Pulang dari sekolah, wajah Azura terlipat-lipat. Alasan pertama, dia sebal tingkat tinggi kepada Pangeran Ansell karena lelaki itu memarahinya sekaligus mengabaikannya. Tak hanya itu, Pangeran Ansell bahkan berjalan tanpa menengok sedikit pun! Bodohnya apa, Azura menanti Pangeran Ansell kalau-kalau lelaki tersebut akan membalikkan tubuhnya!
'Aish, mimpi! Lelaki yang mirip sekeras batu dan sedingin es itu mana mungkin mau menurunkan ego pribadinya!'
Karena suasana hatinya yang kacau balau, Azura jadi sangat kesal. Gadis tersebut bahkan berjalan dengan bersungut-sungut ke asrama.
Tetapi, saat dia berjalan di asrama … Gadis itu mendengar ada sebuah pekikan kecil diiringi tangisan.
Bukan Azura namanya kalau dia mengabaikan hal tersebut. Ia penasaran, apa yang sesungguhnya terjadi? Azura mengikuti suara tersebut… perlahan-lahan.., dia mengikutinya. Sampailah di sudut asrama, di antara dinding asrama dan juga pagar asrama, terlihat seorang perempuan yang tengah menangis. Dan ternyata…, gadis yang tengah menangis itu adalah sosok Febricia.
Dia tengah dibully! Ada tiga perempuan yang tengah mengolok-olok Febricia karena penampilannya.
"Kamu memang bangsawan, ayah dan ibumu memang orang kaya dan ternama! Tetapi lihatlah dirimu!"
Azura menutup mulutnya sendiri. Sebenarnya, dia berada di zaman apa, sih? Kenapa di dunia ini banyak sekali perkataan yang jelas menyakiti hati? Kenapa sistem kasta ini sangat diagungkan dan juga dijunjung tinggi?
Azura bersikeras agar suaranya tak terdengar. Ia tidak mau ikut campur di sini. Bagaimana pun, Febricia juga sebal kepadanya.
Bukan berarti Azura balas dendam acuh tak acuh kepada Febricia, hanya saja Azura tidak tahu akar permasalahannya. Ia lebih memilih keamanan untuk saat ini.
Gadis itu segera pergi dari sana dengan keheningan.
'Aku merasa heran… Kenapa banyak sekali ketidak adilan di sini… Apakah… hal semacam ini sudah biasa?' Pertanyaan demi pertanyaan mengenai susunan pemerintahan dan juga sikap yang dimiliki oleh para masyarakatnya mengapung di otak Azura. Sayangnya, gadis tersebut tidak tahu menahu jawabannya.
Dan untuk mengetahuinya lebih dalam, pastinya membutuhkan banyak waktu.
Azura menguap. 'Hahhhh…'
"Daripada aku memikirkan hal yang tidak-tidak. Lebih baik aku beristirahat dan tidur. Tidur adalah pengobatan yang terbaik untuk otak dan tubuh yang lelah."
Gadis itu masuk ke dalam kamarnya, bersyukur karena masih kosong, dan tidak ada siapa-siapa di sana. "Saatnya tidur…" Azura menaiki kasurnya, dan tidur dalam hitungan menit.
* * *
Azura menghela napas panjangnya. Gadis itu menguap. Ia bangun ketika matahari sudah mulai masuk ke dalam peradurannya. Tiba saatnya dia akan makan malam.
Saat dia baru bangun, dia melihat Febricia masuk ke dalam kamar dengan tubuh yang basah. Dari ujung kepala, sampai ujung kaki. Semuanya. Basah.
"Kamu… Apakah…" Azura terbata, agak canggung.
Febricia malah menjawab dengan ketus. "Bukan urusanmu."
Gadis gemuk tersebut membawa pakaian gantinya, melesat dengan cepat ke dalam kamar mandi. Sementara Azura melongo. "Wah, ternyata pembulian di kerajaan ini sangat mengerikan. Tak jauh beda dengan di dunia nyata."
"Ck ck ck. Sepertinya hukum rimba juga berlaku di sini. Siapa yang kuat, dialah yang menang." Azura menggelengkan kepalanya. Ia merasa miris.
* * *
Pangeran Ansell menutup bukunya dengan terburu-buru. Lelaki itu mengakui kalau dia tidak bisa fokus. Pikirannya terus menuju ke arah Azura. Sampai akhirnya… Pangeran Ansell keluar kamarnya karena merasa sesak berada di dalam kamar terus menerus.
Lelaki itu berjalan ke arah ujung lorong yang memiliki beranda.
'Kupikir, melihat malam merupakan ide yang cukup bagus dibandingkan dengan berada di kamar terus menerus.'
Lelaki itu berjalan ke balkon. Ia membuka pintu balkon di ujung lorong, sampai akhirnya … dia melihat seseorang yang juga tengah berdiri di sana.
"Kamu?"
Sosok lelaki itu membalikkan badannya.
Naasnya, dia malah bertemu dengan sosok yang paling malas dia temui. Ya. Tak lain dan tak bukan, dia adalah Pangeran Parker.
Ingin rasanya Pangeran Ansell kembali saja ke kamarnya. Itu lebih baik dibandingkan ia harus menghirup udara yang sama dengan Pangeran Parker. Akan tetapi, manakala ia hendak kembali, Pangeran Parker malah dengan sengaja memancing permasalahan. Ia mengatakan, "Kenapa kamu pergi? Menghindariku?"
Pangeran Ansell membalas tatapan Pangeran Parker dengan tatapan yang tajam. "Untuk apa aku harus menghindarimu?"
"Dengan jelas kamu menghindariku, Ansell."
"Aku tidak punya waktu untuk menanggapimu, Kakak."
Sejujurnya, Pangeran Ansell sendiri tidak tahu bagaimana dia harus bersikap kepada Sang Kakak. Dia tidak tahu bagaimana hubungan antara Pangeran Ansell dan juga Pangeran Parker di masa lalu. Kenapa mereka seperti kucing dan tikus yang tak pernah bisa hidup bersama. Tidak ada alasan yang pasti.
Dan Pangeran Ansell hanya bisa mengikuti alur tersebut.
Saat Pangeran Ansell ingin kembali ke ruangannya, Pangeran Parker mendadak menyatakan. "Aku mengobati luka pelayanmu."
Pangeran Ansell menoleh, beralih kepada Pangeran Parker. "Apa maksudmu mengatakannya kepadaku?"
* * *