"Kenapa wajahmu begitu?" tanya Sesilia sambil tersenyum tipis, sepertinya ia sudah menerka akan reaksiku setelah mendengar cerita dari pria yang dipanggil Ayah.
"Apa masih ada yang ingin kau tanyakan tentang kami?" sambungnya sambil menatap serius ke arah Ruri.
"Banyak, banyak sekali. Tapi aku bingung harus bertanya dari mana," jawab Ruri yang masih terlihat sangat shok. Meskipun ia merasa senang karena mendapatkan jawaban dari keanehan yang ia rasakan, namun ia masih tidak menyangka akan jawaban yang ada.
"Tenang saja. Tanyakan apa yang sedang terlintas di pikiranmu dan aku akan menjawabnya. Semuanya ...."
"Huh! Oke, bagaimana bisa kalian saling bertemu. Maksudnya, apa yang membuatmu yakin kalau kita berada di keadaan yang sama? Apa yang sudah kau lakukan selama ini, bukan, bukan ... apa yang sudah kalian lakukan selama ini? Rumah ini, mengapa kalian membangun rumah di sini, di tempat seperti ini. Dimana kalian bertemu dan ...."
"Hentikan, Ruri! Apa kau ingin mengatakan semua yang ingin kau tanyakan sekarang? Tenang saja, ini masih pukul satu siang dan kita harus makan. Sebentar lagi Ibu akan memanggil kita. Pasti," jawab Sesilia yang hanya bisa tertawa kecil melihat reaksi berlebihan yang Ruri perlihatkan padanya.
"Waktunya makan!" teriak wanita yang mereka gelari Ibu.
"Benarkan? Ayo makan, setelah itu aku berjanji akan menjawab pertanyaanmu."
Meja kecil yang terbuat dari kayu dengan salah satu kaki yang disangga dengan besi menjadi meja makan mereka. Ditutupi kain perca yang sengaja dijahit satu sama lain sebagai lapisannya. Unik dan terlihat indah. Begitu rapi meski seadanya. Rumah ini terlihat sangat lengkap dengan semua yang ada di dalamnya. Meski semua benda yang ada di sana merupakan barang bekas, namun masih bisa digunakan dengan baik.
"Ruri sayang, apa kau suka masakan pedas?" tanya Ibu dengan penuh perhatian.
Ruri tak menjawab, hanya mengangguk dengan kedua alis mata yang naik.
"Oke, kalau begitu ... ini untukmu," ucapnya sembari meletakkan ikan dengan kuah bewarna merah ke dalam piringnya.
Dentingan suara piring dan sendok pun terdengar, gemericik kuah menyentuh bibir dan suara kenyang yang keluar dari mulut ayah. Makan siang itu berlalu dengan sangat indah, meski lauk yang diberikan sangat sederhana. Saling tertawa dan berbagi cerita, mereka benar-benar seperti keluarga. Nyaris sempurna jika saja Ruri tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.
"Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?" tanya Ayah sambil menatap Sesilia dan Dino, sedangkan Ibu bersiap merapikan meja makan. Ruri yang berniat membantu pun dihadang si Ibu. Dengan sangat lembut ia menolak dan membiarkan Ruri kembali bergabung dengan Sesilia.
"Aku akan ke TPS!" ucap Dino dengan semangat.
"Oke, dan kau Sesilia?" tanya Ayah kepadanya.
"Aku akan berjalan-jalan dengan Ruri. Sepertinya ia punya pertanyaan untukku," jelasnya sambil melirik ke arah Ruri. Membuat Ruri hanya mengangguk dan merunduk. Ia benar-benar bingung harus berbuat apa.
"Oke, aku akan bekerja dan Ibu akan ke pasar. Ruri, kau boleh datang ke sini kapanpun kau mau. Bahkan kami akan senang jika kau ingin menginap bersama kami. Sepertinya kami masih butuh satu orang kakak laki-laki di keluarga ini. Oke, Ruri!" jelas Ayah sembari menepuk lembut pundak Ruri lalu menggunakan jaket dan pergi. Begitu pula Ibu dan Dino, hingga menyisakan Ruri dan Sesilia berdua di dalam rumah.
"Apa sebaiknya kita ikut keluar juga?" tanya Ruri yang mulai risih, membuat Sesilia tertawa geli dan dengan sengaja menyentuhkan lengannya yang mulus ke tangan Ruri.
"Hentikan, Sesilia. Kau membuatku tak nyaman," ucap Ruri sambil membuang pandangan ke arah lain. Pipinya memerah merona dengan wajah malu-malu.
