Bel berbunyi panjang, sebagai tanda jam pelajaran sudah habis waktunya murid-murid untuk pulang.
"Anak-anak, lanjutkan tugasnya di rumah. Sudah waktunya kalian pulang. Jangan lupa, selesaikan tugasnya di rumah."
"Iya, Bu Guru," jawab anak-anak serempak.
Guru pengajar langsung ke luar dari kelas setelah mendengar jawaban murid-muridnya.
"Bagas, buru-buru sekali," tanya Anto melihat Bagas dengan cepat memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Aku ada urusan," jawab Bagas. Dengan cepat pula memasang tas punggungnya.
"Aku mau ikut pulang bareng kamu. Motorku sedang di bengkel," kata Anto
"Sorry, lain kali saja. Aku mau jalan dengan Kiara. Kamu ikut dengan yang lain saja."
"Ok, tidak apa-apa. Hati-hati bawa anak gadis orang, jangan sampai pulang dalam keadaan lecet," goda Anto tersenyum.
"Bisa saja. Cabut ya, duluan." Bagas cepat-cepat pergi menuju ke kelasnya Kiara.
Kiara baru saja ke luar dari kelas dengan Silvi, tersenyum lebar begitu melihat sang pujaan hati sedang berjalan ke arahnya.
"Kita langsung ke Butik ya," kata Bagas sesampainya di depan Kiara.
"Iya, terserah kamu saja," jawab Kiara.
"Beneran kalian tidak mengajak aku. Tega sekali kalian," protes Silvi dengan wajah kecewanya.
"Silvi, lain kali saja. Ini juga bukan mau pergi piknik," ucap Bagas.
"Lain kali saja ya, Silviku yang cantik jelita. Kapan-kapan kita pergi bareng. Bagas juga pakai motor, kalau kita bertiga boncengan nanti di sangka cabe-cabean," rayu Kiara tersenyum.
Silvi pura-pura cemberut. Di dalam hatinya juga dia tahu, tidak mungkin dia akan ikut.
"Ayo, nanti kesorean. Mama sudah telepon Tante Susi, kita sudah di tunggu," Bagas menggenggam jemari tangan Kiara mengajaknya pergi.
"Bye, Silvi. Sampai jumpa." Goda Kiara tersenyum lebar sambil mengedipkan sebelah matanya.
Mereka berdua pun lalu pergi, meninggalkan Silvi yang memasang wajah cemberut.
....
"Sudah hampir sore, aku harus secepatnya menyelesaikan semua pekerjaan ini," ucap Monika di dalam hatinya. "Aku harus bersiap-siap untuk nanti malam."
Terdengar langkah suara sepatu mendekati Monika. "Monika, kamu belum pulang?"
"Sebentar lagi Pak Leo, ada dokumen yang belum selesai," jawab Monika melihat ke arah orang yang sudah berdiri di samping mejanya.
"Ikut aku," ajaknya yang masuk kembali ke dalam ruangannya.
Monika langsung berdiri dan masuk tanpa harus mengetuk pintu lagi.
"Kunci pintunya dan kemarilah," Leo sudah duduk di sofa dengan kedua kaki sudah berada di atas meja. "Duduklah di sini." Menepuk sofa disampingnya yang kosong.
Monika duduk di samping Leo dengan isi kepala yang penuh dengan banyak pertanyaan.
"Kepalaku sakit. Tolong pijat sebentar," kata Leo sambil membuka jasnya lalu menggulung kemeja dan melonggarkan dasinya.
Monika mengambil jasnya Leo lalu menyimpannya di sofa yang kosong. Tangannya pelan-pelan mulai memijat kepala Leo.
"Sedikit keras, kepalaku sakit. Mungkin aku kurang tidur," kata Leo memejamkan matanya.
Monika sedikit memajukan tubuhnya, agar bisa menjangkau kepala Leo yang lebih tinggi darinya. Hidung yang mancung, alis tebal dan bibir yang tipis berisi sekarang tepat berada di depan matanya. Wajah yang dia rindukan semalam, sekarang bisa dia sentuh.
"Monika, nanti malam pakailah baju yang sopan. Banyak klien kita yang di undang, mereka pasti datang dengan keluarganya. Aku tidak mau meninggalkan kesan buruk untuk mereka." Leo berbicara dengan tetap memejamkan matanya.
"Aku sudah membeli gaun yang menurutku cukup sopan untuk di pakai nanti malam. Tenang saja Pak, aku tidak akan mempermalukan acara perusahaan kita," jawab Monika dengan hembusan napas yang mengenai wajah Leo.
Leo perlahan membuka matanya. Wajahnya dan wajah Monika hanya berjarak beberapa centi saja. Bibir merah merekah dengan dada yang membusung indah hampir menyentuh dadanya. Lelaki normal mana yang akan melewatkan kesempatan emas seperti itu.
"Monika," perlahan mata Leo mulai meredup. Tangan kanannya meraih pinggang, begitu juga dengan tangan kirinya yang menarik tengkuk agar bibir Monika bisa mendekat ke bibirnya.
