kaget. Kenapa bisa masuk?" Arfan bertanya disela-sela jantungnya yang masih berdebar karena terkejut.
"Kan punya kunci cadangan, sudah lama tidak kesini. Kakak makin kurus." Arza memeluk kakaknya, rindu. Beginilah jika Arfan tinggal lama sendiri badannya tiba-tiba kurus karena dia malas masak dan malas makan. Dia juga malas membeli makanan walaupun bisa pesan lewat aplikasi karena Arfan tidak ingin makan sendiri.
"Kenapa kesini? Skripsinya selesai?" Arfan bertanya sambil mengambil selimut dan membenamkan tubuhnya di dalam selimut.
"Skripsinya selesai, tinggal tunggu sidang. Aku kesini kan mau lihat kakak, tidak biasanya hari Sabtu lanjut tidur." Arza ikut masuk ke dalam selimut Arfan.
"Sana pergi beli sarapan." Arfan menarik selimut yang membungkus tubuh tinggi Arza.
Arza mendengus,"Baru sampai juga. Kalo beli sarapan kakak juga ikut, jangan diam saja dirumah sambil masang wajah sok sedih."
Arfan hanya berdehem tak jelas, matanya terpejam. Arza terus berusaha membujuk Arfan untuk keluar dari selimut, Arfan tetap diam. Arza memang tidak peka dengan keadaan Arfan atau pura-pura tidak peka.
"Ayo!" Arfan berdiri keluar kamarnya, setelah mendengar suara perut dari Arza. Semalas dan sesedih apapun dia hari ini saat mendengar suara perut adiknya dia tidak akan bisa diam.
Arza tersenyum kakaknya masih peduli padanya, mau bagaimana pun kakaknya sekarang sedang patah. Terlihat dari undangan diatas meja di ruang tengah, saat ia datang tadi. Dan melihat kakaknya yang tidak seperti biasanya dihari libur hanya meringkuk di dalam selimut. Sebenarnya seberapa cinta kakaknya ini pada gadis itu, bahkan nama lengkapnya saja ia tidak tahu. Kakaknya sudah salah, karena patah hati pada orang yang salah. Arza mensyukuri akan ingatannya.
.
Setelah cukup kenyang menghabiskan sarapan bubur ayam di pinggir jalan. Arfan memutuskan untuk langsung pulang, tapi Arza memaksa Arfan untuk mampir terlebih dahulu ke supermarket untuk membeli bahan makanan yang akan dimasaknya untuk makan siang dan malam nanti.
"Beli jadi saja, siapa yang akan masak nanti?" Arfan duduk di bangku taman dengan kaki di luruskan.
"Kakak." Arza berkata enteng, ia duduk di sebelah Arfan. Mendengar perkataan Arza otomatis Arfan memandang tajam Arza. "Kenapa? Masakan kakak kan enak. Malas? Pantas saja kakak kurus. Ayok kak!"
Arza menarik narik kaos putih polos Arfan. Sebenarnya usia Arza berapa tahun kelakuannya masih seperti bocah umur delapan tahun. Arfan sekarang dalam mode malas bergerak rasanya untuk berdiri saja butuh tenaga ekstra. Arfan hanya berdehem tak jelas sebagai jawaban.
Mata Arfan baru sejak menutup ketika adiknya berseru, "Assalamualaikum kak Zahra." Dengan cepat Arfan duduk dengan tegak, matanya mengedar mencari sosok pujaan.
Suara tawa tertahan terdengar dari mulut Arza, bisa-bisanya dia dibohongi oleh adiknya sendiri, Arfan bangkit dari kursi berjalan cepat ke trotoar, lalu kakinya melangkah masuk ke dalam supermarket berlantai tiga.
Arza yang berhasil mengejar Arfan berjalan di sampingnya, "Kak beli sosis." Seolah tak bersalah Arza memasukkan dua bungkus sosis ke keranjang merah yang dipegang Arfan. Lalu Arza berjalan melewati tempat sayur untuk menuju rak mie instan. Memasukkan delapan bungkus mie instan goreng pedas kedalam keranjang.
"Untuk apa beli mie, di kosan makan mie seharusnya datang kesini bukan untuk makan mie tapi untuk memperbaiki gizi." Arfan hendak mengembalikan mie kembali ke habitatnya namun tangannya ditahan. "Kenapa?"
"Ini untuk video mukbang nanti siang." Arfan mengerenyitkan dahinya, sejak kapan adiknya ini jadi lebay makan mie saja pakai acara direkam.
"Semuanya?" Arza mengangguk.
"Sendiri?"
"Sama kakak, pasti banyak yang nonton. Makin banyak yang nonton makin banyak uang." Arza berbicara dengan semangat.
"Berapa?" Arfan sudah mengeluarkan dompet dari dalam celana trainingnya.
"Huh?" Arza masih loading.
"Berapa uang yang di dapat? Kakak yang bayarin."
Sombong Amat.
*
Arfan meletakkan satu keranjang penuh belanjaan ke meja kasir. Kebanyakan isinya makanan ringan dari pada bahan makanan yang akan di masak untuk makan siang dan malam. Sudah jelas dari awal, bukan Arfan yang memasukkannya tapi Arza.
