Sesilia dengan semangat berlari bersama Dino. Sedangkan Ruri masih terdiam dan merasa ragu untuk ikut. Hingga akhirnya Sesilia berada cukup jauh, barulah Ruri turut berlari mengikuti mereka seraya berkata, "Tunggu aku!"
"Di mana? Di mana mayatnya?" tanya Sesilia sambil terus mengitari area sampah.
"Aku yakin, mayat itu ada di sini tadi. Aku jelas-jelas melihatnya!" ucap Dino yang mencoba mengingat dengan pasti keberadaan mayat yang ia lihat.
"Ini yang kau bilang mayat?" tanya Sesilia kesal sambil menunjuk ke arah manekin dengan pakaian seorang pria dewasa.
"Bukan, Sesil! Aku tidak bodoh. Aku melihatnya. Tubuhnya dingin dan kulitnya pucat. Bukan seperti ini," jelas Dino sambil menggaruk rambutnya. Wajahnya terlihat tegang dengan mata yang terus menyoroti tumpukan sampah.
"K, kau yakin itu mayat?" tanya Ruri dengan reaksi takut.
"Kau takut? Pulang saja jika takut!" teriak Sesilia ke arah Ruri.
Ruri terdiam dan kembali menelan ludah. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan napas yang terasa sesak. Jantungnya berdetak tak karuan dengan kedua telapak tangan mendadak dingin dan dipenuhi keringat.
Sesilia dan Dino berpencar, mereka mencoba menemukan kembali mayat yang sempat dilihat Dino. Terus berjalan dengan kayu panjang di tangan, mereka mengobrak abrik sampah yang mungkin bisa membuat mayat itu tertutupi keberadaannya. Sedangkan Ruri masih berdiri mematung, ia belum siap untuk melihat mayat. Seketika ada perasaan aneh yang ia rasa. Kepalanya berdenyut, begitu sakit hingga membuatnya meringis. Ia memilih duduk dengan kedua tangan yang menggenggam erat kepalanya.
"Aduh!" gerutunya diikuti bayangan. Sebuah bayangan akan banyaknya orang mati di sekitarnya. Mereka tergeletak dengan banyak darah yang berceceran di mana-mana. Sedangkan Ruri hanya bisa berdiri dengan tubuh bergetar menatapi mereka. Ia begitu takut, namun kakinya terlalu tegang dan sulit digerakkan. Ia tak ingin menyaksikan, namun ada banyak mayat disekitarnya dan itu memaksanya untuk melihat mereka.
"Kau kenapa?" tanya Dino sambil menyentuh dahi Ruri.
"Sesil! Ruri sakit!" teriaknya dengan lantang, berharap sampai kepada Sesilia yang berada cukup jauh dari mereka.
Mata Sesilia begitu jeli, ia melihat jelas keadaan Ruri meskipun dari jauh. Tak ingin membuang waktu, Sesilia segera berlari mendekati mereka.
"Ada apa? Apa kepalamu sakit? Kau mengingat sesuatu?" tanya Sesilia bertubi-tubi.
"Sebaiknya bawa dia pulang, bukan ditanyai!" jelas Dino dengan sewotnya.
***
"Minum ini!" ucap Ruri sambil menyerahkan tablet putih berbentuk bulat dan segelas air putih.
Ruri tampak enggan menerima, wajahnya takut dengan mata yang hanya menatap ke arah Sesilia.
"Jangan takut, ini hanya penghilang rasa sakit biasa."
Ruri menurut dan mulai meneguk obat yang Sesilia berikan setelah memandang wajah Dino. Mereka terlihat prihatin kepadanya, tiada sedikitpun tanda-tanda mereka hendak berbuat jahat kepadanya.
Obat itu ampuh, beberapa saat nyeri di kepala Ruri menghilang dan ia merasa sangat mengantuk dan tanpa sadar tertidur begitu lelap.
"Aku akan kembali ke sana dan mencari mayat yang kau katakan. Dan kau, sebaiknya di sini menemani Ruri. Dia pasti akan takut, jika terbangun dan tak ada orang bersamanya," ucap Sesilia dengan tegas.
Dino memutuskan berbaring di samping Ruri. Baginya ini merupakan kesempatan untuk beristirahat dan ia tidak akan menyia-nyiakannya. Berbaring nyaman dengan bantal di kepalanya, ia terlelap hingga tak mendengar ketukan yang ada.
***
Suara langkah kaki terdengar deras, langkah dari banyaknya orang yang sedang berlari. Suara itu memenuhi telinga Ruri. Suara lari ketakutan, diikuti jerit tangis kesakitan dan teriakan yang membuat Ruri nyaris shok. Suara itu kian dekat, hingga memaksa Ruri untuk ikut berlari.
