Pemakaman untuk Widyo dilakukan hari itu juga. Hanya keluarga yang hadir dan beberapa rekan dekat. Lisa berusaha tegar meskipun dia terus saja meneteskan air mata. Kehilangan kedua orang tuanya sekaligus dalam waktu tiga hari rasanya mimpi buruk yang tak pernah terpikir.
Siapa yang mau mengalai kemalangan seperti itu. Yatim piatu, tidak ada saudara setelah ayah dan ibu berpulang dalam waktu hampir bersamaan. Andai tidak ada Bobby akan bagaimana Lisa menghadapi semuanya?
"Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Apa salah jika aku marah, Bob? Apa salah jika aku bilang Tuhan seperti tidak perduli padaku?" Lisa mengusap matanya yang basah. Dia lelah menangis, tetapi air matanya seperti tidak bisa berhenti.
"Lis, kamu punya aku sekarang. Ada ayah dan ibu. Kita keluarga. Aku suami kamu. Aku akan terus mendampingi kamu, di sisi kamu. Kamu tidak akan sendirian lagi." Bobby menghibur Lisa. Hati Bobby lun rasanya luluh lantak. Semua yang ada di depannya seperti sebuah cerita drama saja.
"Kita tidak bisa menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Dia tidak pernah salah mengijinkan sesuatu yang terjadi. Tapi Dia beri kita kekuatan menanggungnya." Lagi Bobby menghibur Lisa.
Lisa memandang Bobby dengan hati penuh syukur. "Terima kasih. Karena kamu mau datang untukku. Kamu seperti malaikat yang Tuhan kirim buatku. Kalau kamu tidak di sini bisa jadi aku bunuh diri."
"Jangan bilang seperti itu, Lis," ujar Bobby. "Jangan sampai itu terjadi."
"Kamu pria pertama di hidupku. Sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Dan aku bersyukur karenanya." Mata Lisa kembali basah, dia segera mengusapnya.
Setelah beberapa hari Lisa mulai tenang dan bisa menghadapi kenyataan pahit yang terjadi padanya. Ayah dan ibu Bobby masih menemani mereka. Khususnya Lisa, karena Bobby harus tetap kuliah.
"Sekaraang tinggal kalian berdua di rumah ini. Baik-baiklah. Tapi ibu yakin, tahun depan sudah lebih ramai rumah ini. Terdengar suara bayi kalian di penjuru rumah," kata Dewita.
Bobby dan Lisa tersenyum. Orang tua Bobby tidak tahu mereka tidur terpisah. Kalau tahu, bisa jadi Dewita akan ngomel sama Bobby. Lisa belum siap. Bobby juga tidak mau memaksa. Dia sendiri juga masih belum sepenuhnya melupakan Yuana. Sulit rasanya dia berdekatan dengan intim kalau hatinya masih dipenuhi orang lain.
"Kalau ada waktu main ke Malang. Biar Lisa tahu rumah ayah dan ibu," pesan Berto sebelum berangkat pulang.
"Ya, pasti, Yah." kata Bobby mantap.
Tidak ada mama dan papa. Tidak ada ayah dan ibu. Hanya Lisa dan Bobby. Lisa merasa canggung berdua saja dengan Bobby. Sebenarnya Bobby juga sama. Tetapi dia lebih bisa menyembunyikan rasa canggung itu.
"Lis, kurasa aku harus cari kerja paruh waktu." Bobby mengutarakan pikirannya sore itu, saat mereka menyiapkan makan malam bersama.
"Kerja, Bob? Kuliah kamu?" Lisa agak terkejut dengan kata-kata Bobby.
"Tetap kuliah. Aku akan cari kerja di luar waktu kuliah. Ayah memang bilang akan menanggung biaya hidup kita selama aku kuliah. Tapi, aku pikir lebih cepat bisa punya penghasilan sendiri akan lebih baik. Kita punya keluarga sendiri. Ga baik bergantung sama orang tua terus," jelas Bobby.
"Mungkin aku juga bisa kerja. Aku pengangguran. Ga kuliah, ga kerja apa-apa. Aku perlu ada kesibukan." Lisa jadi ikut berpikir jika dia harus bisa melakukan sesuatu.
"Ya, baiklah. Asal kamu bisa lebih banyak senyum setelah ini," ujar Bobby.
Dipandanginya wajah Lisa. Bobby suka mata Lisa yang bulat kecil dengan bulu mata lentik. Bobby juga suka rambut hitamnya yang lurus itu. Sangat pas untuk wajahnya yang lumayan imut. Lisa sedikit lebih tinggi dari Yuana.