Sambil menunggu kasir yang menghitung belanjaannya mata Arfan mengedar mengamati sekitar. Ia melihat Arza berdiri disampingnya mengamati rak di meja kasir yang berisi berbagai macam permen, Arfan sangat yakin Arza akan mengambil dan menyisipkannya ke dalam kumpulan barang belanjaan yang belum dihitung.
Mata Arfan kembali bergulir. Arfan terpaku, perasaan itu muncul kembali ketika mata coklatnya menangkap sosok Zahra yang berjalan hendak menuju kasir. 'Dia akan jadi istri orang Arfan.' pikiran Arfan mengingatkan.
Dengan cepat Arfan mengambil dompetnya, mengeluarkan uang seratus ribu lima lembar dan memberikannya pada Arza. "Kakak pulang duluan, mau minum."
Sebelum Arza memperotes, Arfan sudah berjalan cepat keluar supermarket. Dan sekarang Arza mengerti kenapa kakaknya terburu-buru untuk pulang.
"Assalamu'alaikum, apa kabar kak Zahra." Arza menyapa Zahra yang meletakan belanjaannya ke meja kasir di sebelah Arza.
Arza pertama kali bertemu Zahra saat di toko kue sewaktu Arza masih SMP. Saat itu Arza hendak membeli roti coklat kesukaannya namun hanya ada satu porsi dan Zahra pun ingin hal yang sama. Maka dengan berat hati Arza mengiklaskan roti kesukaannya untuk Zahra. Namun sebelum ia beranjak dari toko Zahra menyentuh bahunya dengan handphone dan langsung memberikan satu kotak roti coklat pada Arza, Zahra langsung pergi meninggalkan Arza. Di pertemuan ke dua Arza tahu bahwa Zahra adalah gadis yang di sukai kakaknya.
Zahra tersenyum,"Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik."
*
Arfan Emetrop, jadi tidak mungkin salah melihat. Apalagi sedang melihat pujaan hati, Arfan sedang tidak berdelusi. Arfan bertanya pada dirinya kenapa ia lari dan Arfan berfikir Zahra terkadang membawa pengaruh buruk pada dirinya dari awal Zahra tak bersalah, namun diri Arfan sendirilah yang bermasalah.
Ya, ia yang bermasalah. Jika Zahra memang jodohnya, mungkin saat ini bukan waktunya. Tapi seharusnya ia tidak berlari seperti seorang pengecut dari Zahra. Lagi pula ia tidak bisa bertemu Zahra dan mengobrol dengannya, sementara hatinya patah.
Dan pertanyaan muncul di pikirannya, kenapa Zahra bebas berkeliaran di minimarket sementara hari ini adalah acara pengajian di rumahnya, seperti tidak ada orang lain saja di rumahnya.
Setelah keluar dari tempat perbelanjaan rasa bersalah muncul dalam diri Arfan. Bagaimana bisa ia meninggalkan adiknya seorang diri, dengan membawa belanjaan yang begitu banyak. Arfan jadi tidak tega, ia kembali masuk kedalam supermarket dan menemui Arza yang menenteng dua kantong besar belanjaan tapi mata Arfan tidak menangkap sosok Zahra di sana dan ia bersyukur.
Dengan langkah cepat Arfan menghampiri Arza dan mengambil semua kantong belanjaan yang di pegang Arza.
"Biar kakak saja. Ini berat."
Arza mendengus menatap kakaknya,"Memangnya Aku anak kecil." Entah kenapa Arza bahagia, bukannya kakaknya tadi berniat untuk pulang lebih dulu tapi malah kembali kesini.
"Kalo bukan anak kecil, tidak akan beli permen sebanyak ini."
Mereka terus berjalan menyusuri trotoar. Namun mata Arza melihat warung jus buah di pinggir jalan, ia jadi ingin membelinya.
"Kakak pulang saja dulu buat masak, Aku mau beli jus buah di sana." Arza menunjuk warung jus buah di pinggir jalan.
"Kakak pergi dengan kamu, ya pulang harus dengan kamu lah."
"Aku bukan anak kecil loh kak. Biar nggak makan waktu, Aku pulang makanan sudah jadi. Disitu juga ada teman Aku kak."
"Teman yang mana?" Arfan menjadi menyebalkan bagi Arza.
"Teman SMA dulu. Udah kak pulang aja oke, Aku pulang cepat kok." Arza mendorong punggung Arfan agar kakaknya cepat pulang dan memasang wajah semelas mungkin.
Arfan luluh, "Pulang cepat, kalo capek pesan ojek online saja." Arfan hendak mengeluarkan dompetnya setelah meletakkan belanjaan tapi di tahan oleh Arza.
"Iya Arza nanti pulang cepat. Beli jus aja pake drama."
"Drama apa? Kamu itu adek kakak loh, pergi mulus masak pulang lecet. Walaupun kamu sudah besar kamu masih tetap tanggung jawab kakak."
Rasanya Arza tidak jadi beli jus saja, ia ingin menenggelamkan dirinya di dalam selimut dengan ribuan kupu-kupu terbang di perutnya. Arza sungguh bersyukur punya kakak seperti Arfan