Bingung, Ruri berada di tengah hutan, namun terlalu menyeramkan tanpa cahaya. Hanya cahaya kerlip dari lampu kecil, namun tidak mengerti kondisi apa ini. Suara mereka bergema, seakan berada dalam gedung bukannya hutan. Namun, ada banyak pohon tinggi dan tanah yang bergunduk.
"Awas!" teriak seseorang sambil menabrak punggung Ruri.
Ruri tersungkur dan terjatuh menghadap tanah. Kepalanya terbentur dan ia terbangun.
"Huh! Huh! Huh! Syukurlah hanya mimpi," ucapnya dengan tubuh dipenuhi keringat.
"Sialan, sudah jam tujuh malam. Aku harus kembali ke rumah sakit," ucapnya yang kemudian bangkit meninggalkan Dino yang masih terlelap.
"Aku harus pergi segera, sebelum benar-benar gelap!" ucapnya sambil terus berjalan. Kepalanya masih terasa pusing dengan dada yang sesak.
"Mimpi apa itu? Mengapa terasa nyata? Apa itu bagian dari memoriku yang hilang," gerutu Ruri sambil terus berjalan, mencoba mengingat jalan yang ia gunakan saat datang.
Langkahnya bergerak maju, melewati hamparan tanah kosong yang dipenuhi sampah. Semua jalan terlihat sama, ia merasa bingung.
"Sepertinya aku terus berputar-putar aja," ucapnya dengan baju yang telah basah karena keringatnya.
"Sebaiknya aku duduk sebentar, lalu kembali mencoba mencari jalan pulang," ucapnya yang kemudian duduk di atas sofa rusak, bersandar dan memejamkan mata sesaat guna mengurangi rasa lelahnya. Namun, diluar dugaan, Ruri kembali tertidur. Ia merasa sangat lelah dengan tubuh yang masih bergetar takut. Mimpi itu terasa sangat nyata baginya.
***
"Periksa dia, sepertinya dia masih hidup!" ucap Ayah dengan nada terburu-buru.
Suara ribut terdengar, Dino dengan sigap meraih air hangat, sedangkan Ibu menggunakan stetoskop dan mulai memeriksa seseorang yang terbaring di atas ranjang kayu. Begitu pula Sesilia yang dengan cekatan memeriksa bagian tubuh orang itu, mencari tahu luka yang ada, yang memungkinkan menjadi penyebab orang itu pingsan.
Kebisingan yang ada membuat Ruri tersadar dari tidurnya. Betapa kagetnya ia karena kini telah kembali ke rumah keluarga Sesilia.
"Aku, kenapa aku ...."
"Kau pingsan di ujung jalan, Ayah menemukanmu dan membawamu kembali. Kenapa kau pergi tanpa bilang-bilang," jawab Dino sewot sambil berlalu melewatinya.
"Itu, itu apa?" tanya Ruri dengan reaksi ketakutan. Tubuhnya bergetar dengan banyak keringat yang becucuran.
"Itu mayat yang aku katakan!" jawab Dino kembali sambil melewati Ruri. Ternyata ia baru saja mengembalikan air hangat ke dapur dan itu harus melewati Ruri.
"Benarkah?" tanya Ruri sambil mengalihkan pandangan dan menutup erat matanya. Ia sama sekali tidak berniat untuk mendekati mereka, apalagi melihatnya secara dekat. Namun, keadaan ini tak berlangsung lama. Karena setelah itu Sesilia menghampirinya diikuti hembusan napas berat dari mulutnya.
"Apa kau takut?" tanya Sesilia dengan wajah tak senang.
Ruri hanya diam dan memilih menghindar dari pembahasan tentang sosok pria yang mereka temukan.
"Dia masih hidup," ucap Sesilia dengan kedua alis mata yang naik. "Itulah kenapa kita tidak menemukannya. Sepertinya ia berjalan dan kembali pingsan di dekat gedung tua ini. Aku menemukannya terbaring di sana," jelas Sesilia dengan nada kecewa.
"Apa dia mengatakan sesuatu?" tanya Ruri yang mulai merasa tenang menyadari jika pria itu bukanlah mayat.
Sesilia menggeleng, hembusan napas kembali keluar dari mulutnya. Diikuti jawaban yang menyakitkan, "Tidak, dia baru saja mati."
"Ya Tuhan ... baru saja aku tenang mendengar dia bukan mayat."
"Kita harus menyelidiki tubuhnya sebelum dikuburkan. Kita harus menemukan sesuatu darinya. Entah itu berhubungan dengan kita, ataupun sekedar tau mengapa ia sampai berada di tempat sampah."
Ruri hanya bisa menahan napasnya. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ini kali pertama untuknya menginap semalam di dalam rumah yang berisi sebuah mayat.