Pagi hari yang sangat cerah, udara segar masuk menyeruak ke dalam jendela kamar yang baru saja di buka.
"Udaranya sangat segar pagi ini. Aku harus segera bersiap-siap supaya tidak telat ke sekolah," gumamnya. Kiara lalu masuk ke dalam kamar mandi, tidak lama kemudian terdengar suara gemericik air.
Tidak memakan waktu lama buat Kiara untuk berdandan karena memang dia sendiri tidak suka memakai make up yang berlebihan. Setelah selesai memoleskan bedak bayi dipipinya dan mengikat rambut panjangnya serta merapikan poni yang menambah manis wajahnya, Kiara segera ke luar dari kamar.
"Bu!" panggilnya.
"Ibu di sini," sahut Ibunya yang sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya di halaman depan
"Di mana kue yang harus Kiara bawa untuk di titip ke Toko," tanyanya.
"Biar Ibu saja yang ke Toko, sekalian mau beli oven," kata Ibunya sambil meletakkan alat penyiram tanaman. "Kamu sarapan dulu." Ibunya lalu masuk ke dapur, di ikuti Kiara dari belakang.
"Mau sarapan apa?" tanya Ibunya setelah mereka duduk di kursi meja makan.
"Roti saja." Kiara mengambil roti dan mengolesnya dengan selai coklat kesukaannya dan langsung memakannya. "Kiara mungkin pulang agak sore, Bu." Kiara berhenti sebentar untuk menelan roti yang nyangkut di tenggorokannya.
"Minum nak, makannya pelan-pelan," tegur Ibunya.
"Ada tambahan pelajaran untuk persiapan menghadapi ujian," lanjutnya setelah tenggorokannya sudah rasa nyaman kembali.
"Setelah selesai langsung pulang ya, jangan mampir kemana-mana!" kata Ibunya tegas.
"Siap komandan! Perintah dilaksanakan," jawab Kiara lantang.
Ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya. Setelah selesai sarapan Kiara pamit berangkat ke Sekolah.
Jalan raya seperti biasanya selalu ramai di pagi hari, dipenuhi bermacam-macam kendaraan yang berlomba-lomba menuju ke tempat yang di tuju. Hiruk pikuk orang-orang menyatu dengan suara bising kendaraan.
Dari jauh terlihat sebuah mobil berusaha menerobos membelah jalanan ibukota tetapi usahanya sia-sia. Di dalam mobil terlihat seorang wanita dewasa yang sedang menyetir.
"Aku benci kalau sudah terjebak macet," omelnya dalam hati. "Lebih baik aku cari jalan lain." Kemudian dia membelokkan mobilnya ke luar dari jalan utama masuk ke jalan yang lebih kecil. Mobil yang dibawanya bisa sedikit lebih cepat dari tadi.
"Aku harus cepat-cepat sampai ke kantor, jangan sampai Pak Leo marah karena dokumen untuk meeting belum selesai," dalam hatinya bicara sendiri.
Dari jauh terlihat kerumunan di jalan seperti orang sedang melihat sesuatu.
"Ada apa lagi ini!" gerutunya dalam hati.
Monika memberhentikan mobilnya karena tidak bisa lewat, terhalang orang-orang di jalan.
Tiba-tiba dari samping ada orang yang menggedor kaca pintu mobil depannya.
"Tolong, tolong."
Monika menurunkan sedikit kaca mobilnya. "Ada apa?" tanyanya ke orang tersebut.
"Bu tolong, ada anak yang tertabrak," kata orang itu.
"Tolong apa?" tanya Monika bingung.
"Bawa anak itu ke Rumah Sakit, orang yang menabraknya kabur," jelasnya.
"Tidak, tidak. Aku ada urusan," tolak Monik.
"Bu, kasihan anak itu. Tidak ada kendaraan lain di sini," pintanya memaksa.
Monika lalu melihat ke sekeliling, memang benar tidak ada kendaraan yang bisa membawa anak itu ke Rumah Sakit.
"Bu, tolonglah," orang itu memohon.
Monika lantas ke luar dari dalam mobil untuk melihat kondisi yang tertabrak.
"Ya ampun, kasihan sekali. Sudah berapa lama dia begini?" tanya Monika yang merasa kasihan melihat korban yang tertabrak.
"Sekitar 30 menit yang lalu," jawab salah seorang yang berdiri di situ.
"Ayo, cepat angkat ke mobil!" perintah Monika.
"Tapi siapa yang akan menemani dia?" tanya Monik kemudian. "Kamu!" tunjuk Monik.
Yang merasa di tunjuk langsung menunjuk ke dirinya sendiri. "Aku?" tanyanya.
"Iya, kamu! Ikut denganku ke Rumah Sakit," perintahnya.
