Badan Sutris bergetar seperti terkena gempa. Aliran banjir keringat dingin menetes dari rambut ke tanah. Harapan untuk selamat terkubur ketika pistolnya jatuh. Sekarang nyawanya berada dalam genggaman Tuhan. Tiada kedip pada netra ketika dia komat-kamit berdoa.
"Ada apa jagoan, kau masih ingat ini?" Jari telunjuk robot sebesar jari kingkong menunjuk kening pilot. "Gara-gara kau, luka ini abadi!"
"Kapan aku membuat luka itu?"
"Ingatanmu seperti ingatan keledai! Coba ingat lagi."
Sutris menggali memori sampai asap keluar dari telinga tapi gagal menangkap kenangan masa lalu. "Lupa, siapa ya?"
"Lupa? Kau--ok, ingat orang yang kau tolong di gang dekat Stasiun Wonokromo? Yang aku tembak kakinya dua kali?"
Setelah diberi kunci, kotak memori Sutris terbuka lebar. Dia terkekeh. "Kamu yang tempo hari bersama dua temanmu mengejar pria gondrong?"
"Bagus kau ingat. Sekarang akan kupastikan kau memiliki tanda yang sama."
"Mau membuat keningku hitam?"
"Tidak tidak. Bagaimana kalau aku copot lenganmu? Tanda itu akan menjadi kenangan terindah, ya kan?"
Seperti boneka lengan kiri Sutris ditarik perlahan dari tubuhnya. Dia berteriak mengerang penuh siksa ketika tulang dan urat merenggang.
"Aku mohon jangan!"
"Oh tidak bisa, ini--"
Tiba-tiba pedang beraliran listrik biru yang menyambar-nyambar datang dari langit menebas lengan robot yang memegang kaki Sutris hingga putus.
Begitu cepat gerak pria berjas hitam panjang yang mendarat, menusuk dada kiri pilot dari depan. Darah segar muncrat membasahi kemeja putihnya.
Robot oleng melepas dominasinya dari Sutris, langkah robot tak beraturan seperti mabuk lalu jatuh terjerembab ke belakang. Dentuman besar terdengar ketika benda besar jatuh, membuat gempa mungil. Mesin pencabut nyawa kehilangan nyawa, menjadi seonggok besi tak berguna.
Sutris terkesima oleh kemampuan pria misterius berjas hitam panjang mirip jas detektif, juga benda di tangannya yang mirip katana tapi lebih tipis dan lebar.
Dia sadar ketika mata sipit pria berambut hitam sasak meliriknya. Rasa sakit di lengan tak menghambat Sutris berguling mengambil pistol.
Sigap Sutris berbalik badan menodong pistol ke wajah penolong, mendapati ujung pedang menggores pipi. Sambaran kecil listrik membuat mata kirinya menutup kala netra kanan tak berkedip menantang sorot netra dingin pria berpedang.
Terdengar suara obrolan berbahasa Korea dari earbud yang pria misterius kenakan. Sebagai Korea lover, Sutris mengerti bahasa Korea.
"Ya, target tereliminasi," ujar pria misterius menyeringai sinis. Perlahan sengat listrik pudar dan pedang biru berangsur memutih. Dia memakai bahasa Inggris fasih bicara dengan Sutris. "Terima kasih karena menolong Akiko."
Sutris menjawab dengan bahasa Korea. "Kau kenal Akiko? Siapa kau?"
"Pertemuan selanjutnya, Jang-geom milikku akan menusuk jantungmu."
"Siapa sangka kucing sepertimu berani beraksi di sini." Moncong senapan serbu Sergei menodong pria misterius dari samping. "Lepaskan Sutris dan kau boleh kabur."
Seringai dingin penuh percaya diri pria misterius memberitahu Sutris jika dalam otaknya terdapat rencana, tapi bibir Sutris tak secepat ayunan pedang Jang-geom yang memotong senapan Sergei.
Sergei melompat mundur menghindari tebasan pedang, tapi gagal menghindar ketika pria misterius menendang perutnya hingga mental membentur pohon.
Pria misterius menyibak rambut ke belakang, melangkah pelan bersiap menusuk perut lawan.
"Stop, atau kubuat otakmu berhamburan." Dari jarak aman Sutris menodong pistol memakai tangan.
Suara gemeresak dari earbud pria misterius terdengar semakin keras. Bagian hitam Netra pria misterius bergerak ke ujung kanan. "Heol? Air susu kau balas comberan."
Ledakan besar dan rentetan peluru di sekitar mereka semakin keras, tak membuat mereka merubah posisi.
