Kiara dan keluarganya Bagas baru saja memasuki ruangan, banyak sapaan hormat ditujukan kepada orang tuanya Bagas. Papanya Bagas memang mempunyai posisi yang cukup tinggi di perusahaan, karena kinerjanya yang bagus juga pengabdiannya yang sudah cukup lama.
"Anniversary kali ini sangat mewah ya Pa, tidak seperti tahun-tahun yang lalu."
"Tentu saja Ma, ini anniversary yang ke 25. Mungkin Bos kita ingin memberikan kesan yang berbeda," jawab Papa. "Lihat saja, banyak tamu dari kalangan atas yang datang bahkan para pesaing bisnis juga di undang. Kita mulai turun dari mobil saja, penjagaan begitu ketat. Lihatlah orang yang memakai jas hitam-hitam itu, dia salah satu bodyguardnya Bos," tunjuk Papa dengan bibirnya.
Mata Bagas menyapu ke segala arah. Baginya tidak ada satu pun yang dia kenal, kecuali teman-teman kantor Papanya yang pernah beberapa kali datang ke rumahnya.
"Kiara, betapa hebatnya yang punya perusahaan, acara ini sangat berkelas. Lihatlah para tamu undangan. Dari penampilannya saja, sudah bisa dipastikan kalau mereka dari kalangan elit. Papa pernah cerita kalau yang punya perusahaan masih bujangan, belum menikah," bisik Bagas di telinga Kiara.
Kiara menjawab dengan tersenyum, dirinya pun merasa takjub dengan ruangan yang di sulap begitu indah. Banyak sepasang mata terutama kaum adam yang menatap dirinya. Tidak sedikit pula para wanita yang melihat dirinya dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan tatapan yang tidak enak sehingga membuat dirinya merasa tidak nyaman. Jujur saja sebenarnya Kiara tidak suka berada di tengah-tengah keramaian seperti ini, dia seperti berada di dunia yang lain. Dunia yang penuh dengan kemunafikan.
"Kiara, apa kamu ingin minum? Aku akan mengambilkan minuman untukmu."
"Iya, Bagas," jawab Kiara pelan. Dirinya berusaha untuk tetap tenang.
"Mama, apa mau minum juga?" Bagas tidak lupa menawarkan minuman untuk Mamanya.
"Tidak. Papa dan Mama akan ke sana menyapa kawan-kawan Papa. Kalian tunggu di sini, nanti kita kembali lagi." Papa dan Mama lalu pergi.
"Kiara mau ikut atau kamu mau tunggu di sini, aku mau mencari minuman untukmu," tanya Bagas.
"Di sini saja, jangan lama-lama," jawab Kiara.
Bagas lalu mencari meja yang khusus menyajikan minuman dan hidangan kue-kue untuk para tamu undangan. Ruangan yang begitu besar di tambah banyaknya orang tentu saja memakan waktu yang lama untuk Bagas, hanya untuk mengambil segelas minuman untuk kekasihnya.
Ditengah-tengah ruangan terlihat berbagai pahatan yang terbuat dari es membentuk berbagai macam patung. Bagas berhenti sejenak untuk melihat.
"Sungguh sangat luar biasa, ice carving." Bagas berbicara sendiri di dalam hatinya sambil mengagumi apa yang sedang dilihatnya.
"Kamu menyukainya," tanya seseorang dari belakang.
Bagas menoleh ke belakang, dilihatnya seorang gadis imut yang sedang tersenyum kearahnya.
"Iya," jawab Bagas tersenyum dan kembali melihat ice carving yang berbentuk burung besar yang sedang mengembangkan sayapnya, sama seperti ikon perusahaan.
"Aku juga," jawabnya. "Boleh kita berkenalan?" tanyanya kemudian.
Bagas membalikkan badan. Dilihatnya gadis imut yang ada didepannya. "Bagas," ucapnya mengulurkan tangan.
"Sarah," menyambut uluran tangan Bagas dengan tersenyum. "Kamu bekerja di sini?" tanyanya kemudian.
"Tidak, Papaku yang bekerja di sini," kata Bagas.
"Dari tadi aku memperhatikanmu, kelihatannya kamu suka sekali melihat ini." Sarah melihat ice carving.
"Iya, aku suka hal-hal yang berbau seni. Lihatlah, ice carving ini sangat menakjubkan. Hanya dari sebongkah es, setelah berada di tangan orang-orang yang berjiwa seni tinggi lihatlah hasilnya, sangat menakjubkan bukan?" Bagas tidak henti-hentinya memuji karya seni yang sekarang berada di depan matanya.
"Iya betul, sangat indah apalagi terkena pantulan cahaya lampu," jawab Sarah.
