Setelah itu, Azura mengepalkan tangannya. Rasanya sangat tidak nyaman untuk berada di bawah penindasan. Bahkan, ia belum memulai sekolahnya. Dan kini, dia sudah harus tunduk kepada sosok perempuan yang hanya karena memiliki garis keturunan yang tinggi?
Para murid di sini hanya beruntung karena di dalam tubu mereka mengalir darah-darah bangsawan yang kental dan murni. Sehingga mereka bisa bersekolah dengan nyaman sementara yang lainnya mulai masuk dalam kehidupan pekerjaan yang mencekik.
Rasanya Azura ingin melemparkan tasnya yang berat kepada sosok perempuan di depannya ini!
Alih-alih melakukan apa yang ada di pikirannya, Azura malah tersenyum cantik bak boneka. Ya, dia munafik. Tetapi bodo amat. Ia memilih untuk menyelamatkan diri sendiri.
Daripada nantinya dia harus memikul tanggung jawab besar untuk berurusan dengan petinggi asrama atau pun pihak sekolah, lebih baik dia tutup mulut dan menerima. "Baiklah, Nona. Aku juga tahu posisiku."
"Bagus. Kamu menyadari posisimu. Ayo naik ke atas. Kamarmu ada di lantai tiga."
Azura pun menaiki tangga tersebut. Satu per satu anak tangga ia lalui. Ia tak lelah untuk mendongak melihat ke ujung tangga yang bersinar. Rasa haus penasarannya pun muncul. "Sebenarnya … di ujung tangga itu ada apa?"
"Di sana?"
"Iya, Nona."
"Di ujung lantai tujuh, ada atap. Kami jarang membukanya. Jangan harap kamu bisa masuk ke sana."
Azura sedikit kecewa. Padahal, dia ingin bisa melihat ketinggian dari atap. Tetapi, ia harus mau menerima kekecewaaannya. Ini adalah peraturan asrama. Dia bisa apa, bukan?
Karena rasa penasarannya itu sudah terjawabkan, giliran rasa lelah menjangkiti persendian tubuh Azura.
'Sial, tangga ini sangat tinggi! Bukan hanya tinggi, tetapi juga memutar!' Azura menggelengkan kepalanya. Mulai kelelahan.
"Aku tahu kalau kamu merasa capek."
"Tetapi. kamu tidak bisa menolaknya. Masih beruntung kamu berada di lantai tiga. Coba kalau di lantai tujuh?"
Azura menganggukkan kepalanya. "Yah, aku tahu itu … tetapi … tubuhku … tak bisa bohong kalau aku capek."
"Sebentar lagi juga sampai."
Azura mengangkat lagi kepalanya. Napasnya sudah terengah, denyut jantungnya sudah semakin cepat. Ditambah dengan keringat yang membanjiri tubuhnya.
Sedangkan Nona Ellin melongok ke belakang. Ia menggelengkan kepalanya keheranan, mendapati tubuh Azura yang banjir keringat. "Mungkin kamu harus berolahraga."
"Lama-lama aku juga akan kurus kalau di sini." katanya dengan terengah.
Mana mungkin dia tidak kurus kalau akan naik-turun tangga lantai tiga, dengan tangga yang mengular memutar ini? Huh… Azura akui. Kapasitas kekuatan orang sini sangat tinggi. Bahkan tadi, saat Azura baru masuk, mereka bisa naik tangga dengan haha-hihi. Tandanya, mereka tidak kelelahan. Sangat luar biasa.
Kini, Azura dan Nona Ellin sudah berdiri ke dalam ruangan. Ia berada di kamar nomor 311. "Inilah kamarmu, Azura."
Azura dan Nona Ellin masuk ke kamar tersebut. Nona Ellin melihat ke arah dua orang perempuan di hadapan Azura. Perempuan yang pertama, bertubuh gempal dengan rambut kepang dua. Sedangkan perempuan yang lainnya, memiliki wajah pucat dengan rambut berwarna merah. Tatapan perempuan yang kedua mengusik Azura. Tersirat dari tatapnya, kalau dia tak menyukai Azura.
"Lunar, Febricia, perkenalkan ini Azura."
Si perempuan gemuk itu bernama Febricia. Sementara yang lainnya Lunar. Azura berusaha menampilkan senyuman terbaiknya. "Perkenalkan, aku Azura."
Meskipun Azura memberikan wajah terbaiknya, Lunar dan Febricia tampak acuh tak acuh. Bahkan agak dingin kepada Azura.
"Anak baru?" tanya Lunar langsung.
Nona Ellin mengiyakan. "Dia murid baru di sini. Dia kelas murid kelas pemula."
"Cih. Menambah beban saja," cetus Lunar malas, dia kembali masuk.
Febricia hanya menggedikkan bahunya, "Terima kasih sudah mengantarkan dia, Nona Ellin. Padahal kamu bisa mengatakan nomor kami saja."
"Sayangnya, mengantarkan anak baru ini tugasku." kata Ellin agak terpaksa.
"Kalau begitu, kamu bisa meninggalkannya di sini, Nona Ellin."
"Baiklah. Aku pamit pergi dulu." Nona Ellin menitipkan Azura kepada Febricia dan Lunar. Walaupun mereka tampak enggan. Azura hanya berwajah 'tidak apa-apa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan'. Lantas, Nona Ellin melenggang pergi dari kamar 311.
"Semoga harimu di sekolah ini menyenangkan." kata Nona Ellin sebelum dia benar-benar pergi.
Azura hanya tersenyum sebagai ganti terima kasih. Walaupun dia tidak yakin, hidupnya akan menyenangkan.
Sosok Nona Ellin sudah menjauh dan menuruni tangga. Tersisalah Azura yang berdiri mematung di sana.
Dia melihat ke bagian dalam kamar … Lunar tampak membaca buku dengan serius, sementara Febricia menatapinya bulat-bulat. Bayangan tubuhnya yang besar itu membayang. "Selamat datang … Di Asrama Sekolah Dantevelis."
"Seperti kata Nona Ellin tadi, aku juga berharap … Kehidupan sekolahmu akan menyenangkan, Azura."
Azura menelan ludahnya. Entah mengapa, kalimat yang terlontar dari bibir Febricia serasa klise … dan juga … ironis.
Seakan dia tak akan pernah mengalami kehidupan sekolah yang menyenangkan.
* * *