Pria misterius mengangguk sambil menyeringai pahit. Aliran listrik di Jam-geom punah sementara. Dia menyimpan pedang ke sarung pedang, pergi tanpa beban.
Sutris tergopoh menghampiri Sergei sambil waspada mengamati pria berjas hitam.
"Kenalanmu?" ujar Sergei, meringis menahan siksa di perut, berusaha berdiri.
"Bukan, tapi firasatku bilang kita akan bertemu lagi. Kamu bisa berjalan sendiri?"
"Ya. Sialan, tendangannya lumayan kencang. Hei, bagaimana dengan tangan kirimu."
"Butuh di-service. Ayo, lekas pergi sebelum musuh datang."
Mereka saling membantu pergi ke bukit, lalu memutar menuju lokasi Akiko berada. Semakin lama semakin kecil suara pertempuran.
Suara jangkrik mengiringi langkah mereka di atas dedaunan kering.
"Odin ilen odin olen, kak dela tam? Anton jawab, Anton." Sergei mendesah seperti suara kentut. "Anton masuk. Halo?"
"Apa terjadi sesuatu?"
"Semoga saja tidak."
Aroma hutan lembab membuat letih sedikit terhapus. Mereka beristirahat dekat aliran sungai, memakai tangan meneguk air jernih yang mengalir di depan.
"Kenapa banyak orang aneh di game billionaire?" tanya Sutris, sekalian membasuh wajah pakai air sungai.
"Seperti kami?" Sergei terkekeh, duduk bersandar dahan pohon tua rayapan. "Dunia kita tidak sama dengan dunia lima puluh tahun yang lalu. Manusia bosan berperang, setidaknya secara terbuka."
Sutris singgah ke samping Sergei. "Aku kira hanya negara besar, tapi Korea juga hadir."
"Korea, Israel, Singapore, negara-negara kecil yang dikepung negara raksasa. Berbeda dengan kami yang hanya ingin membuktikan kekuatan militer siapa yang terhebat, mereka memakai lomba jahanam ini sebagai tempat tes senjata. Pedang tadi, pasti sangat tajam hingga mampu menembus besi robot yang bahkan peluru gagal menembus. Mainan baru Korea Selatan yang mengerikan. Ayo, aku ingin cepat kembali dan segera ke desa. Aku ingin tidur lama." Sergei membantu Sutris berdiri.
"Kenapa menolongku?" tanya Sutris, berjuang menahan lara di lengan.
"Sdelayte chto-nibud' segodnya, za chto vashe budushcheye budet vam blagodarno. Lakukan sesuatu hari ini yang mana kita akan berterima kasih padanya di masa depan nanti. Jangan lupa akan jasaku kelak."
Sutris terkekeh bersama Sergei, seperti tiada takut jika suara mereka terdengar musuh.
Pikiran Sutris tersita untuk hal lain. Siapa pria Korea misterius tadi? Kenapa dia kenal Akiko? Apa Akiko merupakan bagian dari mereka? Terutama dia lelaki, atau dia pacar Akiko?
"Hei Sutris, sekarang kita berteman kan?"
"Yah, aku rasa begitu. Bagaimana jika kita sampai final dan harus saling membunuh?"
Sergei terkekeh kecil. "Negaraku tidak peduli dengan kemenangan. Yang mereka inginkan hanya menginjak tim Amerika dan China. Bagiku menang lomba hanya bonus."
"Kau akan menyerah setelah babak pertama?"
Sergei menggeleng. "Peserta kiriman Amerika masih ada, mungkin juga China, dan Uni Eropa. Sampai kupastikan mereka enyah dari lomba terkutuk ini, aku harus tetap maju."
"Walau sendiri? Kenapa?"
"Pride. Hei, kapan Indonesia mengirim tim spesial ikut lomba? Aku dengar negaramu maju pesat dekade terakhir."
Sutris menanggapi dengan senyum kecut. Dia tahu jeroan negara sendiri. Di mata negara lain Indonesia disegani, kuat, banyak rakyat berbakat yang loyal, sayang sekali daripada mengharumkan nama bangsa kebanyakan orang Indonesia berjas mahal lebih suka mengharumkan badan dengan aroma uang baru.
Langkah Sutris terpaku pada tanah. "Ssh, kau dengar?"
Suara rengsek dedaunan dan semak bergoyang membuat mereka mengambil kuda-kuda siap menembak. Baru saja mereka bernapas lega, sekarang dada mereka kembali berat.
Semakin keras suara langkah Kaki, semakin kencang jantung mereka memompa adrenaline.
"Hewan buas, China, atau Amerika?" bisik Sergei, mengkongkang pistol.
****