Mau tidak mau, akhirnya orang yang di tunjuk ikut ke Rumah Sakit.
Monika melajukan mobilnya dengan hati-hati karena jalan yang dilaluinya bukanlah jalan besar.
"Siapa namamu?" tanya Monika ke orang yang tertabrak tadi.
"Indra," jawabnya pelan menahan sakit di kakinya.
"Kenapa kamu sampai bisa tertabrak?"
"Sewaktu lagi menyebrang tadi, tiba-tiba saja dari arah kiri datang motor dengan kecepatan tinggi, aku tidak sempat menghindar." Indra diam beberapa saat merasakan sakit di kakinya. "Untung saja ada kakak ini yang menolongku," lanjutnya melihat ke arah orang yang dari tadi duduk disebelahnya.
"O iya, kamu. Namamu siapa?" tanya Monika melihat sebentar ke arah belakang.
"Kiara," jawabnya singkat.
"Kalian teman satu sekolah?" tanya Monik lagi.
"Tidak, aku tadi cuma kebetulan saja lewat situ," jawab Kiara.
"Terima kasih kak," ucap Indra ke Kiara.
"Kalau tadi tidak ada kakak, aku mungkin sudah terlindas kendaraan yang lain."
"Sama-sama. Kakimu tambah bengkak sepertinya ada yang patah," kata Kiara mencoba memegang kaki Candra yang terluka.
"Sepertinya begitu, kakiku juga semakin sakit," ucap Indra meringis menahan sakit.
"Sabar, 5 menit lagi sampai," potong Monika.
"Indra, keluargamu sudah tahu?" tanya Monika kemudian.
"Belum, keluargaku belum tahu."
"Pakai ini untuk menghubungi keluargamu," Monika menyerahkan ponselnya.
Indra langsung menghubungi keluarganya dan memberitahu kalau sekarang sedang menuju ke Rumah Sakit.
"Terima kasih kak." Indra mengembalikan ponselnya Monika.
"Sudah sampai, kalian tunggu di sini, aku akan memanggil perawat," kata Monika buru-buru ke luar untuk meminta pertolongan.
Tidak lama kemudian, Monika datang bersama beberapa orang perawat yang membawa kursi roda. Indra segera dipindahkan ke kursi roda dan di bawa masuk untuk diobati.
Monika dan Kiara pergi ke bagian administrasi karena ada beberapa surat yang harus ditanda tangani.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Ponsel Monika bergetar menandakan ada panggilan masuk.
"Hallo Pak," Monika menjawab panggilan yang masuk setelah melihat nama yang tertera dilayar.
Terdengar suara dari ujung telepon.
"Aku sekarang di Rumah Sakit Budi Asih Pak."
"Iya baiklah, aku tunggu di sini saja."
"Terima kasih, Pak."
Monika lalu menutup telponnya dan kembali meneruskan mengisi formulir.
"Kiara, jangan dulu ke Sekolah ya. Temani aku di sini sampai keluarganya Indra datang," pinta Monika.
"Tapi aku harus ke Sekolah, ini saja sudah terlambat," protes Kiara.
"Biar aku yang telpon ke Sekolahmu," kata Monika. "Berapa nomornya?"
Kiara menyebut satu persatu nomor telpon Sekolahnya.
"Sudah, pihak Sekolah bilang tidak apa-apa kamu terlambat karena mengantar orang ke Rumah Sakit," kata Monika memasukan kembali ponselnya ke dalam tas.
Monika mengajak Kiara duduk di kursi yang ada disitu. "Duduk." Kiara hanya diam saja mengikuti kemauan Monika. "Namaku Monika. Sebentar lagi Bosku datang, aku harus ikut meeting karena aku sekretarisnya," jelas Monika. "Kamu nanti sendirian di sini sampai keluarganya Indra datang."
"Aku tidak mau," potong Kiara cepat.
"Tapi aku ada meeting, Kiara."
"Kita tunggu di sini berdua atau aku ke Sekolah sekarang," ancam Kiara.
"Baik, baik. Kita tunggu berdua."
Dreet ... dreet ... dreet ...
Ponselnya Monika kembali bergetar di dalam tas. Setelah membaca nama yang tertera di layar, Monika segera menjawabnya. "Hallo Pak."
Terdengar suara dari ujung telpon.
"Di ruang tunggu, Pak," kata Monika.
"Baik, aku tunggu di sini."
Monika menutup kembali telponnya.
"Kiara, Bosku sudah sampai, dia ada di tempat parkir. Sekarang sedang menuju ke sini," kata Monika.
Kiara tidak menjawab, di dalam hatinya hanya berharap keluarga Indra segera datang agar dia bisa cepat ke Sekolah.