"Pesen lima porsi, dibungkus dua. Nanti kamu ambil satu," ucap Ningsih kepada Marno. "O iya, sama es teh dua ya ...." Marno segera pergi menyiapkan sajiannya.
Beberapa menit kemudian.
"Wow ...!" Kami menyantapnya dengan lahap.
"Jo, soal kamu keserempet truk itu bohong, kan?" celetuk Ningsih.
Tukijo kaget hampir tersendak makanannya. "Uhuk ...." Dia meraih minumnya lalu menanggapi perkataan kakaknya, "Iya Kak, aku cuma nggak mau Nenek khawatir."
"Jadi, apa yang membuatmu babak belur sampai terkapar di jalan seperti itu?" tanya Ningsih dengan wajah serius.
"Emm, itu Kak ... aku ..."
"Kamu dibullying?" potong Ningsih cepat dengan menyipitkan matanya.
"Iya Kak," jawab Tukijo menunduk.
"Sejak kapan?" tanya Ningsih lagi.
"Sejak SD," balas Tukijo.
"Apa! Sejak SD?" batin Ningsih. Dia menggertakkan giginya, dan hatinya merasa tercabik-cabik mengetahui penderitaan Tukijo.
Lalu mereka terdiam, hingga mereka menghabiskan makanannya dan meninggalkan restoran. Ningsih mengajak Tukijo ke Hotel Dafam hanya berdua membawa mobilnya, sedangkan Teguh dan Marno diperintahkan untuk menjaga Nenek Tukijo.
Setelah sampai di hotel mereka melangkah menuju kamar. Ningsih membuka pintu kamarnya, tampak sebuah ruangan yang cukup luas dengan kasur dan sofa yang tertata rapi. Mereka memasuki kamar tersebut, lalu Ningsih mengunci pintunya.
Dia mengajak Tukijo duduk di kasurnya dan berkata, "Buka bajumu!"
"Hah? Apa yang mau Kakak lakukan?" tanya Tukijo.
"Pfft ... apa sih, kamu jangan mikir aneh-aneh deh. Aku cuma mau liat bekas luka di badanmu," jawab Ningsih tertawa kecil.
"Ha ha ha ... aku hampir saja tergoda." Tukijo tertawa lepas.
Kemudian Tukijo membuka bajunya. Ningsih melihat banyak goresan luka di tubuhnya dan masih ada memar bekas injakan Soib di punggungnya.
"Apa ini masih sakit?" tanya Ningsih sambil menekan luka di punggung Tukijo.
"Argh ... Iya, sedikit sakit," jawabnya.
"Tunggu sebentar." Ningsih mengambil es batu di kulkas dan membungkusnya dengan handuk untuk mengompres luka Tukijo.
"Kenapa kamu nggak laporin aja ke guru BK?" tanya Ningsih lagi.
"Kalau aku laporin, guru akan memberitahu wali murid dan Nenek akan sedih mendengarku ditindas. Bukan hanya itu, teman-temanku juga tidak akan merasa jera hanya dengan peringatan," timpal Tukijo.
"Hmm, kamu benar." Tangan Ningsih memegang dagu. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku ingin menjadi kuat," ujar Tukijo.
Ningsih tersenyum melihat tekad adiknya ingin bangkit dari keterpurukan. "Aku akan mengajarimu beladiri," ucap Ningsih.
"Hah? Kakak bisa beladiri?" tanya Tukijo terkejut.
"Kamu nggak percaya?" Ningsih melipat tangannya ke depan. "Aku bisa mengalahkan sepuluh orang seperti Marno loh ...," ungkapnya percaya diri.
"Woah! Kalau begitu, mohon bimbingannya, Kakak!" Tukijo tiba-tiba berlutut di hadapan Ningsih. Mereka mulai berlatih hingga malam tiba.
_________
Hari Minggu pagi, Marno dan Teguh sudah siap dengan pasukan tukangnya untuk membangun rumah Tukijo. Sementara itu, Ningsih mengajak Tukijo ke Lapangan Tegong untuk melatih kebugaran tubuh.
Tukijo yang tadinya hanyalah seorang remaja lusuh, dekil dan acak-acakan, sekarang telah menjadi lelaki tampan dan rapi meskipun hanya mengenakan kaos oblong dan celana training. Dia mendapat banyak pelajaran dari kakaknya.
Disaat dia sedang serius mengikuti arahan dari kakaknya, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang menaiki motor butut. Dia adalah Markonah. Wanita itu berhenti di salah satu rumah lalu memberikan sebuah bingkisan kepada seseorang yang berada di rumah tersebut. Di samping rumah itu ada beberapa ibu-ibu sedang duduk mengobrol.
"Jo!" panggil Ningsih melambaikan tangannya di depan wajah Tukijo. Namun karena Tukijo tidak merespon panggilannya, dia berteriak di telinganya, "TUKIJO!!!"