"Oke, kita akan pergi berkeliling tempat ini. Mungkin kau akan melihat tempat ini kotor dan kumuh, namun jika kau sadar ... tempat ini sangat strategis. Aku akan berganti pakaian, lalu pergi!" ucap Sesilia yang kemudian bergegas ke kamarnya.
Ruri terus memandangi sekitaran. Ada banyak foto di sana. Lima foto yang tergantung tepat di tengah dinding dengan wajah yang tak pernah Ruri kenali. Namun, saat ia menatap salah satu foto dengan jeli, ia pun tersadar.
"Oh, aku tau! Mereka keluarga dari Dino, Ayah, Ibu dan Sesilia. Foto-foto ini pasti keluarga mereka yang hilang," gumam Ruri dengan penuh semangat.
"Kau benar!" jawab Sesilia yang entah sejak kapan berada di belakang Ruri. "Mereka keluarga kami yang hilang. Kami sengaja menggantungkan foto mereka di sini. Meskipun kami tidak tau, apa mereka masih hidup atau tidak. Namun ... dalam ingatan kami, mereka akan selalu ada," jelas Sesilia.
***
Terlihat tanah kosong yang terbentang luas. Rerumputan tumbuh liar diantara tumpukan rongsokan. Banyak barang terbuang di sana. Barang rusak yang sengaja dibuang. Tanah terbentang luas. Jika kau mengarah ke timur, maka kau akan melihat jembatan tol yang panjang. Jika kau mengarah ke barat, ada tumpukan sampah yang menjulang tinggi membentuk gunung. Bila kau melihat ke utara, ada banyak pohon di sana. Pohon dengan daun yang lebat, mirip seperti hutan. Namun, tenang saja, di sana tidak ada hewan buas. Mungkin ular ada, tapi bukan ular dengan bisa yang mematikan. Sedangkan bagian selatan, disitulah rumah itu berada. Rumah yang nyaman bersembunyi dibalik gedung tua yang hancur.
"Bagaimana, indahkan? Kau harus belajar melihat keindahan dari semua yang menakutkan. Seperti sampah-sampah ini," ungkap Sesilia sembari menghirup udara yang terbawa angin.
"Jika kau terbiasa, maka bau ini tak akan lagi mengganggu hidungmu. Tapi kau sadar tidak, saat berada di dalam rumah tidak ada sedikitpun bau sampah terbawa ke dalamnya?"
Ruri tersenyum dan kembali mengingat saat ia berada di dalam rumah itu.
"Kau benar, tidak ada sedikitpun bau sampah. Sampai aku mengira kita ditempat yang berbeda," jawab Ruri dengan wajah penuh takjub diikuti gelengan kepala. Ia benar-benar tidka menyangka kalau ia bisa menemukan tempat seperti itu di sini. Di daerah tempat pembuangan sampah.
"Begitulah cara kami berempat bertemu. Tanpa terduga dan tidak sedikitpun berniat mencari satu sama lain. Saat itu, aku tengah mencoba mencari pekerjaan di pasar."
Sesilia pun mulai ceritanya. Dimana pertama kali Sesilia bertemu dengan pria yang mereka panggil Ayah. Ternyata pria itu satpam di pasar dan tengah bersantai setelah jam kerjanya usai. Sesilia sempat diganggu preman pasar dan Ayah menolongnya. Saat itu, Sesilia diajak ke tempat Ayah berada. Di sana ia bertemu dengan Dino. Tak tahu harus tinggal dimana, Sesilia terpaksa menginap di bangunan tua. Paginya, mereka bertemu dengan wanita yang dipanggil Ibu. Ia jatuh pingsan tepat di depan gedung itu.
"Kami menceritakan tentang keluarga kami yang menghilang. Semenjak itu ... kami memutuskan bekerja sama dan membentuk keluarga. Begitulah," ungkap Sesilia diikuti mata yang berkaca-kaca.
Ruri hanya bisa tersenyum. Meski merasa cerita itu terdengar dibuat-buat, namun ia tetap mempercayainya. Seperti pertemuannya dengan Sesilia yang juga tak terduga , namun memiliki misi yang sama.
Suara lari terdengar, suara itu begitu deras dan mengarah ke mereka.
"Cepat bersembunyi," pinta Sesilia yang sudah lebih dulu berdiri dibalik tong minyak yang besar.
"Sesil," ucap Dino yang terengah-engah mendekati mereka berdua.
"Kenapa wajahmu ketakutan begitu?" tanya Sesilia cemas.
"Di sana, kami menemukan mayat di sana!" ucapnya dengan wajah pucat dan menunjuk ke arah gunung sampah.