"Kenapa kau belum tidur?" tanya Sesilia sambil menikmati segelas kopi hangat di tangannya.
"Aku? Ah, aku belum mengantuk," ungkap Ruri dengan wajah kaku.
"Bukan karena takut?" ledek Sesilia sambil melirik ke arah sosok mayat pria yang terbaring di ruang tamu.
"Oh ya, apa Ayah dan Ibu tidur di kamar yang sama?" tanya Ruri berupaya mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau direndahkan karena ketakutannya. Namun, ia juga tak dapat membohongi diri bahwa ia memang merasa takut.
Sesilia terlihat kaget, lalu tertawa ngakak. Tertawa terpingkal-pingkal ditengah malam itu sangat membuat keributan.
"Sstt!" ujar Ruri sambil meletakkan ujung jari tengah di bibirnya. "Hentikan tawamu, kau membangunkan yang lainnya," sambungnya dengan wajah waspada.
"Tenang saja. Mereka tidur dengan lelap. Ayah dan Ibu tidak tidur sekamar, karena mereka bukan sepasang suami dan istri. Kadang Ibu tidur dengan Dino, kadang pula Ayah yang tidur dengannya. Sedangkan aku punya kamar sendiri, meskipun apa adanya," jelas Sesilia. "Apa kau ingin ikut ke kamarku?" tawarnya tanpa ada rasa bersalah.
"Aku? Ikut ke kamarmu? Apa kau sehat?" tanya Ruri dengan tatapan bingung, dahinya mengernyit diikuti bentuk bibir yang tak simetris. Reaksinya sangat buruk dan terkesan jijik.
"Cuci pikiranmu, aku mengajakmu melihat kamarku. Bukan mengajakmu tidur bersama," jelas Sesilia sambil berlalu pergi masuk ke kamarnya.
Ruri terdiam, ia merasa malu. Tubuhnya masih duduk mematung dan terlihat bingung harus berbuat apa. Sedangkan di ruang tengah ada mayat yang juga terbaring di sana.
"Ih, serem," gumamnya yang kemudian segera melangkah menuju kamar Sesilia.
"Waw!" ujar Ruri dengan wajah penuh takjub. "Kau yakin ini kamarmu?"
"Kenapa?"
"Ini lebih mirip seperti ruang khusus penyelidikan," ungkap Ruri sambil terus memperhatikan apa yang ada di dalam ruang kecil itu. Dinding yang dipenuhi dengan berita, foto dan banyak data lainnya. Tali bewarna warni yang saling terhubung pada paku yang satu ke paku yang lainnya. Keterangan jelas, kode dan alamat serta tanggal semua tertulis dengan rapi. Ruri benar-benar takjub dengan apa yang ia lihat.
"Aku pikir, ini hanya akan ada di film saja," ungkapnya masih tidak menyangka. Sesekal ia melirik ke arah wajah Sesilia yang terlihat bangga akan semua pekerjaannya. Namun, Ruri terlalu mengagumi. Hingga ia terus berkeliling dari dinding yang satu ke dinding yang lainnya untuk melihat apa yang terdapat di sana.
"Apa semua ini kau yang melakukannya?" tanya Ruri yang merasa semakin kagum akan sosok gadis yang ada di hadapannya.
"Ya, tentu saja. Kau hanya belum tau siapa aku," ungkapnya lantang yang kemudian memilih duduk di atas lantai tepat di depan meja kecil dengan banyak alat di atasnya. Laptop, layar, cpu, keyboard dan masih banyak alat lain yang Ruri tidak ketahui apa namanya.
"Dari mana kau bisa memiliki semua ini?" tanya Ruri yang merasa tak yakin jika Sesilia membelinya.
"Kau tidak perlu tau. Yang harus kau tau, kita akan bekerja sama mencapai apa yang kita semua inginkan," ungkapnya dengan wajah penuh percaya diri.
"Yah! Sekarang, sudah sampai mana pencarianmu?" tanya Ruri yang semakin tertarik. Rasa tak percaya yang ia anggap omongan belaka, ternyata kini terbukti setelah melihat seperti apa isi kamar Sesilia. Kini tidak ada lagi keraguan pada dirinya. Ia akan dengan sangat percaya mau bekerja sama dengan keluarga ini.
"Aku sudah mencari tau banyak hal. Dari semua pencarian ini, aku menemukan beberapa hal yang patut dicurigai. Namun ... dari semua itu, hanya dua hal yang membuat aku yakin. Pertama sebuah permainan yang berbahaya, namun bisa menghasilkan banyak uang."
