Tidak ada satupun orang yang mau menjadi kesepian. Tidak ada yang mau sama sekali. Tidak ada yang pernah menginginkan berteman sepi. Setiap dari kita, manusia sudah ditakdirkan oleh yang Maha Kuasa untuk hidup berkelompok, menjadi makhluk sosial yang saling mengisi dan membersamai.
Sejak Azura Foster memikirkan sepi yang merayapi diri Pangeran Ansell, pemikiran itu kerap kali datang kepadanya. Sehingga dia berpemikiran kalau Pangeran Ansell memang menjadi sosok yang penuh sepi. Bisa saja, hati lelaki tersebut sudah beku. Ia merasakan lara.
Pada pagi yang kelabu, Azura Foster kembali mendengar teriakan-teriakan yang berasal dari Pangeran Ansell. Teriakan-teriakan lelaki tersebut serasa menjadi pengantar pagi. Hampir tiap mengawali hari, Pangeran Ansell mengalami serangan.
Azura Foster turun dari tempat tidurnya, segera datang ke kamar Pangeran Ansell. Azura tahu dirinya tidak dibutuhkan. Grritos selalu memberikan penanganan yang tepat, akan tetapi Azura ingin hadir di sana. Setidaknya, kehadirannya memperlihatkan kepeduliannya kepada Pangeran Ansell.
Meskipun Azura yakin, Pangeran Ansell sendiri tidak peduli.
Azura memperhatikan Grritos dengan seksama. Pertama, dia menegakkan tubuh Pangeran Ansell. Lalu, menenangkan Pangeran Ansell, menjaga napas lelaki tersebut tetap terjaga. Kemudian, dia memberikan minum. Terakhir, Grritos memberikan obat penenang kepada Pangeran Ansell. Sampai lelaki itu tertidur kembali.
"Kamu melakukannya setiap waktu?" tanya Azura kepada Grritos, ketika mereka berdua sudah keluar dari kamar Pangeran Ansell, menutup pintu lelaki tersebut. Supaya dia kembali beristirahat dengan nyaman.
Grritos menganggukkan kepala. "Ya. Aku melakukannya hampir setiap waktu dia mengalami serangan. Bagaimana pun, dia tidak bisa sendiri menghadapinya."
"Untung saja kamu sabar menghadapinya. Dia sangat ketus kepadaku."
Grritos tertawa kecil. "Semua orang yang di sini begitu. Dia seperti sengaja tidak menyukai kita, tetapi aslinya dia peduli."
"Dia?"
"Mmm."
"Pangeran Ansell? Peduli?" ujar Azura dengan alis menjengit naik. Mana mungkin sosok Pangeran Ansell peduli kepadanya. Seperti langit terbelah dua. Alias tidak mungkin, tahu!
"Iya, Azura. Dia peduli kepadamu. Dia tidak membencimu."
"Mungkin itu kalimat yang tepat. Dia tidak membenciku. Walaupun aku tak yakin."
Azura menghela napas panjangnya. Dia menyudahi percakapannya dengan Grritos, berpamitan, melakukan pekerjaan pelayaannya yang menumpuk.
* * *
Pada penghujung hari, mendadak Grritos mengunjungi loteng pada dini hari. Lelaki itu tampak panik.
"Gawat, Azura. Gawat." Azura yang sudah tertidur mengucek-ucek matanya. Ada apa gerangan lelaki ini datang ke kamarnya, lantas dia pun memasang wajah khawatir?
"Kenapa? Apa ada sesuatu dengan Pangeran Ansell?" tanya Azura.
Grritos menggelengkan kepala. "Tidak. Tidak ada hal buruk. Hanya saja, aku harus pulang malam ini. Aku mendapat kabar buruk tentang adikku di rumah."
"Ah? Kenapa adikmu?"
"Dia sakit keras. Aku tidak bisa diam saja di sini. Setidaknya, aku harus melihat kondisinya."
Azura menganggukkan kepalanya. Grritos juga mengucapkan. "Tenang saja, Azura. Aku akan kembali pagi besok."
Azura mengiyakan. Grritos pasti akan menggunakan kuda dan memaksimalkan kecepatan kuda nantinya.
* * *
"Arrrgghh!!" Azura membelalak. Dia terbangun. Azura langsung kaget. Dia terduduk sekejap mata.
Dia mendengar sesuatu. Otaknya yang agak tumpul mencoba menganalisis situasi.
Oh ya ampun! Grritos pergi! Pangeran Ansell, Pangeran Ansell sendiri!
Pada saat Grritos pergi, Azura buru-buru turun tangga dari loteng. Perempuan tersebut bahkan tak memperhatikan langkahnya, tergopoh-gopoh menuju Pangeran Ansell.
Dan ketika dia masuk ke kamar Pangeran Ansell … ternyata apa?!
