Chereads / Si Miskin Jadi Keren / Chapter 3 - 3. Puncak penderitaan

Chapter 3 - 3. Puncak penderitaan

Tukijo dibangunkan oleh suara bel. Bel itu berbunyi tiga kali menandakan waktu pulang. Dia melirik jam dinding tertera pukul 13.00 WIB. Anak itu kaget dan langsung bangkit keluar UKS menuju kelasnya.

"Oh tidak, aku harus segera ke restoran!" gumam Tukijo sembari berlari tanpa menghiraukan siapapun.

Setelah sampai di kelas, dia menjumpai tas dan buku-bukunya berserakan di lantai dengan banyak cap sepatu. Tidak hanya itu, tempat duduk dan mejanya juga penuh dengan tulisan spidol, antara lain; 'ANAK MISKIN MATI SAJA', 'UDAH JELEK, MISKIN, HIDUP PULA', 'GOBLOK' dan 'TOLOL'.

Tukijo berjongkok membereskan tas dan buku-bukunya yang berserakan. Tiba-tiba, Udin muncul menyandarkan bahunya di ambang pintu kelas. "Ngenes banget nasib lo, Jo! Wkwk ...," ejeknya. Kemudian dia menghilang  seperti jaelangkung yang datang tidak diundang pergi pun tidak diantar.

Disaat Tukijo sedang membersihkan mejanya, dia melihat sebuah ponsel jadul Noxia 1202 berada di laci meja Markonah. Karena ponsel itu menyala dengan nada silent, Tukijo mengambilnya.

Di ponsel itu tertulis nama kontak 'My Love' sedang memanggil. Tidak lama kemudian, Markonah masuk ke kelas melihat Tukijo sedang memegang ponselnya. Tukijo dibuat kaget olehnya.

"Maaf, apa ini ponselmu?" tanya Tukijo sambil memperlihatkan ponselnya. "Aku melihat ponsel ini menyala di laci. Jadi, aku mengambilnya."

"Iya, ini punyaku," jawab Markonah mengambil ponsel itu.

"Tadi, ada panggilan dari seseorang," ujar Tukijo.

Lalu, Markonah segera mengecek ponselnya dan tersenyum. "Makasih ya Jo, Aku pulang dulu!" ucapnya beranjak pergi meninggalkan Tukijo.

Dalam hati Tukijo berkata, "Siapa yang menelpon? Pacarnya?" Pikirannya terbang mencari-cari suatu kejelasan.

"Ah, apa hubungannya denganku?" gumam Tukijo menggelengkan kepala membuang pikirannya jauh-jauh.

Setelah membersihkan tempat duduknya, Tukijo meninggalkan kelas menuju tempat parkir. Dia mengambil sepeda dan mengayunnya sampai Restoran Mas Agus yang terletak di Perempatan Mojing samping Toko Roti Sukesi.

Tanpa sengaja, Tukijo melihat Markonah masuk ke toko roti dengan seorang lelaki paruh baya. Dia mengernyitkan dahinya sembari bergumam, "Markonah? Siapa lelaki itu?"

"Jo! Cepetan! Lagi rame nih ...," teriak Agus (pemilik restoran) memanggil Tukijo. Seketika pikiran Tukijo dibuyarkan oleh teriakan Agus.

"Iya ... iya Mas." Tukijo berlari memasuki restoran dan mengerjakan pekerjaannya.

"Mas ... mas!" panggil seorang wanita.

"Iya, Mba?" jawab Tukijo menghampiri wanita itu.

"Mi ayam ceker dua, dibungkus ya ...."

"Siap Mba."

Beberapa menit kemudian.

"Ini Mba." Tukijo menyodorkan dua porsi mie ayam ceker yang telah dibungkus.

"Terima kasih!"

...

Pukul 17.30 WIB.

"Ini Jo!" Agus memberikan sebuah amplop. "Ini gajimu minggu ini."

"Wah! Makasih banyak Mas Agus," ucap Tukijo tersenyum lebar mengambil amplo itu dan memasukkannya ke saku celana.

"Iya, sama-sama," balas Agus. "Eh, ngomong-ngomong kenapa mukamu babak belur begitu? Kayaknya kamu bukan tipe anak yang suka berantem."

"Anu Mas, em ini ... tadi ... jatuh dari tangga waktu di sekolah," jawab Tukijo tersendat-sendat. Dia lebih memilih berbohong daripada membuat orang lain khawatir.

"Owalah Jo ... Jo. Makanya lain kali hati-hati."

"Iya Mas Agus."

"Ya udah, sana pulang ... Simbahmu pasti nungguin."

Tanpa Tukijo sadari, ada seseorang yang mengawasinya di seberang jalan.

Tukijo kembali mengayun sepeda ontelnya. Jarak antara Restoran Mas Agus dengan rumahnya sekitar 500 meter sedangkan jarak Restoran Mas Agus ke sekolahnya sekitar 2 kilo meter.

Rasa sakit di tubuhnya hilang sesaat, ketika dia mengayun sepeda sambil membayangkan ingin membelikan makanan enak untuk sang nenek dengan uang gajinya.

Di pertigaan gang kecil dekat rumah, Tukijo dihadang oleh teman-temannya semasa SD.

"Berhenti!" bentak Ucup.

"Kenapa Cup?" tanya Tukijo menghentikan sepedanya.

"Serahin amplop yang ada di saku celana lo!" sela Soib.

"Amplop? Sebentar." Tukijo merogoh celanannya. Dia mengeluarkan uangnya dan hanya memberikan amplopnya saja. "Nih!"

"Buahahahaa." Mereka tertawa.

"Goblok!" Soib menendang sepeda Tukijo.

Tukijo yang masih menaiki sepeda, terjatuh mengenai kerikil aspal. Tangannya sedikit berdarah tertindih setang.

"Ugh." Anak itu bangkit dan menyandarkan sepedanya ke pohon. Dia merasa geram. Kemudian menonjok wajah Soib dengan kepalan tangan. Soib sedikit terhempas mundur.

Tiba-tiba Budi meraih rambut Tukijo ke depan, dan menendang perutnya dengan lutut. Lagi-lagi Tukijo jatuh ke aspal. Lukanya yang sempat membaik, sekarang bertambah karena goresan kerikil yang tajam. Dia terjatuh dalam posisi tengkurap. Ucup menginjak kepalanya sedangkan Soib menginjak badannya.

"Aaaaaaaaargh," jerit Tukijo kesakitan. Dia pingsan terkapar di jalan.

Kemudian Soib mengambil uang yang berada di saku celana Tukijo.

"Dapat Bro!" Soib menjabarkan uang sejumlah seratus lima puluh ribu rupiah.

"Mantap!" Ucup dan Budi mengacungkan jempol. Mereka bertiga pergi meninggalkan Tukijo begitu saja.

Hari menjelang malam, matahari sudah hampir menutup wajahnya. Namun, belum ada seorang pun yang melewati jalan di mana Tukijo pingsan.