"Maksudmu? Emang ada yah. Bukannya itu hanya sebatas kisah novel yang di filmkan?"
"Hei, Bung! Lihat wajahmu. Wajah tengilmu akan berubah takut jika kau jadi aku. Kau pikir aku membuat kesimpulan ini tanpa merisetnya terlebih dulu? Jangan samakan aku dengan anak perempuan di luar sana yang hanya menggunakan perasaan, bukan akal!"
"Ma, maaf bukan begitu maksudku. Oke, aku tidak banyak tau, karena bukan aku yang menyelidikinya. Sekarang, kau ceritakan padaku agar aku mengerti," ungkap Ruri yang merasa takut melihat reaksi Sesilia. Ia terlihat sangat merah, dengan kedua bola mata yang membulat hingga nyaris keluar dari kelopaknya. Tubuh bergetar diikuti tangan mengepal. Sesilia sangat menyeramkan, jauh lebih menakutkan dari mayat yang hanya tertidur diam tak bergerak.
"Kau pikir, bagaimana mungkin aku bisa menemukanmu jika bukan karena aku sudah menyelidiki permainan ini!"
Ruri terdiam, seketika ia kembali teringat akan tas hitam yang ia bawa dari loker.
"Tas hitamku. Kita belum membukanya," ungkap Ruri.
"Tidak ada yang penting di sana," jawab Sesilia dengan nada kecewa.
"Bagaimana bisa kau ...."
"Hanya paspor, uang tunai dan ATM yang aku takin tidak bisa kau gunakan karena kau lupa ingatan!"
"Apa data paspor itu sama dengan KTP ku?"
"Yah. Aku kembali menemui jalan buntu jika melihat isi lokermu. Tapi ...," ucapan Sesilia berhenti. Namun, matanya menatap tajam ke arah Ruri diikuti senyuman tipis disudut bibirnya. Wajahnya mengatakan ada ide gila yang akan ia lakukan terhadap Ruri.
"Apa?"
"Mendapatkan kembali ingatanmu. Jika kau bisa mendapatkan ingatanmu kembali, maka kita akan terbantu. Meskipun begitu, aku akan terus mencari tau dengan caraku," ujar Sesilia dengan tatapan tajam.
"Yah, aku akan membantu dengan ingatanku jika sudah kembali," ucap Ruri dengan napas lebih tenang. Ketakutannya terlalu berlebihan, ia menyangka Sesilia akan melakukan hal aneh kepadanya. Ternyata dugaannya salah dan ia merasa lebih baik saat ini.
"Oh ya, kenapa tidak kita memeriksa mayat itu kembali," tawar Sesilia dengan wajah berbinar.
"A, apa kau yakin?"
"Apa kau takut?" tantang Sesilia dengan kepala mendongak. Gayanya begitu angkuh hingga memancing diri seorang Ruri.
"Tidak, siapa bilang!"
Keduanya melangkah pergi meninggalkan kamar. Sesilia di bagian depan dan Ruri menyusul dengan langkah yang sangat pendek. Setiap langkahnya ia terus bergelud dengan hatinya.
"Aku enggak bolah kalah, di mana harga dirimu Ruri!" gumamnya dalam hati. Namun, diri tak bisa dibohongi. Tubuhnya keringatan sangat deras dan ia terus berusaha tenang juga melangkah.
"Tidak ada luka yang fatal, hanya goresan kecil yang mungkin disebabkan terjatuh lemas. Benturan hebat pada benda keras ataupun benda tumpul juga tidak ada. Tidak ada darah yang keluar, tubuhnya lebih terlihat seperti orang sakit, bukannya korban kejahatan," jelas Sesilia yang terus menatap detail ke arah tubuh mayat itu.
"Kau yakin? Bagaimana bisa kau tau semua itu?"
"Jangan panggil aku Sesilia, jika aku tidak mengetahui apapun yang ada di dunia ini. Jika pun ada, itu karena aku belum mengetahuinya saja," ungkap Sesilia lantang.
"Apa itu?" tanya Ruri ke arah kepala mayat.
Sesilia menggunakan sarung tangan karetnya dan menyentuh bagian rambut. Terdapat sebuah tanda, tanda yang aneh. Lebih tepatnya seperti tato, hingga menyebabkan sebagian kepalanya pitak.
"Sebenarnya aku juga mendapatkan ini dari sakunya," ungkap Sesilia sambil menunjukkan sesuatu dari kantungnya.
"Itu, itu bukannya?" jawab Ruri dengan wajah begitu kaget.