DIKUNCI!! PINTUNYA DIKUNCI!
Azura panik luar biasa. Pangeran Ansell harus bersama dengan seseorang. Pangeran Ansell harus ditemani. Pangeran Ansell tidak bisa sendiri.
Gadis itu gusar. Dia berlari ke dapur. Mencari Bibi Luo. "Ah, ya! Bibi Luo dan Bibi Yue belum datang!"
Azura menggigit bibirnya, mengacak rambutnya. Siapa … siapa … siapa yang bisa dimintai tolong?
Keluar paviliun untuk meminta tolong adalah ide yang buruk. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan Pangeran Ansell nantinya!!
"Okay. Tenanglah. Aku adalah Azura Foster. Aku adalah perempuan yang pandai menelaah situasi. Sekarang, yang aku butuhkan hanya tenang. Lalu, aku akan mencari kunci kamar Pangeran Ansell."
Azura memantapkan rencananya.
Gadis itu kembali ke kamar Pangeran Ansell. Menyingkap pel di depan kamar Pangeran Ansell, tidak ada. Meraba lubang udada di atas pintu Pangeran Ansell, tidak ada. Azura mendecak.
"Aggrrhhhhh!"
Pangeran Ansell terus mengalami serangan. Azura bahkan mendengar napas lelaki itu naik turun dengan cepat. Memburu. Tidak stabil.
Kondisi Pangeran Ansell, jelas tidak baik baik saja. Azura berlari menuju ke gudang. Mencari kunci. Tak ditemukan!!
Sementara itu, Pangeran Ansell kian meraung menggila. Bahkan dari gudang, dia sudah mendengar teriakan Pangeran Ansell!!
Azura frustasi. Dia gemetaran. "Grritos aku membutuhkanmu…"
"Grritos… di mana kamu meletakkan kunci untuk membuka kamar Pangeran Ansell…"
"Grritos…"
Azura terus memanggil nama Grritos, walaupun dia tahu Grritos tak akan datang.
Mendadak, sebuah pemikiran muncul di benak Azura. "Bagaimana kalau aku mendobraknya saja?"
"Ya. Aku tak punya pilihan lain kecuali mendobraknya!"
Di detik itu juga, tepat ketika Azura kembali, hendak mendobrak pintu kamar Pangeran Ansell, gadis tersebut menemukan kunci yang berada di atas meja.
"ITU KUNCI KAMAR PANGERAN ANSELL!!"
Dengan sigap, Azura langsung menyambarnya.
CEKLEK!!
Azura membukanya. Syukurlah!! Pintunya terbuka!!
Manakala Azura melihat kondisi Pangeran Ansell, lelaki tersebut telah merobek pakaiannya sendiri. Dia mencakar-cakar tubuhnya sendiri!!
Azura segera memeluk Pangeran Ansell. Entah bagaimana pun caranya, Pangeran Ansell tidak boleh melukai dirinya sendiri!
"Tenanglah Pangeran Ansell!! Tenanglahh!!"
Pangeran Ansell masih menggerung di dalam pelukan Azura. Dia memberontak! Sangat keras! Sangat kencang! Dan sangat mengerikan!
Azura terus memeluki Pangeran Ansell … Dia menepuk-nepuk punggung Pangeran Ansell. "Pangeran Ansell, tenanglah … tenanglah …"
Lambat laun, Pangeran Ansell sedikit lebih tenang. Napasnya berubah teratur. Azura menjadi lebih tenang. Manakala Pangeran Ansell sudah lebih tenang, dia memberikan minum, dan juga obat selayaknya apa yang diberikan oleh Grritos kemarin.
Di saat Pangeran Ansell sudah memejamkan mata, terlelap tidur, Azura hendak pergi dari sisi Pangeran Ansell. Dan ternyata .. lelaki itu menahan tangannya, di antara sela tidurnya.
"Pasti dia syok sekali."
Untuk itu, Azura pun memandangi wajah tampan Pangeran Ansell. "Kasihan sekali dia …"
Dengan sebelah tangannya yang kosong, Azura meraih handuk kecil di nakas, mengelap keringat yang meluncur dari dahi Pangeran Ansell.
Kulitnya kembali pucat. Bibirnya bahkan lebih biru dari biasanya. Azura menghela napasnya. 'Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu, Pangeran Ansell? Kenapa kamu menjadi begini? Kenapa … wabah horrendum sangat menyakitimu?'
'Apa yang kamu khawatirkan tentang masa lalumu, sehingga kamu tak bisa menerimanya dan ingin kembali?'
Azura pun bertanya-tanya dalam hatinya. Meskipun Azura ketakutan, Azura ingin pulang, Azura tak mau ada di sana. Azura pun menyadari dengan sangat … kalau Pangeran Ansell, membutuhkan sosoknya.
Dan Azura ingin membantu menyembuhkannya.
* * *