"Ya ampun aku lupa. Aku sedang mencari minuman untuk Kiara. Sudah lama aku meninggalkannya. Aku pergi dulu," Bagas bergegas pergi melanjutkan kembali tujuannya. Setelah mendapatkan apa yang di cari, Bagas bergegas kembali ke tempat di mana dirinya meninggalkan Kiara.
Kiara nampak sedang sendirian, matanya melihat sekeliling mencari keberadaan Bagas yang lama tidak muncul.
"Kiara?" sapa seseorang dari samping. "Apa betul ini Kiara? Dari tadi aku memperhatikanmu, kamu dengan siapa?" tanyanya lagi.
Kiara menoleh ke samping, dilihatnya Monika sedang tersenyum ke arahnya. "Kak Monika? kakak di sini? aku Kiara," jawab Kiara, hatinya terasa sangat lega ternyata ada seseorang yang dikenalnya juga.
"Kamu cantik sekali, aku sampai tidak mengenalimu. Lihat, banyak mata laki-laki yang menatapmu. Kamu menjadi bintang di acara ini," puji Monika melihat Kiara dari bawah sampai ke atas.
"Masih kalah jauh cantik dengan kakak, kakak yang lebih pantas menjadi bintangnya malam ini." Kiara balas memuji pujian yang Monika berikan untuknya.
"Dengan siapa kamu di sini?" tanya Monika.
Sebelum Kiara sempat menjawab, terdengar suara dari arah depan yang meminta semua tamu undangan untuk duduk di tempat yang telah disediakan.
"Sebaiknya kamu ikut denganku, ada kursi yang kosong di mejaku." Monika menarik tangan Kiara untuk ikut dengannya.
Tanpa sempat untuk menolak, Kiara mengikuti Monika ke mana akan membawanya.
"Pak Leo. Lihat, siapa yang aku bawa," Monika memperlihatkan Kiara yang ada dibelakangnya dengan sedikit menggeser tubuhnya ke samping.
Leo dan Kiara saling bertatapan. Mereka berdua sama-sama terkejut. Beberapa detik lamanya, mereka hanya saling menatap tanpa tahu harus bicara apa. Terutama Kiara yang sangat terkejut sekali.
"Ayo, Kiara duduk di sini." Monika menggeser kursi yang ada di samping kanan Leo, sementara dirinya duduk di samping kiri Leo.
Kiara mau tidak mau menuruti kemauan Monika, duduk di samping Leo. Jantungnya berdetak tidak menentu seakan mau meloncat ke luar dari tempatnya. Tangan yang sedikit gemetar karena gugup, hanya mampu mempermainkan tas tangannya. Duduk disebelah Leo, seakan dia sedang memasuki dunia lain.
"Kiara, kenapa wajahmu pucat?" tiba-tiba Monika menanyakan hal yang di luar ekspetasinya. "Apa kamu sakit?"
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Kiara tersenyum, mencoba sekuat tenaga untuk mengendalikan kegugupannya.
"Minumlah ini," Leo menggeser gelas yang ada di atas meja lebih dekat ke Kiara.
Kiara melihat ke arah Monika yang di jawab anggukkan.
"Terima kasih," ucap Kiara pelan lalu meminumnya perlahan.
Acara satu per satu mulai berjalan. Kiara perlahan mulai bisa menguasai dirinya, berusaha duduk dengan setenang mungkin.
Dimeja lain yang berjarak tidak jauh dari meja Presdir, terlihat Papa sedang memperhatikan Kiara. "Bagas, bukankah itu Kiara satu meja dengan Presdir."
Bagas langsung melihat ke depan. " Iya Pa, sepertinya itu Kiara. Kenapa dia bisa duduk di sana? Aku merasa bersalah meninggalkannya tadi sendirian."
"Kamu sih, mungkin dia tadi kebingungan. Di sini tidak ada yang dia kenal," kata Mama. "Kasihan dia."
"Kenapa dia bisa duduk dengan Presdir? Apa mereka sudah saling kenal?" kata Papa dengan suara pelan karena di depan satu per satu acara mulai berjalan.
Setelah jajaran direksi satu per satu turut ikut memberikan pidato panjangnya, tibalah acara puncaknya. Pemilik SAW, keturunan satu-satunya dari pendiri terdahulu Tuan Smith Albert Winston yaitu Leonardo Albert Winston di minta untuk maju ke depan. Tepuk tangan bergemuruh di dalam ruangan.
Kiara hanya ikutan saja bertepuk tangan, pandangannya melihat sekeliling. "Kenapa semua orang melihat ke sini?" tanyanya di dalam hatinya sendiri.