Posisi Monika yang berada di depan Leo tentu saja memudahkan Leo untuk merapatkan badannya dengan dada Monika. Perlahan tangan Monika melingkar di leher Leo. Laki-laki yang dirindukannya setengah mati semalam, sekarang berada di pelukannya.
Perlahan tapi pasti. Gairah yang berawal dari bibir, pelan-pelan mulai membakar keduanya. Sentuhan demi sentuhan, ciuman yang saling bertaut sudah membakar gairah hasrat jiwa Leo dan Monika. Ruangan yang menjadi saksi kedua insan yang saling berkejaran memburu kenikmatan dunia. Sofa yang entah untuk ke berapa kalinya menjadi saksi, tempat pergumulan mereka. Desahan, erangan dan jerit kenikmatan menjadi pelengkap dua insan manusia yang sedang menciptakan surga dunia.
...
"Kita sudah sampai," Bagas berhenti tepat di depan salah satu Butik ternama.
"Turunlah, buka helmnya. Kamu tunggu di sini, aku parkirkan motornya sebentar."
Kiara turun dari motor lalu membuka helmnya dan memberikannya ke Leo. Kiara terus melihat ke arah Butik, ingatannya seperti pernah ke tempat ini.
"Aku seperti mengenal tempat ini," gumamnya sendiri memperhatikan sekelilingnya.
"Ayo, masuk," Bagas yang sudah berada disampingnya, memegang tangannya dan mengajaknya masuk.
Kiara mengikuti Bagas yang menuntun tangannya. Sesampainya di dalam Butik, mereka di sambut salah satu pegawai.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.
"Aku mencari Tante Susi, sudah ada janji," jawab Bagas.
"Tunggu sebentar, nanti saya panggilkan. Maaf, atas nama siapa?"
"Bagas," jawab Bagas singkat.
Pegawai itu lalu masuk ke dalam ruangan yang lain. Tidak berapa lama, sudah kembali lagi dengan seseorang di belakangnya, wanita cantik yang hampir seumuran dengan Mamanya.
"Bagas?" tanyanya ramah.
"Iya Tante, aku Bagas," jawab Bagas mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
"Dan gadis cantik ini siapa?" tanya Tante melihat ke Kiara.
"Ini Kiara. Bagas mau mencari gaun yang cocok untuknya."
"Mama kamu sudah telepon Tante. Tenang saja pasti akan Tante Carikan baju yang cocok untuknya. Apalagi gadis ini sudah cantik, tinggal di tambah polesan sedikit saja pasti para bidadari akan iri padanya. Apa gadis ini kekasihmu?" tanya Tante sedikit menggoda Kiara dan Bagas, melihat tangan mereka saling bertautan.
Bagas dan Kiara tersenyum dengan wajah yang memerah karena malu.
Tante Susi tertawa kecil melihat wajah mereka yang memerah. "Ayo, ikut ke dalam. Kita mencari gaun yang cocok untuknya," ajak Tante berjalan lebih dulu keruangan yang tadi dia datang.
"Masuk." Dibukanya pintu lebar-lebar agar mereka berdua bisa masuk keruangan tersebut.
Kiara membelalakkan matanya melihat banyaknya gaun-gaun cantik yang berjejer rapih. Sangat berkelas, hanya dengan melihat sekilas saja, Kiara sudah bisa menaksir berapa harga satu gaunnya. Tentu saja harga yang fantastis.
"Kiara, kenapa bengong? ayo, ke sini," ajak Tante meminta Kiara untuk lebih dekat melihat gaun-gaunnya. "Ada yang kamu suka?" tanyanya kemudian.
"Semuanya bagus," jawab Kiara, tangannya perlahan mulai memegang gaun satu per satu.
"Duduklah Bagas. Kalian mau minum apa?"
"Air putih dingin saja Tante," jawab Bagas sambil melangkah ke sofa yang ada di ujung ruangan.
Tante lalu ke luar sebentar untuk menyuruh pegawainya mengambilkan minuman.
"Bagas, kamu suka yang mana?" tanya Kiara. "Gaun di sini semuanya cantik-cantik, aku tidak tahu harus memilih yang mana."
"Kalau kamu bingung, biar nanti Tante saja yang pilihkan," kata Tante tersenyum melihat Kiara yang menyukai gaun-gaun hasil rancangannya. "Bagas, acaranya untuk perusahaan tempat Papa kamu bekerja?" tanyanya kemudian.
"Iya, Tante. Nanti malam acaranya," jawab Bagas. "Pilihkan yang tidak terlalu terbuka saja."
"Sepertinya ada yang cocok untuknya. Kiara punya tubuh yang tinggi dan langsing. Pasti gaun yang Tante pilihkan akan terlihat cantik ditubuhnya. Tunggulah sebentar, gaun itu ada diruangan Tante."
Selagi Tante mengambil gaun yang akan di perlihatkan ke Kiara, Bagas hanya tersenyum melihat kekasihnya sedang asyik melihat satu persatu gaun yang terpajang. Bagas tahu, Kiara bercita-cita menjadi desainer terkenal. Berada di ruangan ini, Kiara seperti masuk ke dalam dunianya sendiri.