"Iya Cep, tenang aja," jawab Tukijo berat hati.
Tukijo takut, jika tidak menjawab, Cecep akan memukulinya lagi. Hanya dengan mendengar teriakannya saja, sudah membuat bulu kuduknya berdiri.
Setelah lama menunggu, akhirnya Bu Lastri datang ke kelas. Ia mulai membagikan soal ujian bab suhu dan kalor.
Cecep melempar sebuah kertas yang diremas ke meja Tukijo. Kemudian Tukijo membuka kertas itu.
Isi kertas:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
JAWAB SEMUA!
"Gila! Si Cecep nggak tanggung-tanggung nyonteknya!" gerutu Tukijo.
Mendengar gerutu Tukijo, Markonah yang duduk di depannya bergumam, "Ck ck ... mau-maunya diperalat."
Markonah adalah cewek tomboy, tapi cantik, manis dan menggemaskan. Wajahnya selalu ceria seperti cahaya mentari yang bersinar. Parasnya bagaikan mawar putih yang mekar membuat para lelaki tidak bisa berhenti menatapnya. Namun sifat cueknya yang mendarah daging, membuat setiap lelaki sulit mendekatinya. Dia cenderung suka menyendiri daripada berkumpul dengan temannya.
Gadis itu adalah anak dari pemilik toko roti yang berada di Perempatan Mojing, tepatnya sebelah Restoran Mas Agus.
Tak disangka Udin yang katanya juara kelas juga melempar kertas ke meja Tukijo. Dia duduk di depan Markonah.
"Apa maksud anak ini!" Markonah mengernyitkan dahi.
Saat Udin melihat Tukijo membuka kertasnya, dengan wajah polosnya dia berkata, "Bu guru, Tukijo nyontek."
"Apa?" Tukijo tersentak.
Bu Lastri menghampiri Tukijo dan melihat sebuah kertas bertuliskan rumus-rumus suhu dan kalor beserta keterangannya di meja Tukijo.
Seketika badan Tukijo membatu, jantungnya berdegup cepat. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
Udin tahu jelas kelemahan Tukijo, yaitu tidak bisa berhadapan dengan guru secara langsung. Seolah-olah ada sesuatu yang menekan mulutnya, sehingga mulut Tukijo seketika menjadi gagap dan sangat sulit mengeluarkan suaranya. Apalagi Bu Lastri yang terkenal sebagai Guru Killernya IPA 2, membuat Tukijo semakin tertekan.
"Udin kampret!" gumam Tukijo.
Bu Lastri menatap Tukijo dengan tatapan tajam. "Keluar!" bentaknya mengacungkan telunjuknya ke pintu kelas.
Tukijo keluar dengan wajah kesal, sedangkan Udin terkekeh senang. Markonah sedikit merasa simpati kepada Tukijo, tapi dia juga tidak bisa berbuat apapun.
...
Bel berbunyi sekali bertanda waktu istirahat telah tiba.
Bu Lastri keluar kelas dan menghampiri Tukijo. "Jangan diulangi lagi ya, Tukijo," ucap Bu Lastri mengingatkan.
"Baik Bu," jawab Tukijo menunduk.
Setelah memastikan Bu Lastri pergi, Cecep langsung mendatangi Tukijo dan menghantam kepalanya. Anak itu terhempas sampai kepalanya terbentur lantai keramik di karidor depan kelas XII IPA 2.
Kemudian Cecep mencengkeram erat kerah bajunya. "Goblok! Goblok! Goblok!" sergah Cecep sambil menampar wajah Tukijo.
"Kenapa lo diem aja, goblok?!" Cecep mendorong dahi Tukijo dengan telapak tangannya sampai dia terpelanting ke belakang.
Badan Tukijo yang kurus terasa remuk. Nyeri berdenyut-denyut di sekujur tubuhnya membuat Tukijo kesulitan untuk berdiri kembali.
Dari jendela kelas, Markonah melihat Tukijo dipukuli Cecep hingga babak belur, sedangkan Udin tersenyum sinis melihat Tukijo kesakitan.
"Eh, Udin ... emm, gak jadi deh." Markonah mengurungkan niatnya untuk mencemoohnya. Dia merasa tidak ada gunanya berurusan dengan anak orang kaya.
"Markonah kenapa sih? Jangan-jangan dia mau menyatakan cinta padaku? Karena merasa malu, dia mengurungkan niatnya," gumam Udin menduga. Dia merasakan dadanya berdebar-debar.
Markonah sengaja keluar kelas dan berteriak di belakang Cecep, "Wah! Ada Pak Wahib! ..."
Cecep yang sedang memukuli Tukijo, tersentak melepaskannya dan segera berlari ke kelas untuk bersembunyi.
"Di ruang kepala sekolah ... hahaha," ucap Markonah melanjutkan kata-katanya.
Tukijo melihat Markonah sedang menyandarkan bahunya ke tembok sambil tertawa melipat tangannya. Gadis itu melirik Tukijo dan berkata, "Hey! Jangan berharap aku akan membantumu ke UKS, Cepat pergi dan obati lukamu!"
"Ah, tidak- tidak ... terima kasih sudah menolongku!" timpal Tukijo.
Kemudian Tukijo melangkahkan kakinya menuju UKS. Dia tidak pernah berharap siapapun akan membantunya. Remaja miskin ini hanya tidak menyangka, bahwa masih ada orang yang memiliki hati untuk menolongnya.
Di UKS, Tukijo merenung, "Aku tidak bisa terus seperti ini. Kira-kira apa yang akan terjadi jika aku menolak permintaan mereka?" gumam Tukijo berbicara kepada dirinya sendiri.
"Andai, aku bisa melawan mereka." Pikirannya melayang-layang berharap ada suatu keajaiban. Entah dia tiba-tiba memiliki kekuatan super, atau ada seseorang yang memberinya benda ajaib yang bisa mengabulkan segala keinginannya. Namun, Tukijo menyadari bahwa itu hanyalah khayalan fantasi yang tidak mungkin terjadi.
Selama dua pelajaran berlangsung, Tukijo tidak mengikutinya karena berada di UKS. Pipinya membengkak, kepalanya yang benjol terus berdenyut, gusinya berdarah, rahangnya terasa sangat sakit. "Arrrrgh," rintihnya meringkuk di kasur sampai akhirnya dia tertidur.