"Bob ..." Lisa tidak nyaman dilihat seperti itu oleh Bobby.
"Ha??" Bobby tersadar dari lamunannya.
"Kenapa lihat aku begitu?" kata Lisa pelan. Dia jadi kikuk dengan tatapan Bobby.
"Kamu cantik." Bobby tersenyum.
Lisa tersipu mendengar itu. Lisa mulai jatuh cinta pada Bobby. Tapi dia belum menyadarinya. Dia hanya merasa sangat beruntung Bobby ada di sisinya menguatkan dia melalui situasi sulit dalam hidupnya.
"Beneran. Aku mengatakan kenyataan saja, kok." Bobby kembali tersenyum.
"Udah, ah ..." Wajah Lisa memerah.
Bobby tersenyum lebih lebar. Lucu juga melihat Lisa malu-malu begitu.
"Aku ke kamar dulu, Lis." Bobby berdiri.
"Kapan kamu mau menemui Yuana?" Lisa menahan langkah Bobby.
Bobby menaikkan alisnya. Lisa masih memikirkan persoalan Yuana dan Bobby yang belum tuntas.
"Entahlah. Kamu sekarang sendirian. Aku ga mungkin ninggalin kamu sendiri, Lis." Bobby belum juga memikirkan kapan bertemu Yuana, karena mau fokus dengan Lisa, membuat dia nyaman semenjak kepergian kedua orang tuanya.
"Aku ikut. Aku mau ketemu ayah dan Ibu. Biar aku tahu rumah kamu," pinta Lisa.
"Baiklah. Jumat sore ya, kita berangkat. Jadi kita nginap dua malam. Minggu siang kita balik ke sini." Bobby sepakat.
Akhirnya Jumat sore keduanya naik kereta pulang ke Malang. Pertama kali setelah tiga bulan Bobby pindah ke Surabaya. Orang tua Bobby terkejut tapi sangat senang melihat keduanya datang. Bobby sengaja ga bilang mau pulang. Dia hanya kontak Manfred.
*****
Sabtu pagi Bobby datang ke rumah Manfred. Hari itu Manfred tidak ke kampus. Bertemu, keduanya berpelukan erat melepas kangen.
"Akhirnya aku bisa melihat mukamu lagi. Sehat, Bro?" Sambut Manfred.
"Ya, sehat. Kamu juga kelihatan segar," ujar Bobby.
"Aku kebanyakan tidur. Hee ..." Manfred tergelak. "Apa kabar Lisa?"
"Dia di rumahku." Bobby duduk di sebelah Manfred.
"Oya? Kenapa ga ajak ke sini? Aku kan mau kenal istri sahabatku ini." Manfred menonjok pelan lengan Bobby.
"Aku mau langsung menemui Yuana. Lisa yang memintaku untuk datang. Dia bilang aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan Yuana. Dia ga boleh salah paham terus," terang Bobby.
"Oohhh, dia baik sekali." Manfred cukup terkejut mendengar itu.
"Kamu tahu, Fred. Dalam tiga hari dia kehilangan orang tuanya. Keduanya." Bobby memandang Manfred lurus-lurus.
"Bagaimana bisa?" Manfred melebarkan matanya kaget.
Bobby pun menceritakan kejadian kematian Amara dan Widyo yang mengejutkan mereka. Khususnya Lisa. Manfred tidak bisa berkata-kata. Seberat itu yang harus Bobby lalui. Dalam waktu sekejap hidupnya seperti diputar balik tidak karuan.
"Bob, kamu tampak lebih dewasa sekarang. Cuma kamu agak kurusan. Ada rasa tertekan?" tanya Manfred.
"Pasti ada rasa itu. Tapi aku coba kuat." Bobby nyengir.
"Kamu luar biasa, Bob. Aku bangga jadi teman kamu." Manfred menepuk-nepuk pundak Bobby.
"Ah, bisa sombong aku nanti." Senyum Bobby melebar.
Tidak sampai sejam kemudian Bobby menuju rumah Yuana. Ira yang membuka pintu sangat kaget melihat Bobby di depan rumah.
"Mas Bobby? Ayo masuk! Wah, kejutan nih, lama ga datang. Non Yuana ada di ruang tengah," sambut Ira ramah.
"Terima kasih, Mbak." Bobby masuk dan menuju ruang tengah. Ira ada di belakang Bobby.
"Siapa, Mbak ..." Yuana tidak melanjutkan kata-katanya. Dia bengong menatap Bobby yang berdiri memandang ke arahnya.
"Bobby ..." Pelan sekali Yuana menyebut nama Bobby. Ira meninggalkan keduanya. Dia tahu mereka berdua butuh waktu bicara.