Lelaki itu mengatakan. "Wah, ternyata sekarang pihak sekolah punya orang baru, ya?"
"Hahaha! Pangeran yang menjelma menjadi babu?"
"Hahaha!"
Mereka semua tertawa bersama. Padahal yang dicaci maki adalah Pangeran Ansell. Akan tetapi, Azura juga ikut marah. Dia kesal saja tatkala ada seseorang yang menghina majikannya.
Tanpa pikir panjang, Azura segera menghentak mereka bertiga. Ia maju tanpa rasa takut sedikit pun. "Hei! Kalian punya mulut tidak pernah sekolah, ya? Kenapa kalian menghina Pangeran? Kalian tidak tahu apa konsekuensi yang akan dibawa oleh kalian, jika menghina Pangeran?!"
"Kalian bisa dipenjara!!" Suara Azura yang melengking membahana lapangan. Akibatnya, para lelaki itu malah tertawa! Sungguh tanggapan yang tak pernah Azura bayangkan sebelumnya!
Mereka dengan jelas meremehkan Azura dan berkata. "Hahahah! Kamu ini kenapa? Kamu tidak tahu diri atau bagaimana? Kenapa kamu ikut campur ke dalam masalah kami?"
"Lihatlah Pangeranmu! Dia sangat berbeda dengan sosok Pangeran Parker! Pangeran Parker bahkan sudah mencapai kelas menengah! Itu tandanya, Pangeran Parker lebih pintar daripada Pangeran Ansell!"
"Tetapi, yang kami herankan adalah... Kenapa sosok Pangeran yang juga pernah mengenyam bangku sekolah sebelumnya, secara privat dan khusus di Kerajaan, malah masuk ke Kelas Pemula? Bukankah ini lucu?"
"Benar! Lucu sekali!"
"Hahahaha!!!"
Mereka semua serempak menertawakan Pangeran Ansell. Beberapa perempuan yang menaruh perhatian kepada Pangeran Ansell dengan tatap kagumnya, berubah menjadi tatapan jijik. Secepat itu pandangan mereka terhadap Pangeran Ansell berubah.
Pangeran Ansell ikut tak terima karena pelayannya dihina. Dia ikut maju mendekat kepada Azura. Tatkala itulah, terlihat jelas di mata mereka semua bahwa tangan Pangeran Ansell terluka. Terlihat bekas ikatan yang kencang di pergelangan tangannya.
Namun, Pangeran Ansell tampak tak peduli. Lelaki itu menggeram dengan penuh kemarahan. "Jangan pernah sekali-kali kalian menghinaku atau bahkan orang-orangku! Kalian mungkin memandangku dengan sebelah mata. Membandingkanku secara nyata dengan kakakku! Tetapi, tidak usah sok tahu akan kehidupan orang lain! Kalian bukanlah dewa! Kalian tak tahu apa-apa!"
Seketika itulah, Pangeran Ansell menggenggam tangan Azura dengan erat. Berikutnya, lelaki tersebut membawa Azura pergi dari sana.
Saat mereka berdua sudah berjalan cukup jauh, terdengar lagi suara celetukan dari gerombolan lelaki yang sebelumnya menghina mereka berdua. "Cih. Dasar lelaki aneh! Aku bahkan melihat tanganmu yang merah dan aneh itu! Untuk melindungi diri saja tak becus, apalagi melindungi seorang gadis?"
Pangeran Ansell hanya menggertakkan rahangnya. Ia bersikeras untuk menahan emosi. Manakala mereka sudah berada di sisi lapangan yang lain dan sepi dari orang-orang, Azura langsung menepis tangan Pangeran Ansell. "Maksud Pangeran ini apa? Pangeran tidak lihat kalau aku mestinya harus membersihkan lapangan?"
"Kamu mau membersihkan lapangan dengan kondisi yang ramai dan kacau balau begitu?" cetus Pangeran Ansell dengan nada yang tinggi.
Azura menghela napas panjangnya. Terlihat kemarahan yang bersemai di wajah Azura. "Kita bisa melawan mereka!" teriak Azura.
"Melawan? Apa katamu, melawan? Apakah adu mulut seperti tadi melawan? Padahal terlihat jelas sekali kalau kamu itu kalah, Azura! Kamu seperti anjing yang terkepung tak bisa bergerak melawan mereka!"
Azura hanya menatap Pangeran Ansell dengan kemarahan yang membara dalam dada. Ia sudah tak sabar lagi. Ia sudah kesal, geram, dan juga penuh dengan emosi.
Pangeran Ansell tak memberikan ruang bagi Azura untuk melawan. Ia malah mengatakan lagi, "Semestinya kamu tadi diam saja. Kalau kamu diam saja, permasalahan pasti tidak akan serumit ini."
Azura hanya bisa menelan kebencian dalam dadanya. Ia kesal, kesal, kesal, sangat kesal kepada Pangeran Ansell!!
Gadis itu menghentakkan kakinya, menubruk bahu Sang Pangeran, lantas pergi tanpa suara. Kalau sudah kesal, ya tetap kesal saja.
Air mata Azura hampir merembes. Mau bagaimana lagi? Kehidupan di dunia ini maupun dunia sebelumnya tak pernah berpihak kepadanya. Azura selalu saja dirundung oleh kesedihan, kemarahan, dan juga cobaan yang bergulir tanpa henti.
Sampai di satu titik, Azura kembali ke lapangan. Gerombolan tiga lelaki provokator masih di sana. Dia memperhatikan Azura sambil tertawa-tawa. "Hahaha. Walaupun sudah malu, hukuman tetap harus jalan ya, Nona?"
"Hahahaha."
Azura mengabaikan mereka. Sebisa mungkin juga tak menitikkan air mata. Padahal dalam batinnya, gelora api kebencian itu membara.
* * *
Azura bersyukur dia mampu menyelesaikan tugas hukumannya tepat waktu manakala istirahat makan siang. Kini, dia bisa ikut makan siang bersama teman-temannya di aula kantin yang amat besar. Tersedia berbagai jenis makanan kelas atas, terhidang di atas meja. Semuanya terlihat enak sekali. Makanan-makanan itu berupa daging-dagingan premium, sebotol susu murni, dan juga buah-buahan yang segar.
Tak heran, mayoritas murid di sini berasal dari kaum bangsawan sehingga makanan yang ada di sekolah tentulah nikmat dan bergizi. Dan Azura, sebagai orang yang dulunya hidup miskin dan mati-matian mencari uang demi sesuap makanan, merasa bahagia karena makanan yang terhidang di sini.
Gadis tersebut pun sudah tak sabar untuk mengambil salah satu makanan yang ada di sana. Namun…
Saat dia hendak mengambilnya…., tiba-tiba saja… DRUAK!!
Salah seorang menghantam tubuhnya. Mendorongnya ke belakang.
PRANG!!
Piring yang tengah dibawa Azura pecah berserak di lantai. Azura mendongak. Tepat ketika itu dia melihat sosok yang memang membencinya tanpa alasan …
Ya, dia adalah Lunar. Sosok itu malah tersenyum iblis kepadanya. Ia berkata, "Kamu pikir, kamu bisa mengambil makanan di sini sesuka hatimu?"
* * *